Senin, 09 Mei 2016

Kumpulan Cerpen DdR

MENITI ASA
Oleh Arie Rachmawati




Aku rindu Faza, anakku. Bayi mungil itu belum genap berusia tiga puluh hari, saat aku harus meninggalkannya. Perpisahaan  kujalani demi masa depan yang tertunda karena satu kesalahanku terbesar.
Aku berharap dengan kehadiran Faza, ayah merestui hubungan kami. Ternyata dugaanku meleset. Masih teringat jelas kenangan pahit itu menari – nari di pelupuk mataku. Lelaki yang amat kubanggakan tak sedikit pun mampu menunjukkan keperkasaannya mempertahankan impian kami.
Ia duduk terpekur dengan kepala menunduk, menerima keputusan kedua orang tuaku. Terlihat jelas air mata mengambang tertahan di pelupuk matanya. Hati kami teriris pedih. Faza, buah hati kami masih terlelap dalam tidur, saat langkahku terakhir meninggalkan  tempat kostnya.

                                           ***

Larut menyapa malam. Langit tak berbintang, kelam dan sepi. Dingin malam mulai terasa menggigit, aku beranjak meninggalkan teras kamar. Jelang fajar mataku mulai lelah dan ingin terpejam. Ponselku berdering. Aku enggan beranjak. Tanpa kusadari aku turun dari ranjang mengambilnya di atas meja kerjaku, semalam aku meng-charge.
“Kau baru bangun?“ Wisnu menelponku.
“Iya…masih ngantuk nih,“ aku menyahut sambil menahan rasa kantuk.
 “ Ah..dasar pemalas.“
“Nu, ini hari libur, lagian masih pagi bangeeet . . . !“
“Ra, ada info baru, di mana lelakimu berada,“ suara Wisnu yang berat terdengar bersemangat. Ia sahabatku paling giat mencari keberadaan Ilyas, ayah Faza. Ia tempatku sharing dalam berbagai hal sejak bangku SMA.
 “Oh…ya…ya,“ aku mengusir kantuk dan bergegas mencatat alamatnya.
“Hah ! Di Jambi sejak kapan?“ mataku terbelalak.
“Simpan tanyamu itu, aku nggak bisa jelasin di telepon, pulsa ... pulsa!“
“Secepatnya kau ke Jakarta, kita cari mereka di Jambi. Berdoa saja, semoga pencarian ini  berhasil. Ok ! “ ucapnya blablabla.
“Thanks ya… muuuaach!“ ucapku seolah menciumnya.
“Ogah ah, kamu belum mandi!“  Telepon ditutup. 
Jendela kamar sengaja kubuka lebar. Sejuk angin pagi menerpa wajahku. Cericit burung - burung di rimbunan pepohonan meramaikan pagi. Lalu aku duduk di depan meja rias. Dalam cermin bayangan diri berhadap–hadapan denganku, jelas nyata terbelenggu. Belenggu itu telah mengurungku enam kali musim dingin semenjak aku tiba di  Warsawa.
Musim demi musim silih berganti, menggulung waktu tanpa henti. Baru kali ini aku menikmati indahnya musim semi selayaknya warga Goclaw pada umumnya. Deretan bunga – bunga cantik mulai bermekaran di taman kota. Para pejalan kaki memadati pusat keramaian membaur dengan orang yang bersepeda. Terlintas bayangan Faza seperti apa saat ini, setelah tujuh tahun berlalu. Bagaimana pula dengan Ilyas?

***

Penerbangan Jakarta - Jambi siang ini lancar. Siang begitu terik dan berdebu. Matahari tepat di atas kepala menyengat kulit. Taksi berhenti di mulut gang. Jalan menuju perkampungan itu agak sempit dan kumuh.
Ada bangunan baru dirobohkan, sedang anak – anak kecil berlari – larian tanpa memakai alas kaki. Debu bertebaran di mana – mana. Mereka tidak menghiraukan bahaya mengancam diri. Anak – anak hanya menikmati kebebasannya. Orang Melayu menyebutnya budak – budak, ai begitu kasar sebutan itu. Mengisyaratkan pada jaman penjajahan dahulu.
Tidak bisa kubayangkan dengan kondisi seperti itu anakku tumbuh besar. Antara peluhan keringat dan butiran air mata membaur membasahi kedua pipiku. Aku berdiri tidak jauh darinya, saat Wisnu menanyakan alamat mereka pada seseorang. Ia menunjuk pada sebuah rumah di bawah rimbunan pohon pinang merah. Bukan sebuah rumah, namun mirip bedeng atau gubuk sederhana. Jelas tak memenuhi standart kesehatan.
Dari arah dalam terdengar suara seorang wanita mempersilahkan kami masuk. Perasaanku semakin galau. Jantungku berdetak lebih cepat. Rumah kecil itu berdinding dari potongan kayu bekas. Langit – langit rumahnya tidak tertutup tripleks terlihat genting dari dalam ruangan. Jendela tak bertirai.
Kami hanya duduk di atas tikar usang. Belum usai aku menamatkan sekeliling rumah. Seorang anak laki – laki  masuk dan mengucap salam pada kami. Ia tersenyum ramah. Di tangan kanannya membawa seember air. Kelihatan berat, airnya tumpah. Ia merapikan tumpahan itu dengan selembar kain usang. Kemudian, ia mencium tanganku juga Wisnu yang sedari tadi mengamati gerak – geriknya. Hatiku menggelegar, saat suara wanita dari arah dalam memanggil anak kecil itu dengan nama Faza.
“Maaf, rumah kami kotor, Bapak, Ibu.“ sapanya santun. Kemudian, ia membawa nampan berisi dua gelas air putih. Diletakkannya nampan di meja, lalu ia duduk tepat di depanku.
“Nama kamu siapa?“ tanyaku antusias.
“Faza, Bu.“
“Usiamu?“
“Tujuh tahun.“  Ia tersenyum, nampak lesung pipit menghias kedua pipinya. Senyumnya mengingatkan aku pada almarhum ayah.
“Bapak ada keperluan apa?  Ayah belum pulang dari pangkalan ojek. Sedang mamak masih sakit belum bisa mengurut,“ katanya dengan logat Melayu.
“Hah? Ngojek? Ibumu tukang urut?“ tanyaku terperanjat. Tak bisa aku bayangan lelaki berkulit putih itu kini jadi tukang ojek. Seribu pertanyaan beruntun memenuhi otakku. Wisnu menggenggam erat tanganku seakan mengisyaratkan agar aku tidak lepas kontrol. Padahal yang duduk di tegel ini adalah ibu yang telah melahirkannya. Aku ingin memeluknya, tapi hanya tertahan dalam hati. Wisnu membaca pikiranku lalu aku bergegas meninggalkan mereka.

***

Malam itu Ilyas datang menemui kami. Ia nampak lebih tua dari usianya. Kini kulitnya agak gelap. Namun tidak terlihat penampilannya seperti tukang ojek pada umumnya. Kemeja biru kotak – kotak berpadu dengan jeans belel terlihat rapi dan sederhana. Tak ada kerinduan dalam sorot matanya begitu melihatku. Hanya jabat tangan tanpa menanyakan kabar. Ia mengingkari Wisnu adalah sahabatnya. Wisnu sengaja memberiku peluang untuk berbicara banyak dengannya. Ia membiarkan waktu berjalan tanpa sepatah kata. Sesekali matanya menatapku, lalu membuang pandangannya ke arah lain. Suasana terasa kaku.
“Yas, kenapa Faza tidak  kau bawa?“ tanyaku memancing pembicaraan.
“Kamu banyak berubah, Yas.“ 
Iyas hanya diam tanpa memandangku.
“Besok sore, kami kembali ke Jakarta,“ kataku datar.
“Ajak Faza ke Bandara. Aku ingin memeluk dan menciumnya.“
“Hmm…“ Ia mendehem pelan dan memandangiku.
“Yas?“  suaraku agak serak.
“Yas, tanyalah apa aja padaku.“
“Please! Jangan kau hukum aku dengan kebisuan ini.“ ucapku dengan putus asa. Ia tidak menjawab. Ia menyalakan sebatang rokok untuk menenangkan suasana hatinya. Itu kebiasaannya sedari dulu, saat aku berkenalan dengannya.
“Setahun yang lalu ayahku wafat. Sebelum beliau menghembuskan nafas terakhirnya, memohon maaf pada kita atas kesalahan yang lalu,“ ucapku terbata – bata. Aku tak bisa menahan air mata yang membuncah menghalangi pandanganku. Ekspresi wajahnya masih datar dan dingin. Mungkin masih ada dendam yang membara dalam dadanya.
“Ra, hapus air matamu. Aku memaafkannya dan turut berduka cita, semoga arwah beliau diterima Allah SWT.“ ucapnya sambil mematikan putung rokok.
“Bagaimana dengan ibumu?“ tanyanya.
“Ibu? Ibu mulai sakit –sakitan semenjak ditinggal ayah.“
“Yas, waktuku nggak banyak. Lusa aku kembali ke Warsawa. Atas ijinmu aku akan lebih sering menengok Faza.“
 “Aku ingin menceritakan padamu sejak perpisahan kita. Banyak duka di negeri orang, cuma kalian berdua semangat hidupku. Aku berharap....,“ 
“Tak perlu kau teruskan, “  Ilyas memotong kalimatku.
“Semenjak kutahu kau berada di Polandia dan almarhum mengharamkan segala bentuk komunikasi di antara kita. Maka kukubur semua impian kita. “
“Aku putus asa, lalu Khairani hadir. Ia dan keluarganya banyak menolongku. Menjaganya saat aku kuliah dan mencari kerjaan. Aku ingin juga menceritakan semuanya, tapi untuk apa lagi?“ tanyanya dengan nada tinggi.
“Maafkan aku, Ra.“ ucapnya menggenggam kedua tanganku erat–erat. Aku dapat merasakan jari–jarinya terasa dingin seperti es. Aku diam tidak meningkahi. Menunggu ia melanjutkan ceritanya.
“Lihat dirimu, diriku, begitu banyak perbedaan. Bahkan aku hampir tak mengenalimu lagi.“
“Bagiku sekarang sebaiknya kita jalani hidup masing–masing.“
“Biarkan kami hidup seperti ini adanya, tapi damai!“ ucapnya pelan nyaris tak terdengar.
“Untuk hari ini dan seterusnya biarlah Faza hanya mengenal Rani sebagai ibunya. Kelak ia dewasa dan mengerti hidup ini, akan kujelaskan siapa ibu yang sebenarnya.“ lanjutnya .
“Biarpun Rani buta, tapi hatinya tulus mencintai Faza seperti anaknya sendiri,“ katanya meyakinkan diriku.
“Temui Faza beberapa tahun lagi. Biarkan ia yang memilih siapa yang menjadi ibunya. Terima kasih, Ra…,“ ucapnya sambil menjabat tanganku seakan mengakhiri pembicaraan. Aku menatap kepergiannya tanpa suara.
Hatiku menjerit. Andai ia tahu betapa aku juga menderita karena perpisahan itu. Kuhela nafas panjang. Aku berusaha tegar di hadapannya, meski hatiku kosong dan kecewa.

***

Sisa malam berlalu dengan tangisan tanpa air mata. Sepertinya air mataku sudah mengering. Rasa sesak mengaduk isi dadaku. Impian memakai gaun pengantin merajut kebahagiaan bersamanya pupus sudah. Ia memilih Khairani sebagai pendamping hidupnya dan ibu bagi Faza. Mungkin sejak malam ini, aku harus belajar tidak memimpikan apa pun atas nama kebahagiaan.
Mendung menggayut di langit. Aku masih bersimpuh dekat batu nisan bertuliskan nama ayah. Tanah itu masih memerah meski setahun telah berlalu ayah berpulang. Sepucuk surat darinya masih dalam genggamanku. Diatas pusara ayah aku membacanya . . .
Manusia hanya tahu kebaikan sendiri,
 dan kadang tak mau mengakui kesalahannya.
Buatku yang terbaik adalah menganggap dan mengakui,
semua orang benar dan baik, tentunya alasannya masing – masing.
Dan kita harus mampu mencari kebenarannya.
Sehingga tak pernah ada yang salah.
Yang salah adalah yang kita lakukan kemarin,
dan itu nggak boleh terulang.

Terima Kasih Zahra,
Denganmu, aku mengenal arti cinta.
                                              _ Ilyas _

Kutabur bunga memenuhi seluruh tanah permukaan makam ayah. Ini yang terakhir kalinya aku lakukan. Setidaknya untuk beberapa tahun lagi aku akan kembali disini dan membawa Faza, buah hatiku.  Awan putih berarak menggeser mendung yang memenuhi langit. Aku ingin menghadirkan butiran air mata itu agar puas beban batinku tertuang di tempat sunyi ini. Wisnu duduk tak jauh dariku. Dari balik kacamata hitamnya, aku merasakan arti tatapan matanya itu. Wisnu memelukku dan kepadanya meledaklah semua ungkapan hati yang sedari tadi tertahan dalam kerongkongan, lalu lepas.

                                                 (S E L E S A I )
***************************************************************
Catatan: Buat Bang Iyas, seorang tukang ojek yang setia dan baik hati.
Catatan : Dimuat di harian Jambi Independent Post, Minggu 9 Mei 2010