PIANOKU TERCINTA
oleh Arie Rachmawati
pada 29 November 2010 jam 21:29
Cerpen ini sebagai kado ulang tahun Herman Gelly Effendi
pianis/keyboard SYMPHONY.
Pf : 29 November
Sudah lama aku tidak suka pada Bunda. Aku ingin sekali membencinya tapi aku takut kualat, karena dari rahimnya aku lahir dan mengenal dunia. Bunda suka memaksakan keinginannya dan itu menyiksa batinku. Di antara kami berdua selalu terjadi selisih paham, tumben kali ini aku sepaham dengannya. Mulanya aku tak bisa menerima pendapatnya untuk menjual piano Karl Muller hadiah ulang tahunku dari almarhum Ayah. Karl Muller itu menggantikan piano tua warisan keluarga Ayah, yang telah dimakan rayap.
Masih teringat wajah sedih Ayah sa at menyaksikan kaki piano warisan itu kropos. Hanya dalam satu sentuhan tangan, kaki pianonya langsung lunglai dan jatuh menimbulkan dentuman keras ke lantai. Seakan tuts-tuts piano itu berhamburan ke udara dengan nada-nada bertabrakan membentuk suara seperti ledakan bom. Aku terpaku menyaksikan adegan saat- saat terakhir itu. Sementara kedua adik kembarku—Didi dan Dede—ketakutan, pecah dalam tangisan. Bunda seakan tak peduli. Itulah awal aku tidak suka pada Bunda. Jelas tergambar kemenangan dalam wajahnya, justru di saat Ayah larut dalam sedih. Kemenangan? Ya, karena Ayah lebih memperhatikan pianonya daripada Bunda. Itu adalah penilaianku terhadap hubungan Ayah dan Bunda semenjak kelahiran adik kembarku.
Aku menghampiri Ayah, memeluknya dengan erat untuk menghiburnya. Ada keteduhan saat saling berpelukan dan aku belum pernah menemukan itu pada Bunda yang selalu bersikap dingin. Terlintas pikiran negatif, apakah benar Bunda itu ibuku?
Aku menanyakan pada Ayah, saat beliau duduk di depan piano. “Ayah, apakah Bunda sayang aku? Apakah Bunda itu benar ibuku?“ tanyaku merajuk.
Sesekali Ayah melempar senyum tanpa bersuara namun tetap membagi perhatiannya padaku di antara ketekunannya memencet tuts-tuts piano yang memberi nuansa damai sore itu. Usai menuntaskan permainan piano, Ayah mengacak-acak poniku.
“Lara, tadi tanya apa?“ suaranya lembut.
Aku menggeleng, menarik pertanyaan konyol itu. Aku lebih suka melihat Ayah tersenyum seperti itu, kemudian kami membahas musik. Keinginanku untuk mengusai beberapa alat musik lebih menarik daripada membahas Bunda yang terasa pilih kasih.
“Ayah ingin Lara tetap rajin belajar, jangan mudah menyerah, dan pertahankan ranking kelas. Jadilah yang terbaik untuk semua,“ nasihat Ayah. Saat itu kami duduk berdua berbagi bangku dan melanjutkan pelajaran improvisasi. Aku suka sekali lagu ciptaan Ayah itu, walau belum ditemukan judul yang tepat.
“Ah...itu gampang, yang penting Lara perhatikan pada bagian bait kedua menuju reffrain itu. Ada perpindahan tempo dan kord-nya…ingat ya, Lara?“ Ayah memberiku semangat.
Perpindahan tempo itu selalu membuatku lemah dan beberapa kali gagal. Antara pedal kanan dan sepuluh jemariku yang menari di atas piano belum terjalin keselarasan. Pedal kanan itu membuat suara lebih bergaung, kadang memengaruhi konsentrasiku. Seperti biasa, Ayah selalu menghibur dan menyuruhku rehat. Lalu kami berdua bernyanyi bersama, untuk menetralisir keadaan. Selanjutnya Ayah akan menghadiahkan satu kecupan di kening sebelum aku beranjak menuju kamar merajut mimpi.
Kegiatanku di antara sekolah, setiap sepuluh hari mampir apotik Taurus milik guru farmakognisiku. Dia selalu memberi potongan harga untuk obat yang kutebus. Obat untuk sakit jantung! Didi mempunyai kelainan jantung sejak lahir.
“Duh, lama banget, sih?“ keluhku dalam hati setelah lebih tiga puluh menit menunggu. Pasti Bunda dan si kembar merasakan kegelisahanku ini.
