MENITI ASA
Oleh Arie Rachmawati
Aku rindu Faza, anakku. Bayi
mungil itu belum genap berusia tiga puluh hari, saat aku harus meninggalkannya.
Perpisahaan kujalani demi masa depan
yang tertunda karena satu kesalahanku terbesar.
Aku berharap dengan kehadiran
Faza, ayah merestui hubungan kami. Ternyata dugaanku meleset. Masih teringat
jelas kenangan pahit itu menari – nari di pelupuk mataku. Lelaki yang amat
kubanggakan tak sedikit pun mampu menunjukkan keperkasaannya mempertahankan
impian kami.
Ia duduk terpekur dengan kepala
menunduk, menerima keputusan kedua orang tuaku. Terlihat jelas air mata
mengambang tertahan di pelupuk matanya. Hati kami teriris pedih. Faza, buah
hati kami masih terlelap dalam tidur, saat langkahku terakhir meninggalkan tempat kostnya.
***
Larut menyapa malam. Langit tak
berbintang, kelam dan sepi. Dingin malam mulai terasa menggigit, aku beranjak
meninggalkan teras kamar. Jelang fajar mataku mulai lelah dan ingin terpejam.
Ponselku berdering. Aku enggan beranjak. Tanpa kusadari aku turun dari ranjang
mengambilnya di atas meja kerjaku, semalam aku meng-charge.
“Kau baru bangun?“ Wisnu
menelponku.
“Iya…masih ngantuk nih,“ aku
menyahut sambil menahan rasa kantuk.
“ Ah..dasar pemalas.“
“Nu, ini hari libur, lagian masih
pagi bangeeet . . . !“
“Ra, ada info baru, di mana
lelakimu berada,“ suara Wisnu yang berat terdengar bersemangat. Ia sahabatku
paling giat mencari keberadaan Ilyas, ayah Faza. Ia tempatku sharing dalam berbagai hal sejak bangku
SMA.
“Oh…ya…ya,“ aku mengusir kantuk dan bergegas
mencatat alamatnya.
“Hah ! Di Jambi sejak kapan?“
mataku terbelalak.
“Simpan tanyamu itu, aku nggak
bisa jelasin di telepon, pulsa ... pulsa!“
“Secepatnya kau ke Jakarta, kita
cari mereka di Jambi. Berdoa saja, semoga pencarian ini berhasil. Ok ! “ ucapnya blablabla.
“Thanks ya… muuuaach!“ ucapku
seolah menciumnya.
“Ogah ah, kamu belum mandi!“ Telepon ditutup.
Jendela kamar sengaja kubuka
lebar. Sejuk angin pagi menerpa wajahku. Cericit burung - burung di rimbunan
pepohonan meramaikan pagi. Lalu aku duduk di depan meja rias. Dalam cermin
bayangan diri berhadap–hadapan denganku, jelas nyata terbelenggu. Belenggu itu
telah mengurungku enam kali musim dingin semenjak aku tiba di Warsawa.
Musim demi musim silih berganti,
menggulung waktu tanpa henti. Baru kali ini aku menikmati indahnya musim semi
selayaknya warga Goclaw pada umumnya. Deretan bunga – bunga cantik mulai
bermekaran di taman kota. Para pejalan kaki memadati pusat keramaian membaur
dengan orang yang bersepeda. Terlintas bayangan Faza seperti apa saat ini,
setelah tujuh tahun berlalu. Bagaimana pula dengan Ilyas?
***
Penerbangan Jakarta - Jambi siang
ini lancar. Siang begitu terik dan berdebu. Matahari tepat di atas kepala
menyengat kulit. Taksi berhenti di mulut gang. Jalan menuju perkampungan itu
agak sempit dan kumuh.
Ada bangunan baru dirobohkan,
sedang anak – anak kecil berlari – larian tanpa memakai alas kaki. Debu
bertebaran di mana – mana. Mereka tidak menghiraukan bahaya mengancam diri.
Anak – anak hanya menikmati kebebasannya. Orang Melayu menyebutnya budak –
budak, ai begitu kasar sebutan itu. Mengisyaratkan pada jaman penjajahan
dahulu.
Tidak bisa kubayangkan dengan
kondisi seperti itu anakku tumbuh besar. Antara peluhan keringat dan butiran
air mata membaur membasahi kedua pipiku. Aku berdiri tidak jauh darinya, saat
Wisnu menanyakan alamat mereka pada seseorang. Ia menunjuk pada sebuah rumah di
bawah rimbunan pohon pinang merah. Bukan sebuah rumah, namun mirip bedeng atau
gubuk sederhana. Jelas tak memenuhi standart kesehatan.
Dari arah dalam terdengar suara
seorang wanita mempersilahkan kami masuk. Perasaanku semakin galau. Jantungku
berdetak lebih cepat. Rumah kecil itu berdinding dari potongan kayu bekas.
Langit – langit rumahnya tidak tertutup tripleks terlihat genting dari dalam
ruangan. Jendela tak bertirai.
Kami hanya duduk di atas tikar
usang. Belum usai aku menamatkan sekeliling rumah. Seorang anak laki –
laki masuk dan mengucap salam pada kami.
Ia tersenyum ramah. Di tangan kanannya membawa seember air. Kelihatan berat,
airnya tumpah. Ia merapikan tumpahan itu dengan selembar kain usang. Kemudian,
ia mencium tanganku juga Wisnu yang sedari tadi mengamati gerak – geriknya.
Hatiku menggelegar, saat suara wanita dari arah dalam memanggil anak kecil itu
dengan nama Faza.
“Maaf, rumah kami kotor, Bapak,
Ibu.“ sapanya santun. Kemudian, ia membawa nampan berisi dua gelas air putih.
Diletakkannya nampan di meja, lalu ia duduk tepat di depanku.
“Nama kamu siapa?“ tanyaku
antusias.
“Faza, Bu.“
“Usiamu?“
“Tujuh tahun.“ Ia tersenyum, nampak lesung pipit menghias
kedua pipinya. Senyumnya mengingatkan aku pada almarhum ayah.
“Bapak ada keperluan apa? Ayah belum pulang dari pangkalan ojek. Sedang
mamak masih sakit belum bisa mengurut,“ katanya dengan logat Melayu.
“Hah? Ngojek? Ibumu tukang urut?“
tanyaku terperanjat. Tak bisa aku bayangan lelaki berkulit putih itu kini jadi
tukang ojek. Seribu pertanyaan beruntun memenuhi otakku. Wisnu menggenggam erat
tanganku seakan mengisyaratkan agar aku tidak lepas kontrol. Padahal yang duduk
di tegel ini adalah ibu yang telah melahirkannya. Aku ingin memeluknya, tapi
hanya tertahan dalam hati. Wisnu membaca pikiranku lalu aku bergegas
meninggalkan mereka.
***
Malam itu Ilyas datang menemui
kami. Ia nampak lebih tua dari usianya. Kini kulitnya agak gelap. Namun tidak
terlihat penampilannya seperti tukang ojek pada umumnya. Kemeja biru kotak –
kotak berpadu dengan jeans belel terlihat rapi dan sederhana. Tak ada kerinduan
dalam sorot matanya begitu melihatku. Hanya jabat tangan tanpa menanyakan
kabar. Ia mengingkari Wisnu adalah sahabatnya. Wisnu sengaja memberiku peluang
untuk berbicara banyak dengannya. Ia membiarkan waktu berjalan tanpa sepatah
kata. Sesekali matanya menatapku, lalu membuang pandangannya ke arah lain.
Suasana terasa kaku.
“Yas, kenapa Faza tidak kau bawa?“ tanyaku memancing pembicaraan.
“Kamu banyak berubah, Yas.“
Iyas hanya diam tanpa
memandangku.
“Besok sore, kami kembali ke
Jakarta,“ kataku datar.
“Ajak Faza ke Bandara. Aku ingin
memeluk dan menciumnya.“
“Hmm…“ Ia mendehem pelan dan
memandangiku.
“Yas?“ suaraku agak serak.
“Yas, tanyalah apa aja padaku.“
“Please! Jangan kau hukum aku
dengan kebisuan ini.“ ucapku dengan putus asa. Ia tidak menjawab. Ia menyalakan
sebatang rokok untuk menenangkan suasana hatinya. Itu kebiasaannya sedari dulu,
saat aku berkenalan dengannya.
“Setahun yang lalu ayahku wafat.
Sebelum beliau menghembuskan nafas terakhirnya, memohon maaf pada kita atas
kesalahan yang lalu,“ ucapku terbata – bata. Aku tak bisa menahan air mata yang
membuncah menghalangi pandanganku. Ekspresi wajahnya masih datar dan dingin.
Mungkin masih ada dendam yang membara dalam dadanya.
“Ra, hapus air matamu. Aku
memaafkannya dan turut berduka cita, semoga arwah beliau diterima Allah SWT.“
ucapnya sambil mematikan putung rokok.
“Bagaimana dengan ibumu?“
tanyanya.
“Ibu? Ibu mulai sakit –sakitan
semenjak ditinggal ayah.“
“Yas, waktuku nggak banyak. Lusa aku
kembali ke Warsawa. Atas ijinmu aku akan lebih sering menengok Faza.“
“Aku ingin menceritakan padamu sejak
perpisahan kita. Banyak duka di negeri orang, cuma kalian berdua semangat
hidupku. Aku berharap....,“
“Tak perlu kau teruskan, “ Ilyas memotong kalimatku.
“Semenjak kutahu kau berada di
Polandia dan almarhum mengharamkan segala bentuk komunikasi di antara kita.
Maka kukubur semua impian kita. “
“Aku putus asa, lalu Khairani
hadir. Ia dan keluarganya banyak menolongku. Menjaganya saat aku kuliah dan
mencari kerjaan. Aku ingin juga menceritakan semuanya, tapi untuk apa lagi?“
tanyanya dengan nada tinggi.
“Maafkan aku, Ra.“ ucapnya
menggenggam kedua tanganku erat–erat. Aku dapat merasakan jari–jarinya terasa
dingin seperti es. Aku diam tidak meningkahi. Menunggu ia melanjutkan
ceritanya.
“Lihat dirimu, diriku, begitu
banyak perbedaan. Bahkan aku hampir tak mengenalimu lagi.“
“Bagiku sekarang sebaiknya kita
jalani hidup masing–masing.“
“Biarkan kami hidup seperti ini
adanya, tapi damai!“ ucapnya pelan nyaris tak terdengar.
“Untuk hari ini dan seterusnya
biarlah Faza hanya mengenal Rani sebagai ibunya. Kelak ia dewasa dan mengerti
hidup ini, akan kujelaskan siapa ibu yang sebenarnya.“ lanjutnya .
“Biarpun Rani buta, tapi hatinya
tulus mencintai Faza seperti anaknya sendiri,“ katanya meyakinkan diriku.
“Temui Faza beberapa tahun lagi.
Biarkan ia yang memilih siapa yang menjadi ibunya. Terima kasih, Ra…,“ ucapnya
sambil menjabat tanganku seakan mengakhiri pembicaraan. Aku menatap
kepergiannya tanpa suara.
Hatiku menjerit. Andai ia tahu
betapa aku juga menderita karena perpisahan itu. Kuhela nafas panjang. Aku
berusaha tegar di hadapannya, meski hatiku kosong dan kecewa.
***
Sisa malam berlalu dengan
tangisan tanpa air mata. Sepertinya air mataku sudah mengering. Rasa sesak
mengaduk isi dadaku. Impian memakai gaun pengantin merajut kebahagiaan
bersamanya pupus sudah. Ia memilih Khairani sebagai pendamping hidupnya dan ibu
bagi Faza. Mungkin sejak malam ini, aku harus belajar tidak memimpikan apa pun atas
nama kebahagiaan.
Mendung menggayut di langit. Aku
masih bersimpuh dekat batu nisan bertuliskan nama ayah. Tanah itu masih memerah
meski setahun telah berlalu ayah berpulang. Sepucuk surat darinya masih dalam
genggamanku. Diatas pusara ayah aku membacanya . . .
Manusia hanya tahu kebaikan
sendiri,
dan kadang tak mau mengakui kesalahannya.
Buatku yang terbaik adalah
menganggap dan mengakui,
semua orang benar dan baik,
tentunya alasannya masing – masing.
Dan kita harus mampu mencari
kebenarannya.
Sehingga tak pernah ada yang
salah.
Yang salah adalah yang kita
lakukan kemarin,
dan itu nggak boleh terulang.
Terima Kasih Zahra,
Denganmu, aku mengenal arti
cinta.
_
Ilyas _
Kutabur bunga memenuhi seluruh
tanah permukaan makam ayah. Ini yang terakhir kalinya aku lakukan. Setidaknya
untuk beberapa tahun lagi aku akan kembali disini dan membawa Faza, buah
hatiku. Awan putih berarak menggeser
mendung yang memenuhi langit. Aku ingin menghadirkan butiran air mata itu agar
puas beban batinku tertuang di tempat sunyi ini. Wisnu duduk tak jauh dariku.
Dari balik kacamata hitamnya, aku merasakan arti tatapan matanya itu. Wisnu
memelukku dan kepadanya meledaklah semua ungkapan hati yang sedari tadi
tertahan dalam kerongkongan, lalu lepas.
(S E L E S A I )
***************************************************************
Catatan: Buat Bang Iyas, seorang
tukang ojek yang setia dan baik hati.
Catatan : Dimuat di harian Jambi
Independent Post, Minggu 9 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar