Jumat, 06 Mei 2016

Kumpulan Cerpen DdR


Cinta Sebatas Angan 
Oleh Arie Rachmawati



“Ain’t No Sunshine,” itu lagu lama, lagu sebelum aku lahir sudah ada. Aku pernah mendengarkan lagu itu saat Ayah mendendangkan dalam petikan gitar akustiknya. Lagu kesukaan almarhum, Ayah. Kini bila lagu itu menjadi akrab ditelingaku bukan karena Tondri mengirimkan lagu itu untukku lewat akun Youtube-nya, tetapi karena ada seseorang yang memberiku kesempatan membuat klipnya.
Aku dan Tondri, bersahabat sejak SMP. Dia selalu merasa sok tahu tentang isi hati dan perasaanku. Padahal nggak semua aku curhatkan padanya. Aku kadang benci dia, bukan karena sok bawelnya, tapi terlalu memikirkan kebahagiaanku. Dia selalu berusaha mengenalkan beberapa temannya dengan harapan satu di antara mereka ada yang menarik perhatianku, kemudian menjalin cerita cinta. “Ah, sebel sebeeelll!” ucapku sambil mengepalkan tangan.  Aku tidak pernah tertarik pada mereka yang rata-rata orang kantoran sibuk merapikan dasi, memainkan gadgetnya. Ada beberapa bule rekan kerja atau teman kenalan di Gym. Namun  aku tidak tertarik sama bule, buntutnya long distance lagi, titik!. Aku ingin seseorang yang bisa nyata kusentuh , berbagi suka duka tentang semua tidak harus romantis yang penting bisa mengerti aku.
Aku bahagia dengan keadaanku seperti ini. Aku tidak peduli usia berjalan menambah angka pada setiap hari jadiku.   Aku tahu Ibu sangat menginginkan aku mengakhiri masa lajangku, menikah dan mempunyai keluarga.  Ibu dan Tondri sama-sama cerewetnya, tapi aku suka karena itu warna hidupku. Meski keduanya berada di tempat yang berbeda. Tondri di Sydney, Ibu di Probolinggo, salah satu kota di Jawa Timur, sedang aku di Bogor. Kami bertiga berbeda tempat tetapi serasa berdekatan.

Ibu, sosok yang sangat sederhana, masih suka bergelung konde, mencintai baju batik. Ia  selalu memasak masakan tradisional, anti makanan fast food. Ibu seketika menjadi rapuh semenjak Ayah meninggal dunia. ( seketika dipindah ke depan lebih enak ) Ibu dulu penyanyi latar dan Ayah pemain gitar, dalam satu band.   Ibu, lebih senang menjadi penyanyi latar, meski Ayah sangat ingin Ibu ‘moving on’ menjadi penyanyi utama. Dan Ibu akhirnya memutuskan tinggal di kampung halaman, untuk bertani daripada bertahan hidup denganku di sini. “Kalau kamu menikah, baru Ibu ikut kamu, Ra,” kata Ibu. Masalahnya aku belum siap untuk menikah dan itu ini menyebabkan Ibu akhirnya pulang kampung.
“Doain saja, Shafira segera menemukan jodoh, Bu!”
“Iya, Ibu selalu mendoakan, tapi kamu jangan terlalu memilih Nduk!”
“Iya Ibu, masalahnya belum ada yang cocok.”
“Kamu itu satu – satunya anak Ibu, eling yang…”
“…yang belum menikah, begitu kan Bu?”
“Hmmm, yo repot ngomong kambe kowe, Nduk!.”
“Wes aku pamit, Nduk.” ucap Ibu sambil membelai rambutku, sebelum masuk ke kereta api Argo Bromo menuju Surabaya. Ini cerita tiga tahun lalu. Bayangan Ibu masih tersimpan di stasiun Gambir, Jakarta. Selain Tondri, aku nggak punya teman dekat. Aku sangat tertutup dan nggak pernah mampu percaya diri untuk membuka diri. Terlebih buat seorang lelaki. Aku mempunyai kisah cinta menorehkan kenangan sedih. Malaslah besoal cinta.  Aku mungkin terlalu sempurna mendefinisikan tentang cinta. “Ter…la…lu!.” ucap Tondri menirukan suara bang Haji Rhoma Irama.

Hari ini aku ingin bercerita kepada Tondri, tentang perkenalanku dengan pemusik blues  yang beberapa waktu lalu kebetulan kujumpa di festival blues di Jakarta. Inikah takdir atau inikah kebetulan, kita terpaut kesukaan pada sebuah lagu. “Ain’t No Sunshine by Bill Withers.”  Tapi yang membuatku ragu bercerita, dia itu seorang bule Amrik, dan aku takut Tondri akan menetertawakan diriku.
“Ra, kamu masih suka bikin klip lagu?” tanya Tondri membuka chat.
“Masih, kenapa Ton?” tanyaku lanjut.
“Kapan-kapan tolong bikin klip buat Pauline mau ultah”
“Okay!” jawabku menyanggupi permintaannya. “Ton, kamu ingat lagu favorit Ayah?” tanyaku kemudian.
“ So, pasti ingat, kenapa Ra! Maksudmu, Ain’t No Sunshine kan “Iya, aku jadi ingat Ayahku.”
“I see, darling…so?”
“Iya malah, aku menemukan sosok Ayahku, pada dirinya.”
“Apaaaa? Kalimat terakhirmu itu coba diulang, please!”
“Aku menemukan sosok Ayah pada dirinya…padanya.”
“Siapa dia?”
“Perasaan aku belum pernah mendengar kamu menyebutkan nama seseorang yang belum aku kenal, kamu selalu cerita semua…”
“Nggak semuanya aku harus cerita, kita bukan teman sekolah yang setiap hari ngerumpi melulu…”
“Bukan begitu Ra, selama ini…” Tondri membiarkan kalimatnya menggantung dan tidak melanjutkan chat itu.
“Aku minta maaf bila ada yang aku sembunyikan darimu. Aku tahu kamu orang yang baik, bahkan super baik banget, tapi kadang aku ingin bersunyi menikmatinya sendiri.”
“Okay no problem, dear!”
“Aku jatuh cinta, Ton!”
“Naahh! Itu diaaa kalimat yang aku suka, akhirnya kamu jatuh cinta!”
“Selamat datang dunia cintaaaa…”
“Tapiiii, nggak yakin apa benar aku jatuh cinta padanya.”
“Lhooo kok?!”
“Nanti aku ceritakan lewat surel saja, aku buru-buru mau ke Jakarta ada meeting untuk acara konser amal, sorry banget deh Ton!”
“Okay, take care dear! Don’t forget please tell me about him.”
“Iyaaaa…pastilah, bye bye muaaah!”
“Muuaaah too…!” Layar monitor menunjukkan ikon offline. Aku terpaksa berbohong padanya, aku tidak ada meeting bahkan beberapa hari, aku seperti anak baru gede lagi.  Aku terjaga hanya menunggu kabarmu di kotak masuk Facebook. Aku sengaja online 24 jam.

Dia musisi, pemusik blues, namanya Mark Ryan.  Ingatanku mengkilas balik pada  dua tahun lalu, saat hadir pada  acara Jakarta Blues Festival oleh teman yang menjadi panitia. Walau  aku kurang memahami musik blues, tetapi secara kebetulan justru di sanalah aku mengenal si bule. Tiga bule “ngeriung” setenda di kios merchandise, ternyata mereka  para musisi pendukung acara. Salah satu bule, menyapaku dan memastikan tepatnya lokasi acara di katalog. Namun mataku tertuju pada bule seorang di antara mereka yang menyandang gitar dipunggung, wajahnya sedikit brewokan. Aku menonton di Blue Stage, untung berulang kali sempat aku mencuri pandang padanya, satria bergitar itu.
Aku sengaja menyebutnya salah satu film favorit pamanku. Pandanganku tertangkap basah, ia membalas dengan senyuman. Ketika mereka beranjak, aku kehilangan jejak. Tak sengaja aku jumpa tiga sekawan di sekitar jalan Jaksa – Sabang, dua hari kemudian, sewaktu makan siang. Pandanganku terfokus pada Ryan sang satria bergitar, terkesan gitar tak bisa lepas dari punggung Ryan.
Aku sengaja menghampiri. Ryan sambil menyilangkan kaki ia asyik menarikan  jemarinya di batang gitar dari chord ke chord, begitu lincah. Terasa keras, lembut dawai yang dipetiknya penuh rasa melantunkan bunyi yang indah,  aku suka itu !
Allen, kawanku  seorang  seniman Jerman mengajakku bergabung di jejaring facebook  bernama “Grup Seni Modern” terdiri dari seniman seantero dunia. Mereka  menampilkan karya seni seperti lukisan, video klip musik. Semula canggung aku bergabung,  ada kendala keterbatasan bahasa Inggris, namun  aku berupaya menampilkan beberapa garapan video klip secara amatir, untung menarik perhatian beberapa anggota. Tak dinyana aku dipertemukan kembali dengan seseorang satria yang pernah mencuri perhatianku.
 Allen mengirim pesan memperkenalkan sahabatnya,  “Hallo Shafira, I like you to meet my friend he plays guitar, especially blues music. He has come to Indonesia, his name Mark Ryan.” “Thank you, Allen. Of course!” jawabku  singkat, sekenanya terkendala, “My English is bad”.   Sebaliknya ini kekuatan Tondri  yang cas cis cus ngomong Inggris kayak burung berkicau. Kini ia menentap di negeri kangguru dan menikah dengan Pauline yang asli berambut pirang.  Aku sempat kehilangan kontak dengannya. Setelah acara reuni akbar SMA, kami berkomunikasi kembali.

Semangkok mie kuah sudah menungguku untuk disantap, ketika aku mendapatkan balasan pesan pertama dari Mark Ryan. Feelingku mengatakan bahwa itu dialah  sang  satria bergitar yang mencuri perhatianku. Serasa aku menemukan sekotak pandora yang penuh berisi berlian berkilauan,  imajinasiku menyeruak . Gejolak dihatiku meletup-letup seperti  100 derajat celcius. Rasa laparku hilang tiba-tiba, saat aku mulai menjelajahi wall-nya. Namun aku tidak mendapatkan apa yang aku cari.  Sementara aku puas telah melihat ada beberapa tautan musik berirama jazz blues. Ia sepertinya sangat tertutup, sehingga tak banyak album foto tentangnya, hanya beberapa gambar tentang daerah di American Southwest.
“Ra, Shafira?”
“Yup…”
“Sibuk?”
“Nggak, ada apa Ton? Masalah klip ya?” balasku agak malas.
“Iya…”
“Insya Allah, besok malam deh, pokoknya sebelum Pauline ulang tahun kan?”
“Iya, okay thanks dear.”
“Ra, sepertinya kamu akhir-akhir ini beda deh. Apa hanya perasaanku saja?”
“Emang kenapa? Aku biasa-biasa aja nih.”
“Kamu lagi sensitif banget sejak Pauline hamil!”
“Iya mungkin.”
Mungkin ada benarnya juga feeling Tondri, aku berubah. Perasaanku semakin tak menentu sejak obrolan demi obrolan dengan musisi blues itu menuju titik terang. Hari itu aku menampilkan lukisan gitar dengan sedikit narasi bahwa lukisan itu belum selesai, dan tak ingin aku merampungkan,
“Thanks your thumb on my link.” sapaku.
“I like the the guitar painting, it seems finished to me. It’s very impressionistic and modern-looking I was (still am) very impressed by it!” balasnya yang membuat aku hampir tak percaya. Lukisan gitar itu ternyata menarik perhatiannya. Lukisan yang menurutku hanya pelampiasan emosiku saat aku merasa kehilangan seseorang yang selama ini tempatku berharap akan sebuah masa depan, namun kandas di tengah jalan, karena takdir memisahkan kami selamanya. Lukisan itu pembuka cerita keakraban antara aku dan musisi blues, yang ternyata memang dialah sang  “Satria Bergitar.” .
Hampir setiap hari selalu ada pesan untukku, berbalas cerita yang tak pernah lepas dari pembicaraan seputar musik. Ia sangat antusias bertanya soal musik tradisional, terutama bermacam gamelan. Aku hampir tak mempercayai saat ia menjelaskan padaku, ternyata ia  lebih paham dan mengerti dibandingkan diriku.  Ia telah membuka mata dan pikiranku terhadap keindahan kebudayaan Indonesia, aku seperti diguyur air dingin, mimpiku tersentak. Ia terlihat mencintai Indonesia.
“Bule Amrik itu lebih menarik dari perkiraanku, Ton!” ucapku mengakhiri cerita tentangnya kepada Tondri. Aku tak bisa bersembunyi terlalu lama darinya yang hampir setiap ada kesempatan selalu menanyakan keadaanku yang menurutnya sangat berubah banyak. “Jadiiiii, dia yang membuat Shafira-ku menjadi lain?” ledeknya menambahkan ikon lidah terjulur, seperti kebiasaannya dulu. Aku sudah tak peduli, yang penting ada rasa plong dihati.
“Kamu mau ngomong apa saja, aku terima Ton!”
“Aku serasa menemukan impianku kembali…”
“Yakin?”
“Mungkin iya, mungkin nggak!”
“Apakah dia sudah berkeluarga, Ra?”
“Hmmm, entahlah!”
“Tondri, video ulang tahun Pauline, sudah dikoreksi?” kataku mengalihkan pembicaraan, karena terlalu fokus ke musisi Ryan aku lupa menanyakan hal itu.
“Bagaimana dengan perbedaan keyakinan? Bahasa? Umur?”
“Tooonnn….?”
“Jawab dulu pertanyaanku, Ra!”
“Entahlah, aku tak berpikir kesana, aku jalani saja dulu.”
“Ya begitulah kalau sedang jatuh cinta, Ra! Ha ha ha…”
“Mulaiiii lagiii…!”
“Ia sangat tahu banyak tentang Indonesia, Ton.”
“Ya mungkin untuk menarik perhatianmu saja.”
“Kok sinis banget, jadi malas mau cerita…,” ucapku setengah mengambek. Aku tahu aku sedang jatuh cinta pada Ryan itu, meski aku belum yakin apakah ia pun merasakan hal yang sama. Kami tak pernah membicarakan urusan hati. Lebih asyik bila arah obrolan kembali ke acara Jakarta Blues Festival , itu menemukan ini lebih menyatukan suatu reaksi kimiawi.
“Swear? Anything thanks Mark. I glad meet you again in here.”
“Thanks Shafira, you tell me and now I remember it ,all.”
“So I am very happy, because I was reading your note about blues music genre at the Jakarta Blues Festival. It’s nice...”
“Maybe I’ll get a gig in Indonesia sometime!
“Yes I hope one day I meet you again, and we can talk about anything.”  Aneh, tiba-tiba bahasa Inggerisku bisa lancar, andai Tondri tahu hal ini pasti dia akan tertawa terbahak-bahak. Tentu aku senang membaca balasan itu, meski tak mengharapkan terlalu jauh untuk suatu pertemuan kembali. Terlalu dini membicarakan soal itu. Mungkin saat membalas pesannya aku bisa sedikit lancar, karena dibantu buku kamus dan laman terjemahan Google. Namun, aku nggak yakin bila pertemuan itu terjadi apakah aku bisa ngoceh cas cis cus seperti Tondri, sahabatku. Aku mungkin hanya akan terpana menatapnya.

Percakapan lewat layar notebook, terpaksa harus dihentikan karena hujan turun dengan deras dengan suara petir bersahut-sahutan. Bukan karena aliran listrik yang padam seketika, namun saat hujan deras, urusan genting bocor menyebabkan seisi kamarku mulai dipenuhi embar-ember penampung air hujan dari atap. Ia pernah cerita, di tempat tinggalnya sangat jarang sekali hujan turun. Ia sangat senang sekali setiap aku bercerita tentang hujan. Bogor dengan kemacetan sejuta angkotnya, masih sering disapa hujan menjelang sore. Separahnya daerah lain yang dilanda kekeringan karena musim kemarau panjang, namun Bogor berdamai dengan gerimis hujan.
Iseng aku menulis puisi tentang hujan, nggak menyangka ia sangat menyukainya. “Thank you for the poem, it is very beautiful and very good. You are a marvellous writer and poet.” Kata-katanya itu membuat kakiku seakan tak berpijak lagi pada tanah. Puisi yang sederhana tentang kerinduan pada hujan, seperti lagu Ain’t No Sunshine, sangat sederhana namun membuatku terlena. Aku pun mulai terkagum padanya, berbagai versi lagu itu dimainkannya via solo gitar akustik atau secara bersama dengan grupnya. Hingga terfikir aku ingin membuat klip versiku. Aku mengetik kata demi kata menawarkan diri membuatkan video klip lagu  tersebut yang mengabadikan kenangan untukku.
“I will upload the guitar photo as soon as I can get them.  And  I am sorry to keep you waiting, Shafira”  begitulah pesannya.”
“Yes!” kataku dengan senang hati, akhirnya Dewi Fortuna kembali berpihak kepadaku. Gemuruh jantungku memburu bak kuda pacu berlari. Aku memulai memadukan dan memadankan slide picture memakai aplikasi terbaru dengan lagu kirimannya lewat kotak emailku. Hari yang beruntung, jarang mendapat kesempatan online bareng dengan waktu dan tempat yang berbeda. Di saat aku dibelai angin malam, justru ia menikmati hangatnya mentari pagi, begitu pun sebaliknya. Tepatnya,  perbedaan tempat dan waktu, dua belas jam!
Dua hari berikutnya, aku rampungkan garapan klip untuknya. Sebuah lagu “Ain’t No Sunshine” versi gitar akustik. Aku segera memberikan kode link dari akun Youtube dengan kondisi “Unlisted”.
“Wow that was really nice. I liked the way you used my art work with the music. The video is very nice, the writing at the end is exactly right. I loved it.”  Kata-kata itu membuat langit seakan runtuh. Aku tak menyangka ia begitu menyukai. Ditengah obrolan tiba-tiba ia berpamitan, Ini yang ketiga kalinya ia melakukan itu. Aku menghargai walau dalam hati aku merasa ia akan pergi jauh sekali, aku takut kehilangannya. Ia berpamitan akan mengadakan road show dengan grupnya di beberapa  kafe dan toko buku di luar kota, menghibur di akhir pekan.
“Yeah Shafira, tomorrow night I’m traveling to another place for our music performance and I will be gone all the weekend after that. I should be back on Sunday.”
“Thank you again for your generosity and thoughtfulness! Hope everything is going well for you.” Sebelum ia meneruskan cerita aku mengingatkan bahwa hari telah merambah tengah malam dan waktunya ia pergi istirahat.
“Yes, it’s 11.30 pm here-almost midnight. You’re right, time to rest,” ucapnya mengakhiri percakapan. Dan sejak itu ia menghilang dari layar facebook, aku tak menemukan dirinya lagi di jagad alam maya. Sepi.

Selasa akhir Juli, sepucuk surat berwarna kuning muda, duduk manis di meja kerjaku. Surat dikirim dari benua Amerika, tak pernah aku mengira akan mendapatkan darinya. Seperti seorang gadis remaja yang baru pertama kali menerima sepucuk surat, seperti itulah aku. Dadaku berdegup.
“Speechless banget! So romantis!” ucapku girang. Ternyata selama ini menghilang dari jagad maya, ia tengah mengurusi persiapan untuk manggung dalam acara pagelaran blues di Indonesia. Aku berulang kali membacanya dengan hati berbunga-bunga.
“Jadiiiii…kamu bakal bertemu dia lagi dong?”
“Insya Allah Tondri, doain aku bertemu Satria Bergitar dari Amrik itu”
“Ha ha ha…senang dong!”
“Lha iya lah, kok kamu sepertinya jealous banget sih!”
“Apa iya? Justru aku ikutan senang dan berdoa, kali ini kamu harus yakin!”
“Maksudmu Ton? Memilikinya? Mencintainya?”
“Bisa jadi…”
“Aku nggak berpikir kesana, Ton.”
“Aku hanya berpikir, aku bisa bertemu lagi dengannya!”
“Aku ingin ia melantunkan lagu Ain’t No Sunshine itu.”
“Jadi nggak mengharap ia membalas panah asmaramu, Ra?”
“Aku belum melepaskan anak panah kepadanya.”
“Aku hanya berpikir ini cinta sebatas angan yang kelanjutannya….”
“…I don’t know but I feel it.”
“Ha ha ha . . . apa pun itu selamat deh!”
“Semoga cinta sebatas anganmu menjadi nyata dan indah, Shafira sahabatku.” 
Di balik layar notebook aku merasa Tondri masih mentertawakan aku, karena aku termakan sumpah serapahku sendiri, jatuh cinta pada bule brewokan dan kemungkinan usianya jauh lebih tua dariku. Lagu "Jatuh Cinta" karya Titik Puspa sudah nangkring di wall-ku dikirim oleh Tondri. “Jatuh cinta berjuta rasanya, biar siang, biar malam terbayang wajahnya….oh asyiknya.”.

S E L E S A I
Kado ultah untuk Max Ridgway, gitaris dari Oklahoma (2012)



C a t a t a n :
Nduk = Nama panggilan untuk anak perempuan di Jawa
Eling = Ingat (Bahasa Jawa)
Kowe = Kamu (Bahasa Jawa)
Wes = Sudah (Bahasa Jawa)
rampung = selesai