Rabu, 04 Mei 2016

C e r p e n


Bukan Kekasih Gelap
Oleh : Arie Rachmawati

foto diambil dari Pinterest


Sore itu aku berjanji menemui seseorang di tempat biasa, tempat kami bertemu. Sore itu hujan turun deras sekali, tapi di tempat tinggalnya tak setitik air hujan turun, malah udara panas dan gerah. "Hujan angin nih!. Rus, tunda aja sampai reda, lalu kita berangkat." katanya sebelum menutup telepon. Sementara aku masih berpikir alasan apa yang tepat untuk ijin keluar. Ibuku sangat pelit memberi ijin keluar, harus terperinci urusannya agak ribet. "Kamu aja yang ijin sama Ibu, aku malas mau ngomong takut salah. Please ya Ndut!" tulisku dalam kalimat What'sApp. "Okay..." balasnya singkat. 

Ndut, aku lebih suka memanggilnya begitu. Utomoarto nama panjangnya. Sebenarnya ia sudah tidak gendut lagi seperti jaman sekolah. Namaku Ikawati, tapi ia lebih suka memanggilku, Rus, karena aku kurus. Sekarang justru kami kebalikkan jadul. Namun persahabatan itu tetap terjalin indah hingga kini.

Sudah lebih sembilan puluh lima menit hujan belum reda, menunggu hingga mengantuk. Tiba-tiba terdengar suara deru motor vespa berhenti tepat dibawah jendela kamarku. Kamarku berada didepan sejajar dengan ruang teras depan. Kamarku memang ruang tambahan yang dulu dipakai kakakku yang nomor tiga, kini ia tengah merantau ke negeri seberang. Dua kakakku yang lainnya sudah berumahtangga dan tinggal di Madiun. Aku bergegas bangun dan menemui Ndut sebelum ia bertemu Ibu. Hampir setiap saat Ndut membawa buah tangan kesukaan Ibu, yaitu martabak telor. Ibu senang atas perhatian dari Ndut yang tak pernah berubah sedari kami teman sekolah menengah pertama. "Rus, Ibu dimana?" tanyanya sambil mencari bayangan Ibu. Aku menggelengkan kepala tanda tak tahu. Mata kami tertuju pada meja makan yang terletak di ruang tengah. Diatas meja makan ada secarik kertas berisi tulisan, "Ibu dan Bu Azis ke blok sebelah, melayat. Kunci rumah taruh di bawah rak sepatu." Allah Maha Penyayang, aku tanpa menemui kesulitan mencari alasan, Ibu sudah memberi ijin kami untuk bisa pergi. "Alhamdilillah ...", gumamku dalam hati.

Jarak tempuh lumayan jauh akhirnya tiba kami di tempat biasa untuk bertemu dengan seseorang. Sebuah rumah sederhana yang disulap menjadi warung kopi. Sepi karena bukan malam minggu. Walau menunggu agak lama, tak tergambar wajah lelahnya. Ndut terlebih dulu mencium tangannya kemudian baru aku mencium tangannya. Ndut berpamitan untuk menunggu di luar. Pertemuan ini sudah yang kesekian kalinya kami rahasiakan dari Ibu. Laki-laki tua yang duduk dihadapanku memang agak kurus daripada beberapa bulan yang lalu pertemuan sebelum ini. Penyakit gulanya yang menyusutkan tubuhnya. Wajahnya tirus, padahal dulu berwajah bulat dengan kumis lebat dan rambut ikal. Ia menyapaku dengan senyum khasnya dan menyalakan sebatang rokok kretek.

"Bagaimana kabar Ibumu, Nduk?" 
"Alhamdulillah sehat, Bapak..." Suasana hening hanya kepulan asap rokok yang menggangguku melihat wajah Bapak. 
"Ini Bapak pesankan wedang ronde, mana Utomo suruh kesini."
"Nanti saja Pak, mungkin dibungkus saja karena aku ndak bisa lama Pak."
"Kowe iku selalu begitu .... selalu buru-buru."
"Kowe iku lho kok masih sendiri? Sampai kapan toh?"
"Itu Utomo dari lajang sampai duda masih menunggumu?"
"Kowe masih suka padanya kan?" Aku hanya diam, tak tahu apa yang harus kulakukan dihadapan Bapak. Mungkin ia mengerti bahasa tubuhku, namun menurutku rasa suka saja tak menjadi patokan aku dan Ndut bisa sejalan melebihi arti sahabat. Aku nyaman dengan keadaanku saat ini.

"Oaalah Nduk, kowe iku mirip sekali dengan Ibumu." Sesuatu yang aneh, Ibu selalu menyebut bahwa aku mirip sekali dengan Bapak. Kini Bapak juga mengucapkan hal sama, aku mirip Ibu. Dimana letak kemiripannya aku pun  tak tahu. Bagiku Bapakku itu sosok yang misterius.
"Terlalu banyak alasan kamu itu, Nduk."
"Maaf Pak, saya datang bukan untuk dicermahi soal itu ..."
"Iya Bapak tahu tapi Bapak ingin melihat kamu menikah. Dan menikahkan anak bungsu Bapak."
"Usiamu itu lho, sudah 29 tahun?"
"Soal jodoh, rejeki dan usia itu rahasia Allah SWT, Pak." sautku agak emosi.
"Bapak takut ...," ucapnya pelan. ".... takut ndak sampai umur," sambungku dengan nada tinggi. Tidak biasanya aku berucap seketus itu, tapi entahlah setiap disinggung masalah menikah tiba-tiba darahku mendidih, emosi naik ke ubun-ubun. Alasan klasik itu pula yang sering diucapkan Ibu kepadaku. Secara pribadi aku pun ingin segera menikah dan mempunyai momongan seperti keluarga lainnya. Namun ada sesuatu yang tak bisa aku jelaskan kepada Ibu dan Bapak juga kakak-kakakku. Satu tahun terakhir ini baru bisa berbagi sedihku kepada Ndut, 

Segera aku memberikan bingkisan terbungkus kertas koran untuknya. Bapak menerima dengan ragu. "Apa ini Nduk?"  "Itu permintaan Bapak tempo hari, maaf baru bisa dipenuhi, susah mencarinya Pak." "Dapatnya di Kwitang Pak, sudah bolak-balik baru dapat seminggu lalu." "Buku tentang Soekarno, Pak". kataku singkat. "Terima kasih, Nduk."

Aku pun mengangguk dan segera berpamitan, tapi tanganku ditarik Bapak untuk segera duduk kembali.Duduk kembali berhadapan dengan Bapak.
"Terlalu cepat kamu pamit pulang, Bapak masih ada yang diobrolkan." ucapnya pelan. Dibalik saku jaketnya Bapak mengeluarkan bungkusan tipis berisi foto-foto jadul. Foto-foto itu digelar di atas meja tamu beralas kain batik. Aroma foto jadul membuatku batuk. 
"Hanya ini yang ditemukan dilaci rumah Eyangmu. Gadis kecil dalam pangkuanku itu adalah kamu."
Aku menggeser kursiku dan merapatkan tubuhku. Sejajar pundakku dengannya. Ingin sekali aku menyandarkan kepalaku dan dibelai manja olehnya. Namun hanya sebatas angan saja. Melihat beberapa foto lama yang menandakan kedekatan antara Ayah dan anak gadis kecilnya, menunjukkan bahwa Bapak sangat sayang kepadaku tidak seperti kalimat-kalimat pedas yang sering kudengar dari Ibu dan ketiga kakakku.

Hening, tak ada lagi obrolan di antara kami berdua. Suasana didukung dengan sayup-sayup lagu intrumental Layu Sebelum Berkembang. "Itu lagu kesukaan Bapak, Nduk."  "Lagu itu mengingatkan kepada Ibumu."  Aku hanya mengangguk pelan, serasa memahami perasaannya. "Sebenarnya Bapak ingin sekali banyak bercerita kepadamu, tentang banyak hal yang belum kamu ketahui tentang Bapak. Bukan mencari pembelaan diri, tapi ya sudahlah ..." ucapnya ragu. Nada bicaranya pun mulai tak bergairah. "Ceritakan saja Pak bila ingin diceritakan."  "Temui Bapak tanpa harus di antar Utomo."
"Iya ..." jawabku yakin.

Permintaan itu hal sulit tanpa campur tangan Ndut. Selama aku kembali ke Madiun, Ndut mendapat kepercayaan Ibu juga ladang alasan agar aku bisa menemui Bapak. Pertemuan dengannya diakhiri dengan pelukan yang sangat erat, hingga membuatku merinding. Aku merasa enggan untuk melepaskannya. "Menikahlah Nduk ...," bisiknya pelan. Namun kali ini emosiku datar, Aku ingin sekali menggali memori itu, namun kuurungkan niat itu mengingat waktu semakin larut malam. Akhirnya kami bertiga berpamitan kepada pemilik warung. Nampak dari kejauhan aku melihat punggung Bapak ditelan malam. Bapak pulang ke rumah Eyang di Pagotan, arah dari Madiun menuju Ponorogo.

Malam menjelang pukul 22.00 wib aku sudah tiba di teras. Selama dalam perjalanan Ndut pun diam. Tak seperti biasanya selalu menanyakan apa saja obrolan dengan Bapak. Saat ia menanyakan, "Rus, kamu sudah cerita tentang kita?" Aku menggelengkan kepala dan segera duduk manis dibelakangnya sebelum vespa melaju. Hal itu menurutku belum tepat waktunya. Mungkin pertemuan berikutnya bisa bercerita secara terperinci tentang kami. Meski pun kunjungan berikutnya aku tak tahu kapan bisa kembali ke kotaku. Madiun kota kelahiranku. Apalagi untuk menemui Bapak harus sinkron waktunya antara aku, Ndut dan Bapak. Sementara kedatanganku yang tiba-tiba lebih banyak meleset bila mendadak ingin bertemu dengan Bapak.

Perjalanan setiap manusia itu berbeda, termasuk cerita tentang keluargaku. Kegagalan dalam berumah tangga dengan sederet cerita panjang kehidupan Bapak dan Ibu di masa lalu, membuatku enggan untuk memperluas pergaulan. Menurutku urusan mereka masing-masing namun biarkan aku berdiri di antara keduanya tanpa harus menyalahkan atau membenarkan. Kakak-kakakku memang terkesan cuek dan banyak membela Ibu. Bapak yang suka berpetualangan sering kali susah dilacak keberadaannya. Karena ketiga kakakku laki-laki tidak merepotkan kehadiran Bapak saat mereka menikah. Namun aku nantinya akan membutuhkan Bapak untuk wali pernikahan. Aku enggan menjalin hubungan dengan pria. Bukan karena masalah ortu tetapi lebih menjurus masalah kesehatan. Ini masalah yang sangat dalam sebagai seorang perempuan aku pun belum bisa menerima takdirku. Takdir kehilangan rahimku. Terlalu rumit dijelaskan, hanya Utomo alias Ndut yang memahaminya karena kedua ortunya bersahabat dengan ortuku. Di masa SMA ketika Ndut menyatakan cintanya kepadaku, aku sengaja menolaknya. Ia tetap menunggu dan akhirnya menikah dengan Lista teman kuliahnya. Lalu prahara rumah tangganya dan membuatnya kembali sendiri tanpa diberi kesempatan mendapat momongan. 

Kembali ke Jakarta dengan segudang pekerjaan yang menumpuk. Tugasku sebagai jurnalis mendapat kesempatan meliput berita beberapa kali di Surabaya, memberi kesempatkan meluangkan waktu ke Madiun. Itu sebabnya pertemuan kemarin dengan Bapak sangatlah istimewa, karena tak biasanya membuat janji dengannya langsung bisa terwujud. Mungkin itu pertemuan yang terakhir dan berbeda, karena baru kali itu Bapak menyinggung soal pernikahan. Ingin aku menceritakan hal sebenarnya namun kepada Ibu saja belum kusampaikan maksud hati berdua. Temaramnya senja membuat langit di atas kepalaku menjadi gelap. Ketika tiba-tiba Ndut mengirimkan kabar bahwa Bapak sakit dirawat di UGD karena dehidrasi berat hingga tak sadarkan diri. Dalam hitungan tiga jam sudah mengabiskan empat botol infus, ditambah gula darah yang menurun drastis. Rasanya cepat sekali waktu bergulir, dalam hitungan menit Bapak masih tersenyum kepada Ndut kini sudah kembali kepangkuan Allah SWT. Aku hanya menahan isak tangis dan tak berani berkata apa-apa kecuali mengucapkan, "Inna lillahi wa'inna lillahi rojiun". 

Kereta api Argo Wilis membawaku kembali ke kota Madiun. Linangan air mata menemani perjalanan. Tak ada lagi pertemuan tersembunyi, menemui sosoknya melebihi menemui kekasih gelap. Terlalu banyak alasan untuk berbohong kepada Ibu. Andai Ibu mau bersahabat dengan masa lalunya tak mungkin banyak ketidak-jujuran dariku. Aku pun lelah dengan keadaan yang berlangsung sejak aku masih kecil. Toh takdir jalan hidup sepahit apapun tetap dijalani. Kini Bapak berbaring damai dalam perut bumi. Membawa sisa kenangan yang belum terbagi denganku. Dan terkejutlah aku ketika Ndut memberikan setumpuk buku harian Bapak dengan tinta luntur. Banyak cerita disana yang belum terungkap jelas, banyak harapan yang belum terwujud adalah menikahkan diriku, "Aku ingin menikahkan anak gadisku dengan pilihan hatinya, siapapun itu. Ya Allah tolong bantu ia menemukan pasangan jiwannya agar ia bahagia.... Bapak"

 S E L E S A I

Cerpen ini hanya fiksi ditulis spontanitas via aplikasi Blogger Android
Ditulis ketika aku ulang tahun ke 48 (27/4/2016) saat kehilangan beliau.
Dan cerpen ini didedikasikan untuk mengenang Alm Bapak Sucipto
RIP Arjasa 14/Mei/1939 - Arjasa 22/April/2016
tutup usia 77 tahun