Kesulitan ekonomi sejak Ayah berpulang tanpa meninggalkan harta berlimpah, membuat Karl Muller-ku korban berikutnya setelah beberapa barang di rumah satu per satu terjual. Ayah seorang musisi yang terlalu idealis hingga ia ditinggal oleh teman-temannya yang lebih mengejar popularitas. Bagiku Ayah adalah seorang seniman yang piawai memainkan beberapa alat musik dan aku ingin seperti dia. Ayah pandai pula menulis puisi dan cerita pendek. Aku bangga menjadi anaknya.
Langkahku terhenti saat menuju pintu rumah dan membukanya. Terdengar isak tangis Bunda. Bergegas aku menghampiri Bunda yang sedang memangku Didi.
“Cepat, Ra! Kasihan adikmu. Sini obatnya, cepat ambil air minum!“ perintah Bunda cemas. Aku lari menuju dapur dan mengambil segelas air lalu kembali ke ruang tengah. Air mataku tak dapat ditahan, deras mengalir, melihat kondisi Didi yang mengkhawatirkan untuk ketiga kalinya dalam sebulan terakhir ini. Keadaan ini yang membuatku luluh dan setuju menjual piano itu. Hasil penjualan kue pukis dan sisa tabungan tak mencukupi kebutuhan hidup kami.
***
Tanah merah masih menggunung bertabur bunga-bunga kering di atas pusara Ayah. Di antara deraian air mata, kukirim sebaris doa, kubisikkan padanya.
“Ayah, maafkan Lara yang belum bisa menjadi harapan Ayah. Pasti Ayah tak akan marah, bila piano kita dijual,”isakku terbata. Aku tabur bunga kenanga dan melati dan menyiram tanah itu dengan sebotol air. Lalu aku tinggalkan Ayah yang terbujur kaku dalam pembaringan terakhirnya. Sekelebat aku melihat Ayah tersenyum pilu.
“Ayaaah… “ bisik lirihku.
Langkahku menuju alamat yang tertera di kartu nama pemberian Ayah padaku jelang akhir hayatnya. “Lara, simpan kartu nama ini baik-baik. Temui ia dan katakan bahwa kau anakku, Elang.” ucapnya tersengal di antara se sa k nafasnya yang telah merenggut hidupnya.
Alamat itu tertuju pada gedung-gedung yang berjajar sepanjang jalan protokol. Untuk pertama kalinya aku belajar berbohong pada Bunda, dengan mengatakan hendak belajar kelompok di rumah teman. Anehnya Bunda tak sempat memperhatikan mataku berdusta. Mungkin perhatian Bunda tersita oleh kondisi Didi dan beberapa pesanan kue.
Aku menuju sekuriti tepat di sebelah kanan pintu masuk utama gedung bertingkat tujuh itu. Kutinggalkan kartu pelajar berganti kartu tamu gedung. Pintu lift terbuka, aku naik ke lantai teratas. Seorang sekretaris cantik menanyakan maksud kedatanganku. Karena belum ada konfirmasi, aku dianjurkan datang lain waktu.
Aku kecewa karena telah mengorbankan dua ulangan mata pelajaran untuk keperluan ini. Langkahku lunglai meninggalkan gedung itu. Pesimis. Ra sa nya tak mungkin bi sa meluangkan waktu lagi karena hari-hari mendatang persiapan ujian akhir sekolah.
Tiba-tiba nada dering selulerku berbunyi dari nomor yang tak kukenal. “Halo, apa benar ini Lara anaknya Elang?“ suara diseberang menyapaku. Pemilik suara itu menyuruhku kembali ke kantornya lalu bergegas aku menuju gedung bertingkat tujuh itu.
Tepat di depan pintu ruangan itu, terdengar samar- samar suara dentingan piano mengalun. Daun pintu itu terkuak dan tampak seseorang duduk di depan piano. Ia menoleh padaku yang diantar oleh seseorang. Aku tertegun. Lagu yang mengalun itu adalah lagu kesayanganku bersama Ayah. Lagu tanpa judul itu. Lalu siapakah ia? Apakah teman Ayah yang bernama Pak Herman itu? Aku ingat benar akhir dentingan itu jatuh di nada C-minor.
Bapak itu menghampiriku dan menyalamiku. “Herman..Om Herman. Apa kabar, Lara? Mama dan Papamu...?“ ucapnya ramah dengan lesung pipit yang mengingatkanku pada Afgan, penyanyi favoritku
“Oh...apa Om nggak tahu kalau Ayah telah wafat?“ tanyaku berbalik.
Wajah Om Herman tampak keheranan serasa tak percaya pada berita itu. Aku menceritakan awal sakit Ayah hingga berpulang menghadap Tuhan, empat puluh hari yang lalu.
Tiba-tiba beliau memelukku. Aku merasa seperti Ayah yang melakukannya. “Nanti kita bersama ke makamnya, ya. Kini duduklah bersama Om.“ ajaknya lembut.Om Herman mengajakku menuju piano Clavinova dan memintaku memainkan lagu.
“Terakhir Om ketemu ayahmu, ia cerita bahwa kamu sudah mahir memainkan sepuluh jari. Itu kira-kira tiga tahun lalu dan lagu kami bertiga telah diajarkan kepadamu.“
“Lagu bertiga…?“ tanyaku.
“Ya...Temaram, judul lagu itu. Kenapa?” Om Herman heran melihatku kebingungan. “Apakah mereka tak menceritakan itu?“ balasnya menyadari ke sa lahan yang baru terjadi. Aku benar-benar tak mengerti arah pembicaraan itu. Kemudian, beliau menyuruhku memainkan lagu itu.Aku duduk di depan piano anggun itu. “Aneh…” batinku.
Saat jari-jemariku menyentuh piano itu, rangkaian notasi dan partitur itu hilang dari ingatanku. Bahkan jemariku seakan tak mengenal deretan do-re-mi-fa-sol-la-si-do. Sekali aku mencoba tetap tak bi sa ! Ada apa denganku? Kuulangi lagi. Bahkan Om Herman kini duduk di sebelahku persis dulu Ayah melakukan hal yang sama. Aku suka itu.
Ia pun memulai intro lalu mengajakku masuk pada bagian bait pertama, tapi benar-benar aku seperti hilang ingatan. Aku tak mengerti mengapa hal ini terjadi lagi padaku, setiap memainkan piano yang bukan milikku. Kupikir hanya kebetulan sa ja, sa at Damayanti berulang tahun, ia memintaku memainkan beberapa lagu. Tetapi, tak satu pun aku bisa tampilkan sehingga memerah wajahku seketika. Saat itu Gio mengatasi situasi mengambil peranku dan kami bernyanyi bersama.
Dengan senyum manis, Om Herman mengajakku duduk di sofa biru muda dan menanyakan maksud kedatanganku. “Jadi, bundamu ingin menjual piano itu? Kenapa? Bukankah itu menyimpan kenangan ber sa ma ayahmu?“
”Tadinya saya ingin menawarkan itu pada Om, tapi sepertinya sa ya sa lah alamat. Bahkan dalam ruangan kerja ini ada beberapa alat musik dan bagus-bagus, jadi…” tak tersembunyikan rasa kecewaku. Aku menunduk lemas dan segera berpamitan. Om Herman mencegahku dan ingin mengantarkan aku pulang.
“Jangan deh Om, entar malah jadi masalah, karena hari ini saya membolos. Terima kasih banyak. Lain kali ketemu lagi ya, Om.” pamitku segera meninggalkan ruangannya.
***
Aku masuk melalui pintu samping langsung menuju dapur bertemu Bunda yang masih berbenah peralatan dapur setelah membuat adonan terakhir kue pukis. Sepertinya hari ini ada pesanan kue lebih banyak dari biasanya. Aku membayangkan seraut wajah amarah Bunda, namun tak kutemui itu. Justru wajah teduh penuh kasih sayang yang kurindukan.
Bunda mendekat padaku dan ingin mengatakan sesuatu namun terhalang ketukan pintu yang memaksa.
Mereka adalah tiga laki-laki menuju tempat pianoku bersandar di dinding ruang tengah. Kemudian, salah satu dari mereka menyodorkan sebuah kuintasi penjualan dan dua orang lainnya mengangkat pianoku tanpa memberiku salam perpisahan. Piano itu rupanya siap berpindah tangan. Aku ingin berontak tapi melihat adikku Didi yang terkapar di kasur busa usang, membuatku luluh. Kini, jelas maksud perubahan sikap Bunda kepadaku. Bunda telah merapikan buku-buku partitur yang biasanya terletak di atas pianoku itu. Adikku, Dede, menangis,
“Kita nggak bisa main lagi dong, Kak,“ ucapnya pilu. Aku terenyuh lalu mendekapnya.
“Nanti Bunda beli lagi biar kita tetap bisa berlatih,“ hiburku. Aku tahu Bunda menyimpan buncahan air mata di sudut matanya. Bunda yang tegar itu, kini luruh juga.
Petang ini suasana sunyi dan hening dengan air mata masih menemaniku. Kenangan bersama Ayah pun ikut menggenang. Ruang tempat piano itu berada, kini melompong. Begitu cepat semua terjadi. Bunda lebih cepat masuk kamar ketimbang biasanya. Seakan rentetan peristiwa kesedihan enggan beranjak meninggalkan kehidupan kami.
Pintu kembali diketuk orang. Aku bangkit dengan kelopak mata masih bengkak. Saat pintu terkuak, begitu terkejutnya aku, ternyata Om Herman.
“Malam, Lara. Handphone-mu nggak aktif, ya? Untung tadi kamu meninggalkan data dirimu, jadi Om tahu alamat rumahmu. Bundamu ada..?“ tanyanya lembut. “Om, boleh masuk, kan?“
“Iya...iya, Om.” Sejenak aku bengong. ”Silakan masuk. Sebentar Lara panggilkan Bunda, ya. Duduk, Om.“ Aku bergegas menuju kamar Bunda. “Bunda, ada tamu Ayah.“ Aku berbisik pada daun pintu kamar.
Aku segera menuju dapur menyeduh secangkir teh buat Om Herman.
"Lara, tadi Om lihat ada piano dibawa beberapa orang ke luar dari sini, apakah itu pianomu?“ tanyanya begitu aku meletakkan teh di meja.
Aku hanya mengangguk pelan. Pertanyaan itu seakan memancing lagi tangisku yang sudah reda. Belum sempat aku menjawabnya, tiba-tiba pianoku sudah berada di depan pintu. Membuatku terperangah…tak percaya. Lalu, muncul Bunda dengan rambut tergerai, tanpa ikatan seperti biasanya.
Aku melihat sisi Bunda yang berbeda. Pandangan matanya menyiratkan keheranan, kenapa piano yang sudah terjual bisa kembali lagi. Dan, yang membuatnya terperanjat tentu kehadiran Om Herman.
“Arini...” sapanya kepada Bunda. Aku melihat keempat mata itu beradu, tanpa kedipan sedikit pun.
“Pak, tugas sa ya selesai. Mohon sisa nya segera dibayarkan,” kata salah seorang bertubuh tinggi besar menghampiri Om Herman yang segera menuntaskan transaksi sebelum berpamitan.
“Rin, nanti aku jelaskan semuanya tapi tolong kali ini saja, maafkan aku.“ Om Herman bicara hati-hati kepada Bunda yang masih bergeming, tanpa balasan sapaan. Aku bingung melihat adegan tanpa skenario itu. Tapi yang membuatku ceria seketika adalah pianoku kembali sebelum 24 jam. Sungguh sebuah keajaiban!
***
Om Herman memintaku untuk memainkan lagu yang belum sempat aku pamerkan. Benar, aku pun ingin memainkan, bukan untuknya saja tetapi juga buat Ayah. Walau alam kami telah berbeda.
Aku duduk di depan pianoku. Jari-jemariku mulai gemulai dengan sendirinya, melantunkan lagu Temaram yang ternyata diciptakan bertiga oleh mereka jauh sebelum aku dilahirkan. Om Herman menyusul duduk di dekatku, lalu kami memainkan berdua. Mengingatkan aku pada kehadiran Ayah. Bunda muncul dari balik tirai penutup pintu kamarnya. Sesekali aku mencuri pandang pada keduanya, saat Bunda mendekati kami. Beberapa lagu kami mainkan bersama dan memiliki kesamaan selera jenis musik dari yang klasik, pop, balada, hingga pop progresif.
Dentingan demi dentingan mengalun. Aku tak peduli hubungan antara kedua orang tuaku dengannya. Bagiku, Om Herman telah berjasa menyelamatkan pianoku. Bahkan kehadirannya telah membuat babak baru hubunganku dengan Bunda yang selama ini kurindukan.
Terima Kasih, ucapku dalam hati. Aku tak ingin malam ini cepat berlalu. Dan angin malam meniupkan kesejukannya, melambaikan kain gorden yang tergantung di jendela ruang tengah yang masih terbuka. Dan, sekilas aku melihat bayangan yang aku kenal... sosok Ayah.
(Selesai)
(Dimuat di majalah STORY teenlit edisi no:8 terbit 24 Februari-25 Maret 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar