Di Interlude Aku Jatuh Cinta
Oleh Arie Rachmawati
Senja
merah merona jatuh
di ujung kaki langit Jakarta, indah sekali di antara birunya langit yang bersih
dan awan berarak berganti rupa. Saat itu lamunanku tersadar oleh dering ponsel.
Teringat aku setahun lalu, saat gitaris itu datang menempati tempat favoritnya
di ujung koridor. Hampir tiga bulan ia dengan beberapa temannya sesama
musisi sering mengunjungi tempatku bekerja sebagai waitress di lounge.
Semula
kehadirannya kuanggap biasa saja, layaknya pengunjung- pengunjung lounge
lainnya. Datang dan pergi menikmati suasana lounge yang terletak jauh dari
keramaian kota dan selalu menawarkan sesuatu yang berbeda pada setiap akhir
pekan.
Ia
selalu duduk sendiri memojok pada sudut ruangan, saat teman- temannya satu per
satu meninggalkan dirinya. Ia senantiasa memetik gitar dan di atas meja selalu
berserakan kertas-kertas berisi partitur lagu. Aku tahu hal itu karena dulu aku
sempat belajar musik walau tak mengenal not balok hanya notasi lagu saja,
selebihnya harus berani bermain improvisasi.
Ia
adalah sahabat dari pemilik lounge ini, meski di antara majikanku dengannya
jarang bertemu muka. Aku juga baru mengetahui kalau ia seorang musisi senior
yang di jaman kejayaannya menghasilkan lagu-lagu yang menyentuh dan meledak di
blantika musik.
Bermula
pada suatu malam,
saat ia tinggal sendiri di sudut ruangan dekat kolam ikan, tak jauh dari
tempatku duduk. Malam itu aku shift
malam dan pengunjung satu per satu sudah meninggalkan lounge.
Ia
berambutnya hitam sedikit gondrong, kurus, tinggi, dan berkumis hitam yang
berbaris penuh. Sebentar–sebentar ia berdiri di ujung koridor mematung, lalu
menyulutkan api pada sebatang cerutu yg dipegangnya kemudian mematikan apinya.
Tingkahnya
tenang, tetapi matanya gelisah. Bahkan ia tak menyadari bahwa ada sepasang mata
mengikuti setiap sudut arah pandangnya. Batang cerutu itu kembali berasap. Ada
kenikmatan dalam setiap hisapannya, lalu perlahan dihembuskan asap itu
membentuk lingkaran. Aku cukup menyebutnya “Lelaki Bercerutu,” karena cerutu
itu tak pernah lepas dari tangan kirinya. Kadang aku merasa dekat, saat
mengantarkan segelas Inca Cola pesanannya.
Empat
mata itu bertemu dalam satu pandang. Ketika mata itu semakin dekat aku melihat
keseluruhan sosoknya dan mulai terpikat. “Ah, sialan aku tertangkap basah,”
gumamku dalam hati. Aku menyadari ternyata ia tersenyum dan itu membuatku lupa
menanyakan menu tambahan untuk pemesanan berikutnya. “Terima kasih,” balasnya
singkat.
Suatu
hari, tidak seperti biasanya, kali ini aku menjumpainya di siang hari, kemudian
ia melempar senyum kepadaku. Aku tertegun sejenak melihat sosok yang selama ini
kukenal ternyata kini jauh berbeda. Ia berada di depanku dengan potongan
rambutnya rapi, bahkan wajahnya ada yang beda yaitu tanpa berkumis. Gitar
klasik itu masih dalam pangkuannya dengan gaya khasnya memetik gitar dan
mengalun lagu demi lagu.
Di
tengah terangnya hari tiba-tiba gerimis turun, jatuhnya air dari langit seakan
mengikuti ketukan birama lagu. Di luar dugaan, ia menahan tanganku. Saat itu
aku baru menaruh pesanan menu di atas meja. Karena aku terkejut maka segelas orange juice itu tumpah mengenai kertas–kertas
bertuliskan not balok menjadi luntur tak terbaca lagi.
“Maaf
pak, maaf saya tidak sengaja, maaf,” ucapku berulang kali memohon maaf.
Wajahnya tanpa ekspresi marah sedikit pun, bahkan ikut membantu membenahi
barang–barang yang berantakan di atas meja.
“Nggak
apa–apa. Aku yang salah. Semestinya aku tak membuatmu terkejut, jadi maafkan
aku ya?” pintanya lembut. Tangannya menyentuh punggung tangan kananku, seketika
wajahku serasa tersiram air dan mengangguk pasrah.
Syukurlah
kejadian itu tak diketahui pegawai lain. Aku mengambil langkah seribu dan
bersembunyi di balik rak piring di dapur. Dadaku berdegup kencang. Kedua
telapak tanganku pun menjadi dingin seketika. Sentuhan sesaat itu telah membuat
sekujur tubuhku seperti mendapat sengatan listrik yang dahsyat. Aku tersipu
malu.
Semenjak
itu ia menawarkan jalinan pertemanan meski tak banyak bicara. Dan seperti biasa
ia masih setia duduk di kursi yang sama di ujung koridor lounge ini. Tangannya tak pernah lepas memangku gitar akustiknya.
Nada dan irama masih seperti yang kemarin, sepertinya valse itu masih
belum tergeser. Dan setiap petikan gitarnya seolah–olah membuatku menjadi
kenikmatan tersendiri kala kepenatan mulai memenuhi jadwal kerjaku.
Sudah
seminggu lebih aku tak pernah melihatnya lagi, bahkan rombongan teman–teman
musisi itu juga sudah lama tak singgah ke lounge
ini. Berita yang beredar mereka tengah menggarap album baru. Untuk kebangkitan
kembali grup bandnya itu. Aku membetulkan letak kacamata minusku dan kembali
merajut benang wol berwarna hijau toska itu menjadi sebuah syal. Beberapa
rajutan lagi kelar tinggal membuat rumbai–rumbainya saja. Aku berharap syal
sederhana itu bisa bermanfaat buatnya. Ada sebersit rasa ragu, akankah
keinginanku itu bisa diterimanya.
Rupanya
malam itu sang Dewi Amor tengah berpihak padaku. Ia datang menghampiriku dan
duduk tepat di depanku melantunkan satu lagu. Hingga pada sebuah musik tengah
sebuah lagu atau interlude, serasa
aku terhipnotis. Interlude itu sering
kudengar beberapa waktu yang lalu. Rasa haru menyeruak dan berhasil aku
sembunyikan beningan cair itu yang membuncah di sudut mata.
Ketika
aku beranjak, tiba-tiba tangannya menahanku. Ia menyuruhku bertahan seraya
berkata, “Duduklah, nikmati satu lagu lagi untukmu,” pintanya. Intro itu mengalun dengan syahdu. Aku
duduk berhadap-hadapan dengannya, pandangan mata kami saling beradu dan saling
berbicara tanpa satu kedipan. Hatiku bergemuruh, sedang mulut dan bibir
terkunci diam. Suasana hening hanya terdengar petikan gitar itu merajai suasana
tenggelam sampai petikan terakhir. Serasa dalam mimpi dan tak ingin terbangun.
“Siapa
namamu,” sapanya.
“Denyar,”
jawabku singkat.
“Denyar...,
Denyar? Hmm..., nama yang unik,” jawabnya seperti tengah berpikir.
“Hanya
itu?” ulangnya lembut.
“Yaa...”
jawabku mengangguk pelan
“Kamu
tahu arti namamu?” tanyanya lagi.
“Ya,
artinya semacam firasat,” jawabku pendek.
“Benar.
Denyar semacam serabut halus yang ada di dalam hati. Kita bisa merasakan
sebagai pertanda semacam firasat, intuisi, atau ilham. Ya begitulah, kreatif
juga orang tuamu,ya?” balasnya dengan senyum.
“Denyar,
boleh aku panggil kamu dengan panggilan, Ar saja?” ucapnya memohon.
“Namaku
James Wong. Panggil aku Jim saja!. Tanpa pak, ya?”ucapnya sambil mengulurkan
tangan.
“Iya,
terima kasih, pak Jim. Maaf, saya pamit banyak perkerjaan yang harus
diselesaikan. Maaf, mungkin lain kali kita bisa ngobrol banyak,” balasku dengan
santun menyudahi pembicaraan itu. Aku segera menghilang di balik tembok yang
memisahkan ruangan tengah dan ruang samping. Suaranya serak dan berat, namun
lembut ada kedamaian saat ia berkata, benar-benar telah membuatku mabok
kepayang.
Hari
itu aku baru selesai shift sore, pak Jim sudah menunggu di beranda.
Malam itu kami menghabiskan waktu untuk mengobrol dan sesekali ia memainkan
gitar akustiknya. Kali ini interlude
itu dalam kesempurnaan. Interlude
yang pernah dipersembahkan untukku. Ada senyum kepuasaan terlihat di wajahnya.
Dan aku menikmati suasana itu.
“Maaf,
sebelumnya saya tidak mengetahui siapa bapak. Teman–teman di sini mengatakan
bapak dulu musisi dan pencipta lagu. Saya lebih suka merajut, sambil
mendengarkan musik intrumentalia.
Maaf saya, kurang pergaulan,” kataku membuka pembicaraan.
“Ha
ha ha, seleramu bagus juga. Jarang gadis seusiamu menyukai pekerjaan tangan
semacam itu. Salut!! Oya aku dengar, kamu suka menulis. Selain menulis cerpen,
menulis apa lagi?” tanyanya menyelidik.
“Menulis?”
tanyaku ulang.
“Siapa
yang mengatakan demikian, Pak?” Pikiranku langsung tertuju pada ibu Mia pemilik
lounge ini. Hanya beliau yang mengetahui aku suka menulis cerpen. Kebetulan
malam itu tiba–tiba Ibu Mia muncul dan ikut bergabung dalam pembicaraan.
“Wah,
rupanya kalian sudah akrab, ya? Syukurlah tak perlu lagi saya mengenalkan
kalian masing-masing.” Aku menjadi salah tingkah namun situasi itu segera
terkendali.
“Duduklah
Denyar, tugasmu sudah selesai, bukan? Menemani dan membuat nyaman para tamu
adalah servis lounge kita, bukan?”
ucap Ibu Mia mempersilahkanku. Kami bertiga larut dalam canda, meski dalam
keadaan itu aku hanya sebagai pendengar yang baik saja. Kemudian, Ibu Mia
segera pamit dan tinggallah kami berdua.
“Ar,
besok malam aku kembali ke Amersfoort.”
“Amersfoots?
Di mana itu?”
“Dekat
Belanda.”
“Apakah
itu dalam waktu lama atau sebentar saja?”
“Apa
kau tak tahu aku tinggal di sana. Kunjunganku ke Indonesia karena teman-teman
akan membuat album lagi, sekedar reuni dan nostalgia dalam bermusik.” Aku
mengangguk, karena memang tak tahu beradaannya selama ini.
“Secepat
itu? Aku merasa baru mengenalmu.”
“Ya.
Tapi aku sudah menundanya hingga besok. Semestinya dua minggu lalu aku kembali
ke Amersfoort. Kamu tahu kenapa, Ar?” Aku tentu saja menggelengkan kepala dan
tak meningkahi pembicaraan itu. Gemuruh di dadaku mulai bangkit, menantikan ia
melanjutkan cerita.
“Karena,
tiga minggu terakhir ini aku merasa dekat denganmu. Dan, aku diam– diam
mengamatimu dengan bantuan Mia. Aku sudah membaca tulisanmu di buku bersampul
jingga itu. Aku tertarik dan suka caramu menulis. Liar, bebas dan polos.
Mungkin suatu saat kita bisa duduk bersama menulis lirik lagu. Teruskan Ar dan
aku akan berdoa untukmu. Aku yakin kamu kelak akan menjadi seorang penulis
terkenal,” tuturnya dengan panjang lebar.
“Benarkah?
Musisi sehebat kamu menawarkan itu untukku? Ah, jangan membuatku
melayang,” kataku dengan becanda dengan hati berbungah.
“Kenapa
harus dipungkiri bukankah di bukumu itu bercerita tentang perasaanmu
terhadapku. Justru akulah yang merasa tersanjung, Ar.”
“Akulah
yang tersanjung, orang sehebat kamu peduli dan perhatian padaku, aku hanya
seorang waitress, tak lebih.”
“Huuush...,
kamu ngomong apa sih?. Aku melihat sesuatu yang lebih dalam dirimu yang belum
terungkap, percayalah.” Kemudian ia duduk merapat dan aku jatuh dalam
pelukannya. Sementara malam kian tengelam dan larut hanya bintang gemintang
bertaburan di langit gelap. Semilir angin malam menyapu keheningan.
“Tinggalkan
nomor selulermu, biar kita tetap berhubungan walau jarak memisahkan kita.”
bisiknya ditelingaku.
“Sebentar
ya, aku punya sesuatu untukmu.” Segera aku mengeluarkan bingkisan dari tas.
Kuberikan itu kepadanya. Aku berharap cemas saat ia membukanya dengan perlahan
dengan sorot matanya sesekali tertuju padaku.
“Maaf,
aku belum sempat membungkusnya dengan rapi, baru tadi pagi syal ini kelar. Aku
berharap kau menyukainya.”
“Terima
kasih ya, Ar.” Satu helaan nafas panjang. Ia memberikan kembali bingkisan itu
kepadaku dan aku melilitkan syal hijau toska itu pada lehernya, kemudian ia
membalasnya dengan satu kecupan di keningku. Kali ini aku benar– benar tak bisa
lagi membendung rasa mengharu-biru itu. Dan membiarkan keadaan berlaku. Malam
itu adalah malam terindah sepanjang hidupku.
Waktu
bergulir,
menggulung hari demi hari. Pertautan itu telah berjalan setahun lebih. Aku tak
lagi bekerja di lounge itu, sejak ia
pamit kembali ke Amersfoort. Komunikasi kami terbatas jarak dan waktu, hanya
lewat facebook-lah alat satu-satunya yang bisa membuat ruang rindu itu
semakin penuh angan dan impian.
Menjalin
kata dalam status dan meng-upload foto baru darinya adalah kegiatan yang
amat kunantikan. Hingga suatu hari, aku baru mengetahui keberadaannya setelah
sekian lama tidak aktif. Berita merebak bahwa ia tengah mendapat perawatan
khusus karena penyakitnya rada serius. Beberapa support dan ucapan dari
sahabat-sahabatnya memenuhi dinding facebook-nya. Tentu hal itu amat
membuatku tak tenang.
Seperti
awan gelisah berganti rupa dan pepohonan menggugurkan daun-daun kering,
melayang jatuh ke tanah dan terbuang. Beberapa kali aku menghubungi seluler-nya
pun tak berbalas. Satu-satunya orang yang bisa kuhubungi adalah Ibu Mia, sayang
nomor itu sudah tak aktif lagi. Jalan satu-satunya mendatangi tempatku bekerja
dulu.
Bersamaan
itu langkahku membawa ke lounge itu menghadirkan sekelebat wajahnya yang teduh,
tengah memetik gitar akustik. Wajah yang pernah akrab dengan sentuhan interlude
yang selalu diulang untuk hasil akhir yang sempurna.
Ibu
Mia tiba-tiba berdiri di depanku dengan sepasang mata yang sembab dan memeluk
diriku. “Maafkan aku ya Denyar, sudah lama ia menitipkan ini padaku. Aku
terlalu sibuk hingga aku nggak sempat menghubungimu. Dan aku ganti nomor. Ia,
Jim sudah berpulang seminggu yang lalu. Aku kehilangan seorang sahabat,”
ucapnya panjang lebar di antara isak tangisnya.
“Meninggal
dunia? Kapan, Bu?“
“Ia
dimakamkan di mana, Bu?“ tanyaku gamang.
“Di
Amersfoort, bersebelahan dengan mendiang istrinya.“ Aku hanya diam terpaku,
serasa tak percaya berita duka itu. Kini sebuah compact disc berpindah tangan kepadaku. Dalam genggamanku aku
membaca sebuah tulisan, “Buat Teman Malamku.”
Ada
rasa haru yang amat dalam yang menguasai relung hatiku. Aku berusaha pasrah
bahwa seseorang yang pernah melewati malam-malam panjang bersamaku, kini telah
menuju sang Pencipta kembali kepada-Nya.
Aku
baru mengenalnya dan merasa dekat dengan sosoknya yang bersahaja. Namun
kedekatan itu serasa aku telah mengenalnya sekian waktu yang lama. Petikan
gitarnya dalam album soft launching itu sebagai penawar rindu, dalam
interlude aku pernah jatuh cinta pada lagu itu. Mengalun dalam keheningan,
sebuah senandung malam dalam petikan gitar akustik mengantar pada akhir
perjalanan hidupnya.
“Selamat
Jalan James Wong, petikan gitarmu mengalun abadi dalam kalbuku.“
SEKIAN.
(Buat
: Alm.Jimmy Paais /SYMPHONY-JRS)
Dimuat
di Tabloid Gema Publik, Edisi 01/Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar