Senin, 29 November 2010

C e r p e n k u :



PIANOKU TERCINTA
oleh Arie Rachmawati
pada 29 November 2010 jam 21:29

Cerpen ini sebagai kado ulang tahun Herman Gelly Effendi
pianis/keyboard SYMPHONY.
Pf : 29 November


Sudah lama aku tidak suka pada Bunda. Aku ingin sekali membencinya tapi aku takut kualat, karena dari rahimnya aku lahir dan mengenal dunia. Bunda suka memaksakan keinginannya dan itu menyiksa batinku. Di antara kami berdua selalu terjadi selisih paham, tumben kali ini aku sepaham dengannya. Mulanya aku tak bisa menerima pendapatnya untuk menjual piano Karl Muller hadiah ulang tahunku dari almarhum Ayah. Karl Muller itu menggantikan piano tua warisan keluarga Ayah, yang telah dimakan rayap.
Masih teringat wajah sedih Ayah sa at menyaksikan kaki piano warisan itu kropos. Hanya dalam satu sentuhan tangan, kaki pianonya langsung lunglai dan jatuh menimbulkan dentuman keras ke lantai. Seakan tuts-tuts piano itu berhamburan ke udara dengan nada-nada bertabrakan membentuk suara seperti ledakan bom. Aku terpaku menyaksikan adegan saat- saat terakhir itu. Sementara kedua adik kembarku—Didi dan Dede—ketakutan, pecah dalam tangisan. Bunda seakan tak peduli. Itulah awal aku tidak suka pada Bunda. Jelas tergambar kemenangan dalam wajahnya, justru di saat Ayah larut dalam sedih. Kemenangan? Ya, karena Ayah lebih memperhatikan pianonya daripada Bunda. Itu adalah penilaianku terhadap hubungan Ayah dan Bunda semenjak kelahiran adik kembarku.
Aku menghampiri Ayah, memeluknya dengan erat untuk menghiburnya. Ada keteduhan saat saling berpelukan dan aku belum pernah menemukan itu pada Bunda yang selalu bersikap dingin. Terlintas pikiran negatif, apakah benar Bunda itu ibuku?
Aku menanyakan pada Ayah, saat beliau duduk di depan piano. “Ayah, apakah Bunda sayang aku? Apakah Bunda itu benar ibuku?“ tanyaku merajuk.
Sesekali Ayah melempar senyum tanpa bersuara namun tetap membagi perhatiannya padaku di antara ketekunannya memencet tuts-tuts piano yang memberi nuansa damai sore itu. Usai menuntaskan permainan piano, Ayah mengacak-acak poniku.
“Lara, tadi tanya apa?“ suaranya lembut.
Aku menggeleng, menarik pertanyaan konyol itu. Aku lebih suka melihat Ayah tersenyum seperti itu, kemudian kami membahas musik. Keinginanku untuk mengusai beberapa alat musik lebih menarik daripada membahas Bunda yang terasa pilih kasih.
“Ayah ingin Lara tetap rajin belajar, jangan mudah menyerah, dan pertahankan ranking kelas. Jadilah yang terbaik untuk semua,“ nasihat Ayah. Saat itu kami duduk berdua berbagi bangku dan melanjutkan pelajaran improvisasi. Aku suka sekali lagu ciptaan Ayah itu, walau belum ditemukan judul yang tepat.
“Ah...itu gampang, yang penting Lara perhatikan pada bagian bait kedua menuju reffrain itu. Ada perpindahan tempo dan kord-nya…ingat ya, Lara?“ Ayah memberiku semangat.
Perpindahan tempo itu selalu membuatku lemah dan beberapa kali gagal. Antara pedal kanan dan sepuluh jemariku yang menari di atas piano belum terjalin keselarasan. Pedal kanan itu membuat suara lebih bergaung, kadang memengaruhi konsentrasiku. Seperti biasa, Ayah selalu menghibur dan menyuruhku rehat. Lalu kami berdua bernyanyi bersama, untuk menetralisir keadaan. Selanjutnya Ayah akan menghadiahkan satu kecupan di kening sebelum aku beranjak menuju kamar merajut mimpi.

Kegiatanku di antara sekolah, setiap sepuluh hari mampir apotik Taurus milik guru farmakognisiku. Dia selalu memberi potongan harga untuk obat yang kutebus. Obat untuk sakit jantung! Didi mempunyai kelainan jantung sejak lahir.
“Duh, lama banget, sih?“ keluhku dalam hati setelah lebih tiga puluh menit menunggu. Pasti Bunda dan si kembar merasakan kegelisahanku ini.
Kesulitan ekonomi sejak Ayah berpulang tanpa meninggalkan harta berlimpah, membuat Karl Muller-ku korban berikutnya setelah beberapa barang di rumah satu per satu terjual. Ayah seorang musisi yang terlalu idealis hingga ia ditinggal oleh teman-temannya yang lebih mengejar popularitas. Bagiku Ayah adalah seorang seniman yang piawai memainkan beberapa alat musik dan aku ingin seperti dia. Ayah pandai pula menulis puisi dan cerita pendek. Aku bangga menjadi anaknya.
Langkahku terhenti saat menuju pintu rumah dan membukanya. Terdengar isak tangis Bunda. Bergegas aku menghampiri Bunda yang sedang memangku Didi.
“Cepat, Ra! Kasihan adikmu. Sini obatnya, cepat ambil air minum!“ perintah Bunda cemas. Aku lari menuju dapur dan mengambil segelas air lalu kembali ke ruang tengah. Air mataku tak dapat ditahan, deras mengalir, melihat kondisi Didi yang mengkhawatirkan untuk ketiga kalinya dalam sebulan terakhir ini. Keadaan ini yang membuatku luluh dan setuju menjual piano itu. Hasil penjualan kue pukis dan sisa tabungan tak mencukupi kebutuhan hidup kami.

***

Tanah merah masih menggunung bertabur bunga-bunga kering di atas pusara Ayah. Di antara deraian air mata, kukirim sebaris doa, kubisikkan padanya.
“Ayah, maafkan Lara yang belum bisa menjadi harapan Ayah. Pasti Ayah tak akan marah, bila piano kita dijual,”isakku terbata. Aku tabur bunga kenanga dan melati dan menyiram tanah itu dengan sebotol air. Lalu aku tinggalkan Ayah yang terbujur kaku dalam pembaringan terakhirnya. Sekelebat aku melihat Ayah tersenyum pilu.
“Ayaaah… “ bisik lirihku.
Langkahku menuju alamat yang tertera di kartu nama pemberian Ayah padaku jelang akhir hayatnya. “Lara, simpan kartu nama ini baik-baik. Temui ia dan katakan bahwa kau anakku, Elang.” ucapnya tersengal di antara se sa k nafasnya yang telah merenggut hidupnya.
Alamat itu tertuju pada gedung-gedung yang berjajar sepanjang jalan protokol. Untuk pertama kalinya aku belajar berbohong pada Bunda, dengan mengatakan hendak belajar kelompok di rumah teman. Anehnya Bunda tak sempat memperhatikan mataku berdusta. Mungkin perhatian Bunda tersita oleh kondisi Didi dan beberapa pesanan kue.
Aku menuju sekuriti tepat di sebelah kanan pintu masuk utama gedung bertingkat tujuh itu. Kutinggalkan kartu pelajar berganti kartu tamu gedung. Pintu lift terbuka, aku naik ke lantai teratas. Seorang sekretaris cantik menanyakan maksud kedatanganku. Karena belum ada konfirmasi, aku dianjurkan datang lain waktu.
Aku kecewa karena telah mengorbankan dua ulangan mata pelajaran untuk keperluan ini. Langkahku lunglai meninggalkan gedung itu. Pesimis. Ra sa nya tak mungkin bi sa meluangkan waktu lagi karena hari-hari mendatang persiapan ujian akhir sekolah.
Tiba-tiba nada dering selulerku berbunyi dari nomor yang tak kukenal. “Halo, apa benar ini Lara anaknya Elang?“ suara diseberang menyapaku. Pemilik suara itu menyuruhku kembali ke kantornya lalu bergegas aku menuju gedung bertingkat tujuh itu.
Tepat di depan pintu ruangan itu, terdengar samar- samar suara dentingan piano mengalun. Daun pintu itu terkuak dan tampak seseorang duduk di depan piano. Ia menoleh padaku yang diantar oleh seseorang. Aku tertegun. Lagu yang mengalun itu adalah lagu kesayanganku bersama Ayah. Lagu tanpa judul itu. Lalu siapakah ia? Apakah teman Ayah yang bernama Pak Herman itu? Aku ingat benar akhir dentingan itu jatuh di nada C-minor.
Bapak itu menghampiriku dan menyalamiku. “Herman..Om Herman. Apa kabar, Lara? Mama dan Papamu...?“ ucapnya ramah dengan lesung pipit yang mengingatkanku pada Afgan, penyanyi favoritku
“Oh...apa Om nggak tahu kalau Ayah telah wafat?“ tanyaku berbalik.
Wajah Om Herman tampak keheranan serasa tak percaya pada berita itu. Aku menceritakan awal sakit Ayah hingga berpulang menghadap Tuhan, empat puluh hari yang lalu.
Tiba-tiba beliau memelukku. Aku merasa seperti Ayah yang melakukannya. “Nanti kita bersama ke makamnya, ya. Kini duduklah bersama Om.“ ajaknya lembut.Om Herman mengajakku menuju piano Clavinova dan memintaku memainkan lagu.
“Terakhir Om ketemu ayahmu, ia cerita bahwa kamu sudah mahir memainkan sepuluh jari. Itu kira-kira tiga tahun lalu dan lagu kami bertiga telah diajarkan kepadamu.“
“Lagu bertiga…?“ tanyaku.
“Ya...Temaram, judul lagu itu. Kenapa?” Om Herman heran melihatku kebingungan. “Apakah mereka tak menceritakan itu?“ balasnya menyadari ke sa lahan yang baru terjadi. Aku benar-benar tak mengerti arah pembicaraan itu. Kemudian, beliau menyuruhku memainkan lagu itu.Aku duduk di depan piano anggun itu. “Aneh…” batinku.
Saat jari-jemariku menyentuh piano itu, rangkaian notasi dan partitur itu hilang dari ingatanku. Bahkan jemariku seakan tak mengenal deretan do-re-mi-fa-sol-la-si-do. Sekali aku mencoba tetap tak bi sa ! Ada apa denganku? Kuulangi lagi. Bahkan Om Herman kini duduk di sebelahku persis dulu Ayah melakukan hal yang sama. Aku suka itu.
Ia pun memulai intro lalu mengajakku masuk pada bagian bait pertama, tapi benar-benar aku seperti hilang ingatan. Aku tak mengerti mengapa hal ini terjadi lagi padaku, setiap memainkan piano yang bukan milikku. Kupikir hanya kebetulan sa ja, sa at Damayanti berulang tahun, ia memintaku memainkan beberapa lagu. Tetapi, tak satu pun aku bisa tampilkan sehingga memerah wajahku seketika. Saat itu Gio mengatasi situasi mengambil peranku dan kami bernyanyi bersama.
Dengan senyum manis, Om Herman mengajakku duduk di sofa biru muda dan menanyakan maksud kedatanganku. “Jadi, bundamu ingin menjual piano itu? Kenapa? Bukankah itu menyimpan kenangan ber sa ma ayahmu?“
”Tadinya saya ingin menawarkan itu pada Om, tapi sepertinya sa ya sa lah alamat. Bahkan dalam ruangan kerja ini ada beberapa alat musik dan bagus-bagus, jadi…” tak tersembunyikan rasa kecewaku. Aku menunduk lemas dan segera berpamitan. Om Herman mencegahku dan ingin mengantarkan aku pulang.
“Jangan deh Om, entar malah jadi masalah, karena hari ini saya membolos. Terima kasih banyak. Lain kali ketemu lagi ya, Om.” pamitku segera meninggalkan ruangannya.

***

Aku masuk melalui pintu samping langsung menuju dapur bertemu Bunda yang masih berbenah peralatan dapur setelah membuat adonan terakhir kue pukis. Sepertinya hari ini ada pesanan kue lebih banyak dari biasanya. Aku membayangkan seraut wajah amarah Bunda, namun tak kutemui itu. Justru wajah teduh penuh kasih sayang yang kurindukan.
Bunda mendekat padaku dan ingin mengatakan sesuatu namun terhalang ketukan pintu yang memaksa.
Mereka adalah tiga laki-laki menuju tempat pianoku bersandar di dinding ruang tengah. Kemudian, salah satu dari mereka menyodorkan sebuah kuintasi penjualan dan dua orang lainnya mengangkat pianoku tanpa memberiku salam perpisahan. Piano itu rupanya siap berpindah tangan. Aku ingin berontak tapi melihat adikku Didi yang terkapar di kasur busa usang, membuatku luluh. Kini, jelas maksud perubahan sikap Bunda kepadaku. Bunda telah merapikan buku-buku partitur yang biasanya terletak di atas pianoku itu. Adikku, Dede, menangis,
“Kita nggak bisa main lagi dong, Kak,“ ucapnya pilu. Aku terenyuh lalu mendekapnya.
“Nanti Bunda beli lagi biar kita tetap bisa berlatih,“ hiburku. Aku tahu Bunda menyimpan buncahan air mata di sudut matanya. Bunda yang tegar itu, kini luruh juga.
Petang ini suasana sunyi dan hening dengan air mata masih menemaniku. Kenangan bersama Ayah pun ikut menggenang. Ruang tempat piano itu berada, kini melompong. Begitu cepat semua terjadi. Bunda lebih cepat masuk kamar ketimbang biasanya. Seakan rentetan peristiwa kesedihan enggan beranjak meninggalkan kehidupan kami.
Pintu kembali diketuk orang. Aku bangkit dengan kelopak mata masih bengkak. Saat pintu terkuak, begitu terkejutnya aku, ternyata Om Herman.
“Malam, Lara. Handphone-mu nggak aktif, ya? Untung tadi kamu meninggalkan data dirimu, jadi Om tahu alamat rumahmu. Bundamu ada..?“ tanyanya lembut. “Om, boleh masuk, kan?“
“Iya...iya, Om.” Sejenak aku bengong. ”Silakan masuk. Sebentar Lara panggilkan Bunda, ya. Duduk, Om.“ Aku bergegas menuju kamar Bunda. “Bunda, ada tamu Ayah.“ Aku berbisik pada daun pintu kamar.
Aku segera menuju dapur menyeduh secangkir teh buat Om Herman.
"Lara, tadi Om lihat ada piano dibawa beberapa orang ke luar dari sini, apakah itu pianomu?“ tanyanya begitu aku meletakkan teh di meja.
Aku hanya mengangguk pelan. Pertanyaan itu seakan memancing lagi tangisku yang sudah reda. Belum sempat aku menjawabnya, tiba-tiba pianoku sudah berada di depan pintu. Membuatku terperangah…tak percaya. Lalu, muncul Bunda dengan rambut tergerai, tanpa ikatan seperti biasanya.
Aku melihat sisi Bunda yang berbeda. Pandangan matanya menyiratkan keheranan, kenapa piano yang sudah terjual bisa kembali lagi. Dan, yang membuatnya terperanjat tentu kehadiran Om Herman.
“Arini...” sapanya kepada Bunda. Aku melihat keempat mata itu beradu, tanpa kedipan sedikit pun.
“Pak, tugas sa ya selesai. Mohon sisa nya segera dibayarkan,” kata salah seorang bertubuh tinggi besar menghampiri Om Herman yang segera menuntaskan transaksi sebelum berpamitan.
“Rin, nanti aku jelaskan semuanya tapi tolong kali ini saja, maafkan aku.“ Om Herman bicara hati-hati kepada Bunda yang masih bergeming, tanpa balasan sapaan. Aku bingung melihat adegan tanpa skenario itu. Tapi yang membuatku ceria seketika adalah pianoku kembali sebelum 24 jam. Sungguh sebuah keajaiban!

***

Om Herman memintaku untuk memainkan lagu yang belum sempat aku pamerkan. Benar, aku pun ingin memainkan, bukan untuknya saja tetapi juga buat Ayah. Walau alam kami telah berbeda.
Aku duduk di depan pianoku. Jari-jemariku mulai gemulai dengan sendirinya, melantunkan lagu Temaram yang ternyata diciptakan bertiga oleh mereka jauh sebelum aku dilahirkan. Om Herman menyusul duduk di dekatku, lalu kami memainkan berdua. Mengingatkan aku pada kehadiran Ayah. Bunda muncul dari balik tirai penutup pintu kamarnya. Sesekali aku mencuri pandang pada keduanya, saat Bunda mendekati kami. Beberapa lagu kami mainkan bersama dan memiliki kesamaan selera jenis musik dari yang klasik, pop, balada, hingga pop progresif.
Dentingan demi dentingan mengalun. Aku tak peduli hubungan antara kedua orang tuaku dengannya. Bagiku, Om Herman telah berjasa menyelamatkan pianoku. Bahkan kehadirannya telah membuat babak baru hubunganku dengan Bunda yang selama ini kurindukan.
Terima Kasih, ucapku dalam hati. Aku tak ingin malam ini cepat berlalu. Dan angin malam meniupkan kesejukannya, melambaikan kain gorden yang tergantung di jendela ruang tengah yang masih terbuka. Dan, sekilas aku melihat bayangan yang aku kenal... sosok Ayah.

(Selesai)


(Dimuat di majalah STORY teenlit edisi no:8 terbit 24 Februari-25 Maret 2010)

Sabtu, 13 November 2010

Fariz Roestam Moenaf


SELAMA DIRIMU BISIK PERINDU
oleh Arie Rachmawati pada 13 November 2010 jam 20:40


Tiga lagu lawas dari album Selangkah Ke Seberang itu sengaja saya pakai sebagai judul catatan fesbuk kali ini. Dengan seizin mas Fariz Roestam Moenaf maka saya ingin bercerita sedikit tentang beliau itu, Sang Maestro yang senantiasa bergelut dengan inovasi baru dalam bermusik. Beliau lebih suka disebut sebagai musisi dari pada sebagai penyanyi.

Saya berawal dari seorang fans dari Fariz RM Fans Club, saat remaja mengikuti perjalanan kariernya dalam bermusik melalui klipingan dari media massa saat itu sangatlah susah di kota Jember. Kesetiaan saya ternyata berujung indah saat usia yang tak remaja lagi diberi kesempatan mengenal lebih dekat dengan Fariz RM dan keluarganya. Dan dari niat yang tulus hadir sebagai fans setia untuk menjalin tali silaturahmi untuk ukhuwah islamiah, maka jalan pertautan itu diberi kelancaran.

Ini awal petualangan mengikuti sang Maestro dimulai dari sebuah mall di Teraskota- BSD 28 November 2009 lalu. Sederet lagu lawas yang hits di masanya kini terdengar dalam alunan irama arrangement yang amat berbeda. Jazzy dengan sentuhan tradisonal gendang si bang Jalu, Adi Dharmawan (bass), Deksa Anugerah Samudra (drumer) dan si cantik Irsa Destiwi (keyboard). Berlima dalam F I V E mampu mennyemarakkan suasana Teraskota, menyita perhatian pengunjung mall.

Fariz RM bersama TIGA DUNIA melangkahkan kakinya ke seberang pulau tepatnya di kota Makasar, Sulawesi Selatan bersama Iwan Miradz, Eddy Syahroni, Idang Rasjidi beserta putranya seorang pemetik bass muda Shadu Rasjidi meramaikan acara Jazzy Night di Liquid Cafe,Clariton Hotel pada 24 Februari 2010 lalu. Energi bermusiknya serasa tiada mengenal kata lelah. Meski tubuhnya kian menyusut namun bukan alasan untuk tidak berkarya dalam kancah permusikan tanah air kita. Fariz RM Anthology adalah sebutan untuk performance tunggalnya seperti dalam acara meramaikan Hari Ulang Tahun sebuah radio swasta di kota Kembang, Bandung. Semangatnya itu kian membara seperti kemeja merah menyala yang dikenakan olehnya. Sebuah lagu "Selamat Untukmu" sebagai tembang pembuka.Lagu dari album Jakarta Rhythm Section tersebut mewakili ucapan SELAMAT ULANG TAHUN untuk radio itu yang berusia 7 tahun tepat di rayakan pada Jum'at 7 Mei 2010 lalu. Turut pula meramaikan si burung camar Vina Panduwinata dengan kepak sayapnya biru turquise, tetap lincah menceriakan suasana.

Riuh rendah tepukan memadati ruangan yang sebagian besar adalah pengunjung era 80-an. Larut dalam alunan demi alunan lagu, bahkan ada beberapa tembang hits-nya yang jarang ditampilkan seperti Susie Bhelel selain tembang andalan Sakura dan Barcelona yang tak asing di telinga penikmat musik sehati. Pada bulan yang sama saya begitu bahagia saat turut meraikan acara stasiun TVONE yaitu "Satu Jam Lebih Dekat Bersama Fariz RM".

Malam itu saya dan rekan saya Chr Nast mewakili para penggemarnya. Di mana Chr Nast sebagai kolektor kaset Fariz RM sebanyak 1768 karya dalam berbagai kaset solo maupun kolaborasi dengan beberapa musisi Indonesia.

Sedang saya sebagai penggemar yang secara kebetulan menyimpan tiket pertunjukan, dan mengkliping berita tentangnya. Hingga saya diundang pada malam taping acara tsb, saya bisa melihat langsung duet maut Neno Warisman melantunkan Nada Kasih dan Sebuah Obsesi. Hadir pula rekan musisi juga sebagai sahabatnya Deddy Dhukun dan seorang pak guru wali kelasnya, semasa sekolah di SMAN 3 Jakarta yaitu bapak Drs. Sri Wahjono.

Selang sebulan dari itu Fariz RM hadir kembali meramaikan acara Jazz Craft Vaganza. Selain dengan pasukannya yang terdiri dari Adi Dharmawan (bass)), Deksa (drumer), Michael (gitar), Bounty (saxophone), dan Jalu (gendang) tetap menyuguhkan tembang-tembang hitsnya. Guyuran air hujan tak membuat para penikmat musik sehati meninggalkan stage,namun tetap setia hingga Barcelona sebagai tembang pamungkas. Sebelumnya Fariz RM menjadi guest star untuk performance Maya Hasan si pemetik harpa yang cantik, secantik permaiannya. Juni dalam sentuhan Jazzy melabuhkan kenangan indah di Bale Pare, Padalarang.

Seiring waktu akhirnya saya turut menikmati suguhan inovasi baru dari seorang Fariz RM yaitu saat menjadi pengisi acara sebuah radio Magnetic Brava dalam event musik yang diprogramkan radio swasta yang baru terbit itu. Dengan beberapa teman musisinya lintas generasi Fariz RM nikmat memainkan bilah-bilah hitam putih-nya itu. Sebagai tembang pembuka adalah Kurnia dan Pesona dengan sentuhan arrangement lebih lembut untuk meredam suasana yang mulai gerah akan padatnya pengunjung Hard Rock Cafe, EX Jakarta. Soulful Attitude dengan formasi sbb : Michael (gitar) - Shadu Rasjidi (bass) - Rojez Maliq D' Essential (perkusi) - Eddy Syahroni (drumer) dan Fariz RM (keyboard). Lantunan Kurnia & Pesona berlalu langsung disusul dengan Hasrat dan Cita yang dipersembahkan buat almarhumah Andi Meriam Mattalata yang pernah direkam dalam album solo Bahtera Asmara. Lagu tersebut menurut saya sangat menyentuh dan lembut, selembut pelantunnya. Dan sangat sesuai dilantunkan dengan kondisi bangsa kita dilanda beberapa bencana alam, hal ini pernah dipersembahkan oleh Fariz RM saat bencana gempa bumi di Padang beberapa waktu yang lalu. Dua lagu sendu terusir dengan hentakan perkusi Rojez berkolaborasi dengan Eddy Syahroni dan disusul besitan bass dari Shadu Rasidi bersautan melodi-nya Michael yang baru saya liat saat acara Jazz Craft Vaganza sekitar bulan Juli lalu. Dalam acara tersebut juga dimeriahkan oleh Sandhy Sandoro dan Soulvibe yang masing-masing memeperolah certificate ceremony sebagai ajang Program Charity Brava. Fariz RM bersama Soulful Attitude-nya mampu memberikan gemuruh kepada para pengunjung cafe semakin malam semakin riuh. Suguhan delapan tembang terbaiknya telah menuntaskan jum'at malam itu dalam dekapan rindu dalam Barcelona yang didominan bunyi-bunyi dari masing-masing personal.


Pelantun lagu SELAMA, DIRIMU, BISIK PERINDU, kini hadir kembali mengajak para penggemar setianya untuk berkumpul kembali di jum'at malam dalam acara FARIZ RM ANTHOLOGY " Live In Concert at Friday Jazz Nite 2010" bertempat di Pasar Seni Ancol, pada Jum'at 12 November 2010 jam 19:00-selesai. Kehadirannya dengan ditemani seorang bintang tamu Saxophonist dan Violinist dengan membawakan 14 lagu terbaiknya dan 1 bonus lagu baru di album mendatang, sudah selayaknya yang mengaku penikmat musik sehati fans setia FARIZ RM berkumpul bersama saling bergandengan tangan sambil mendendangkan tembang-tembang hebatnya. SELAMA kita menjadi penggemarnya DIRIMU Fariz RM maka BISIK PERINDU itu tak lekang oleh waktu.
Sampai Jumpa...♪ ♫ ♪ ♫ ♪ ♫♪ ♫ ♪ ♫...



Salam,
Arie Rachmawati