Cinta Sebatas Angan
Oleh Arie Rachmawati
“Ain’t No Sunshine,” itu lagu lama, lagu sebelum aku
lahir sudah ada. Aku pernah mendengarkan lagu itu saat Ayah mendendangkan dalam
petikan gitar akustiknya. Lagu kesukaan almarhum, Ayah. Kini bila lagu itu
menjadi akrab ditelingaku bukan karena Tondri mengirimkan lagu itu untukku
lewat akun Youtube-nya, tetapi karena ada seseorang yang memberiku kesempatan
membuat klipnya.
Aku dan
Tondri, bersahabat sejak SMP. Dia selalu merasa sok tahu tentang isi hati dan
perasaanku. Padahal nggak semua aku curhatkan padanya. Aku kadang benci dia,
bukan karena sok bawelnya, tapi terlalu memikirkan kebahagiaanku. Dia selalu
berusaha mengenalkan beberapa temannya dengan harapan satu di antara mereka ada
yang menarik perhatianku, kemudian menjalin cerita cinta. “Ah, sebel
sebeeelll!” ucapku sambil mengepalkan tangan.
Aku tidak pernah tertarik pada mereka yang rata-rata orang kantoran
sibuk merapikan dasi, memainkan gadgetnya. Ada beberapa bule rekan kerja atau
teman kenalan di Gym. Namun aku tidak
tertarik sama bule, buntutnya long distance lagi, titik!. Aku ingin seseorang
yang bisa nyata kusentuh , berbagi suka duka tentang semua tidak harus romantis
yang penting bisa mengerti aku.
Aku
bahagia dengan keadaanku seperti ini. Aku tidak peduli usia berjalan menambah
angka pada setiap hari jadiku. Aku tahu
Ibu sangat menginginkan aku mengakhiri masa lajangku, menikah dan mempunyai
keluarga. Ibu dan Tondri sama-sama
cerewetnya, tapi aku suka karena itu warna hidupku. Meski keduanya berada di
tempat yang berbeda. Tondri di Sydney, Ibu di Probolinggo, salah satu kota di
Jawa Timur, sedang aku di Bogor. Kami bertiga berbeda tempat tetapi serasa
berdekatan.
Ibu, sosok yang sangat sederhana, masih suka bergelung
konde, mencintai baju batik. Ia selalu
memasak masakan tradisional, anti makanan fast food. Ibu seketika menjadi rapuh
semenjak Ayah meninggal dunia. ( seketika dipindah ke depan lebih enak ) Ibu
dulu penyanyi latar dan Ayah pemain gitar, dalam satu band. Ibu, lebih senang menjadi penyanyi latar,
meski Ayah sangat ingin Ibu ‘moving on’ menjadi penyanyi utama. Dan Ibu
akhirnya memutuskan tinggal di kampung halaman, untuk bertani daripada bertahan
hidup denganku di sini. “Kalau kamu menikah, baru Ibu ikut kamu, Ra,” kata Ibu.
Masalahnya aku belum siap untuk menikah dan itu ini menyebabkan Ibu akhirnya
pulang kampung.
“Doain
saja, Shafira segera menemukan jodoh, Bu!”
“Iya, Ibu
selalu mendoakan, tapi kamu jangan terlalu memilih Nduk!”
“Iya Ibu,
masalahnya belum ada yang cocok.”
“Kamu itu
satu – satunya anak Ibu, eling yang…”
“…yang
belum menikah, begitu kan Bu?”
“Hmmm, yo
repot ngomong kambe kowe, Nduk!.”
“Wes aku
pamit, Nduk.” ucap Ibu sambil membelai rambutku, sebelum masuk ke kereta api
Argo Bromo menuju Surabaya. Ini cerita tiga tahun lalu. Bayangan Ibu masih
tersimpan di stasiun Gambir, Jakarta. Selain Tondri, aku nggak punya teman
dekat. Aku sangat tertutup dan nggak pernah mampu percaya diri untuk membuka
diri. Terlebih buat seorang lelaki. Aku mempunyai kisah cinta menorehkan
kenangan sedih. Malaslah besoal cinta.
Aku mungkin terlalu sempurna mendefinisikan tentang cinta. “Ter…la…lu!.”
ucap Tondri menirukan suara bang Haji Rhoma Irama.
Hari ini
aku ingin bercerita kepada Tondri, tentang perkenalanku dengan pemusik
blues yang beberapa waktu lalu kebetulan
kujumpa di festival blues di Jakarta. Inikah takdir atau inikah kebetulan, kita
terpaut kesukaan pada sebuah lagu. “Ain’t No Sunshine by Bill Withers.” Tapi yang membuatku ragu bercerita, dia itu
seorang bule Amrik, dan aku takut Tondri akan menetertawakan diriku.
“Ra, kamu
masih suka bikin klip lagu?” tanya Tondri membuka chat.
“Masih,
kenapa Ton?” tanyaku lanjut.
“Kapan-kapan
tolong bikin klip buat Pauline mau ultah”
“Okay!”
jawabku menyanggupi permintaannya. “Ton, kamu ingat lagu favorit Ayah?” tanyaku
kemudian.
“ So,
pasti ingat, kenapa Ra! Maksudmu, Ain’t No Sunshine kan “Iya, aku jadi ingat
Ayahku.”
“I see,
darling…so?”
“Iya
malah, aku menemukan sosok Ayahku, pada dirinya.”
“Apaaaa?
Kalimat terakhirmu itu coba diulang, please!”
“Aku
menemukan sosok Ayah pada dirinya…padanya.”
“Siapa
dia?”
“Perasaan
aku belum pernah mendengar kamu menyebutkan nama seseorang yang belum aku
kenal, kamu selalu cerita semua…”
“Nggak
semuanya aku harus cerita, kita bukan teman sekolah yang setiap hari ngerumpi
melulu…”
“Bukan
begitu Ra, selama ini…” Tondri membiarkan kalimatnya menggantung dan tidak
melanjutkan chat itu.
“Aku minta
maaf bila ada yang aku sembunyikan darimu. Aku tahu kamu orang yang baik,
bahkan super baik banget, tapi kadang aku ingin bersunyi menikmatinya sendiri.”
“Okay no
problem, dear!”
“Aku jatuh
cinta, Ton!”
“Naahh!
Itu diaaa kalimat yang aku suka, akhirnya kamu jatuh cinta!”
“Selamat
datang dunia cintaaaa…”
“Tapiiii,
nggak yakin apa benar aku jatuh cinta padanya.”
“Lhooo
kok?!”
“Nanti aku
ceritakan lewat surel saja, aku buru-buru mau ke Jakarta ada meeting untuk
acara konser amal, sorry banget deh Ton!”
“Okay,
take care dear! Don’t forget please tell me about him.”
“Iyaaaa…pastilah,
bye bye muaaah!”
“Muuaaah
too…!” Layar monitor menunjukkan ikon offline. Aku terpaksa berbohong padanya,
aku tidak ada meeting bahkan beberapa hari, aku seperti anak baru gede
lagi. Aku terjaga hanya menunggu kabarmu
di kotak masuk Facebook. Aku sengaja online 24 jam.
Dia musisi, pemusik blues, namanya Mark
Ryan. Ingatanku mengkilas balik
pada dua tahun lalu, saat hadir
pada acara Jakarta Blues Festival oleh
teman yang menjadi panitia. Walau aku
kurang memahami musik blues, tetapi secara kebetulan justru di sanalah aku
mengenal si bule. Tiga bule “ngeriung” setenda di kios merchandise, ternyata
mereka para musisi pendukung acara.
Salah satu bule, menyapaku dan memastikan tepatnya lokasi acara di katalog.
Namun mataku tertuju pada bule seorang di antara mereka yang menyandang gitar
dipunggung, wajahnya sedikit brewokan. Aku menonton di Blue Stage, untung
berulang kali sempat aku mencuri pandang padanya, satria bergitar itu.
Aku
sengaja menyebutnya salah satu film favorit pamanku. Pandanganku tertangkap
basah, ia membalas dengan senyuman. Ketika mereka beranjak, aku kehilangan
jejak. Tak sengaja aku jumpa tiga sekawan di sekitar jalan Jaksa – Sabang, dua
hari kemudian, sewaktu makan siang. Pandanganku terfokus pada Ryan sang satria
bergitar, terkesan gitar tak bisa lepas dari punggung Ryan.
Aku
sengaja menghampiri. Ryan sambil menyilangkan kaki ia asyik menarikan jemarinya di batang gitar dari chord ke
chord, begitu lincah. Terasa keras, lembut dawai yang dipetiknya penuh rasa
melantunkan bunyi yang indah, aku suka
itu !
Allen,
kawanku seorang seniman Jerman mengajakku bergabung di
jejaring facebook bernama “Grup Seni
Modern” terdiri dari seniman seantero dunia. Mereka menampilkan karya seni seperti lukisan, video
klip musik. Semula canggung aku bergabung,
ada kendala keterbatasan bahasa Inggris, namun aku berupaya menampilkan beberapa garapan
video klip secara amatir, untung menarik perhatian beberapa anggota. Tak
dinyana aku dipertemukan kembali dengan seseorang satria yang pernah mencuri
perhatianku.
Allen mengirim pesan memperkenalkan
sahabatnya, “Hallo Shafira, I like you
to meet my friend he plays guitar, especially blues music. He has come to
Indonesia, his name Mark Ryan.” “Thank you, Allen. Of course!” jawabku singkat, sekenanya terkendala, “My English is
bad”. Sebaliknya ini kekuatan
Tondri yang cas cis cus ngomong Inggris
kayak burung berkicau. Kini ia menentap di negeri kangguru dan menikah dengan
Pauline yang asli berambut pirang. Aku
sempat kehilangan kontak dengannya. Setelah acara reuni akbar SMA, kami
berkomunikasi kembali.
Semangkok mie kuah sudah menungguku untuk disantap,
ketika aku mendapatkan balasan pesan pertama dari Mark Ryan. Feelingku
mengatakan bahwa itu dialah sang satria bergitar yang mencuri perhatianku.
Serasa aku menemukan sekotak pandora yang penuh berisi berlian berkilauan, imajinasiku menyeruak . Gejolak dihatiku
meletup-letup seperti 100 derajat
celcius. Rasa laparku hilang tiba-tiba, saat aku mulai menjelajahi wall-nya.
Namun aku tidak mendapatkan apa yang aku cari.
Sementara aku puas telah melihat ada beberapa tautan musik berirama jazz
blues. Ia sepertinya sangat tertutup, sehingga tak banyak album foto
tentangnya, hanya beberapa gambar tentang daerah di American Southwest.
“Ra,
Shafira?”
“Yup…”
“Sibuk?”
“Nggak,
ada apa Ton? Masalah klip ya?” balasku agak malas.
“Iya…”
“Insya
Allah, besok malam deh, pokoknya sebelum Pauline ulang tahun kan?”
“Iya, okay
thanks dear.”
“Ra,
sepertinya kamu akhir-akhir ini beda deh. Apa hanya perasaanku saja?”
“Emang
kenapa? Aku biasa-biasa aja nih.”
“Kamu lagi
sensitif banget sejak Pauline hamil!”
“Iya
mungkin.”
Mungkin
ada benarnya juga feeling Tondri, aku berubah. Perasaanku semakin tak menentu
sejak obrolan demi obrolan dengan musisi blues itu menuju titik terang. Hari
itu aku menampilkan lukisan gitar dengan sedikit narasi bahwa lukisan itu belum
selesai, dan tak ingin aku merampungkan,
“Thanks
your thumb on my link.” sapaku.
“I like
the the guitar painting, it seems finished to me. It’s very impressionistic and
modern-looking I was (still am) very impressed by it!” balasnya yang membuat
aku hampir tak percaya. Lukisan gitar itu ternyata menarik perhatiannya.
Lukisan yang menurutku hanya pelampiasan emosiku saat aku merasa kehilangan
seseorang yang selama ini tempatku berharap akan sebuah masa depan, namun
kandas di tengah jalan, karena takdir memisahkan kami selamanya. Lukisan itu pembuka
cerita keakraban antara aku dan musisi blues, yang ternyata memang dialah
sang “Satria Bergitar.” .
Hampir
setiap hari selalu ada pesan untukku, berbalas cerita yang tak pernah lepas
dari pembicaraan seputar musik. Ia sangat antusias bertanya soal musik
tradisional, terutama bermacam gamelan. Aku hampir tak mempercayai saat ia
menjelaskan padaku, ternyata ia lebih
paham dan mengerti dibandingkan diriku.
Ia telah membuka mata dan pikiranku terhadap keindahan kebudayaan
Indonesia, aku seperti diguyur air dingin, mimpiku tersentak. Ia terlihat
mencintai Indonesia.
“Bule
Amrik itu lebih menarik dari perkiraanku, Ton!” ucapku mengakhiri cerita
tentangnya kepada Tondri. Aku tak bisa bersembunyi terlalu lama darinya yang
hampir setiap ada kesempatan selalu menanyakan keadaanku yang menurutnya sangat
berubah banyak. “Jadiiiii, dia yang membuat Shafira-ku menjadi lain?” ledeknya
menambahkan ikon lidah terjulur, seperti kebiasaannya dulu. Aku sudah tak
peduli, yang penting ada rasa plong dihati.
“Kamu mau
ngomong apa saja, aku terima Ton!”
“Aku
serasa menemukan impianku kembali…”
“Yakin?”
“Mungkin
iya, mungkin nggak!”
“Apakah
dia sudah berkeluarga, Ra?”
“Hmmm,
entahlah!”
“Tondri,
video ulang tahun Pauline, sudah dikoreksi?” kataku mengalihkan pembicaraan,
karena terlalu fokus ke musisi Ryan aku lupa menanyakan hal itu.
“Bagaimana
dengan perbedaan keyakinan? Bahasa? Umur?”
“Tooonnn….?”
“Jawab
dulu pertanyaanku, Ra!”
“Entahlah,
aku tak berpikir kesana, aku jalani saja dulu.”
“Ya
begitulah kalau sedang jatuh cinta, Ra! Ha ha ha…”
“Mulaiiii
lagiii…!”
“Ia sangat
tahu banyak tentang Indonesia, Ton.”
“Ya
mungkin untuk menarik perhatianmu saja.”
“Kok sinis
banget, jadi malas mau cerita…,” ucapku setengah mengambek. Aku tahu aku sedang
jatuh cinta pada Ryan itu, meski aku belum yakin apakah ia pun merasakan hal
yang sama. Kami tak pernah membicarakan urusan hati. Lebih asyik bila arah
obrolan kembali ke acara Jakarta Blues Festival , itu menemukan ini lebih
menyatukan suatu reaksi kimiawi.
“Swear?
Anything thanks Mark. I glad meet you again in here.”
“Thanks
Shafira, you tell me and now I remember it ,all.”
“So I am
very happy, because I was reading your note about blues music genre at the
Jakarta Blues Festival. It’s nice...”
“Maybe
I’ll get a gig in Indonesia sometime!
“Yes I
hope one day I meet you again, and we can talk about anything.” Aneh, tiba-tiba bahasa Inggerisku bisa
lancar, andai Tondri tahu hal ini pasti dia akan tertawa terbahak-bahak. Tentu
aku senang membaca balasan itu, meski tak mengharapkan terlalu jauh untuk suatu
pertemuan kembali. Terlalu dini membicarakan soal itu. Mungkin saat membalas
pesannya aku bisa sedikit lancar, karena dibantu buku kamus dan laman
terjemahan Google. Namun, aku nggak yakin bila pertemuan itu terjadi apakah aku
bisa ngoceh cas cis cus seperti Tondri, sahabatku. Aku mungkin hanya akan
terpana menatapnya.
Percakapan lewat layar notebook, terpaksa harus
dihentikan karena hujan turun dengan deras dengan suara petir bersahut-sahutan.
Bukan karena aliran listrik yang padam seketika, namun saat hujan deras, urusan
genting bocor menyebabkan seisi kamarku mulai dipenuhi embar-ember penampung
air hujan dari atap. Ia pernah cerita, di tempat tinggalnya sangat jarang
sekali hujan turun. Ia sangat senang sekali setiap aku bercerita tentang hujan.
Bogor dengan kemacetan sejuta angkotnya, masih sering disapa hujan menjelang
sore. Separahnya daerah lain yang dilanda kekeringan karena musim kemarau
panjang, namun Bogor berdamai dengan gerimis hujan.
Iseng aku
menulis puisi tentang hujan, nggak menyangka ia sangat menyukainya. “Thank you
for the poem, it is very beautiful and very good. You are a marvellous writer
and poet.” Kata-katanya itu membuat kakiku seakan tak berpijak lagi pada tanah.
Puisi yang sederhana tentang kerinduan pada hujan, seperti lagu Ain’t No
Sunshine, sangat sederhana namun membuatku terlena. Aku pun mulai terkagum
padanya, berbagai versi lagu itu dimainkannya via solo gitar akustik atau
secara bersama dengan grupnya. Hingga terfikir aku ingin membuat klip versiku.
Aku mengetik kata demi kata menawarkan diri membuatkan video klip lagu tersebut yang mengabadikan kenangan untukku.
“I will
upload the guitar photo as soon as I can get them. And I
am sorry to keep you waiting, Shafira”
begitulah pesannya.”
“Yes!”
kataku dengan senang hati, akhirnya Dewi Fortuna kembali berpihak kepadaku.
Gemuruh jantungku memburu bak kuda pacu berlari. Aku memulai memadukan dan
memadankan slide picture memakai aplikasi terbaru dengan lagu kirimannya lewat
kotak emailku. Hari yang beruntung, jarang mendapat kesempatan online bareng
dengan waktu dan tempat yang berbeda. Di saat aku dibelai angin malam, justru
ia menikmati hangatnya mentari pagi, begitu pun sebaliknya. Tepatnya, perbedaan tempat dan waktu, dua belas jam!
Dua hari
berikutnya, aku rampungkan garapan klip untuknya. Sebuah lagu “Ain’t No
Sunshine” versi gitar akustik. Aku segera memberikan kode link dari akun
Youtube dengan kondisi “Unlisted”.
“Wow that
was really nice. I liked the way you used my art work with the music. The video
is very nice, the writing at the end is exactly right. I loved it.” Kata-kata itu membuat langit seakan runtuh.
Aku tak menyangka ia begitu menyukai. Ditengah obrolan tiba-tiba ia berpamitan,
Ini yang ketiga kalinya ia melakukan itu. Aku menghargai walau dalam hati aku
merasa ia akan pergi jauh sekali, aku takut kehilangannya. Ia berpamitan akan
mengadakan road show dengan grupnya di beberapa
kafe dan toko buku di luar kota, menghibur di akhir pekan.
“Yeah
Shafira, tomorrow night I’m traveling to another place for our music
performance and I will be gone all the weekend after that. I should be back on
Sunday.”
“Thank you
again for your generosity and thoughtfulness! Hope everything is going well for
you.” Sebelum ia meneruskan cerita aku mengingatkan bahwa hari telah merambah
tengah malam dan waktunya ia pergi istirahat.
“Yes, it’s
11.30 pm here-almost midnight. You’re right, time to rest,” ucapnya mengakhiri
percakapan. Dan sejak itu ia menghilang dari layar facebook, aku tak menemukan
dirinya lagi di jagad alam maya. Sepi.
Selasa akhir Juli, sepucuk surat berwarna kuning
muda, duduk manis di meja kerjaku. Surat dikirim dari benua Amerika, tak pernah
aku mengira akan mendapatkan darinya. Seperti seorang gadis remaja yang baru
pertama kali menerima sepucuk surat, seperti itulah aku. Dadaku berdegup.
“Speechless
banget! So romantis!” ucapku girang. Ternyata selama ini menghilang dari jagad
maya, ia tengah mengurusi persiapan untuk manggung dalam acara pagelaran blues
di Indonesia. Aku berulang kali membacanya dengan hati berbunga-bunga.
“Jadiiiii…kamu
bakal bertemu dia lagi dong?”
“Insya
Allah Tondri, doain aku bertemu Satria Bergitar dari Amrik itu”
“Ha ha
ha…senang dong!”
“Lha iya
lah, kok kamu sepertinya jealous banget sih!”
“Apa iya?
Justru aku ikutan senang dan berdoa, kali ini kamu harus yakin!”
“Maksudmu
Ton? Memilikinya? Mencintainya?”
“Bisa
jadi…”
“Aku nggak
berpikir kesana, Ton.”
“Aku hanya
berpikir, aku bisa bertemu lagi dengannya!”
“Aku ingin
ia melantunkan lagu Ain’t No Sunshine itu.”
“Jadi
nggak mengharap ia membalas panah asmaramu, Ra?”
“Aku belum
melepaskan anak panah kepadanya.”
“Aku hanya
berpikir ini cinta sebatas angan yang kelanjutannya….”
“…I don’t
know but I feel it.”
“Ha ha ha
. . . apa pun itu selamat deh!”
“Semoga
cinta sebatas anganmu menjadi nyata dan indah, Shafira sahabatku.”
Di balik
layar notebook aku merasa Tondri masih mentertawakan aku, karena aku termakan
sumpah serapahku sendiri, jatuh cinta pada bule brewokan dan kemungkinan
usianya jauh lebih tua dariku. Lagu "Jatuh Cinta" karya Titik Puspa
sudah nangkring di wall-ku dikirim oleh Tondri. “Jatuh cinta berjuta rasanya,
biar siang, biar malam terbayang wajahnya….oh asyiknya.”.
S E L E S A I
Kado
ultah untuk Max Ridgway, gitaris dari Oklahoma (2012)
C a t a t a n :
Nduk = Nama panggilan
untuk anak perempuan di Jawa
Eling = Ingat (Bahasa
Jawa)
Kowe = Kamu (Bahasa
Jawa)
Wes = Sudah (Bahasa
Jawa)
rampung = selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar