Senin, 29 November 2010

C e r p e n k u :



PIANOKU TERCINTA
oleh Arie Rachmawati
pada 29 November 2010 jam 21:29

Cerpen ini sebagai kado ulang tahun Herman Gelly Effendi
pianis/keyboard SYMPHONY.
Pf : 29 November


Sudah lama aku tidak suka pada Bunda. Aku ingin sekali membencinya tapi aku takut kualat, karena dari rahimnya aku lahir dan mengenal dunia. Bunda suka memaksakan keinginannya dan itu menyiksa batinku. Di antara kami berdua selalu terjadi selisih paham, tumben kali ini aku sepaham dengannya. Mulanya aku tak bisa menerima pendapatnya untuk menjual piano Karl Muller hadiah ulang tahunku dari almarhum Ayah. Karl Muller itu menggantikan piano tua warisan keluarga Ayah, yang telah dimakan rayap.
Masih teringat wajah sedih Ayah sa at menyaksikan kaki piano warisan itu kropos. Hanya dalam satu sentuhan tangan, kaki pianonya langsung lunglai dan jatuh menimbulkan dentuman keras ke lantai. Seakan tuts-tuts piano itu berhamburan ke udara dengan nada-nada bertabrakan membentuk suara seperti ledakan bom. Aku terpaku menyaksikan adegan saat- saat terakhir itu. Sementara kedua adik kembarku—Didi dan Dede—ketakutan, pecah dalam tangisan. Bunda seakan tak peduli. Itulah awal aku tidak suka pada Bunda. Jelas tergambar kemenangan dalam wajahnya, justru di saat Ayah larut dalam sedih. Kemenangan? Ya, karena Ayah lebih memperhatikan pianonya daripada Bunda. Itu adalah penilaianku terhadap hubungan Ayah dan Bunda semenjak kelahiran adik kembarku.
Aku menghampiri Ayah, memeluknya dengan erat untuk menghiburnya. Ada keteduhan saat saling berpelukan dan aku belum pernah menemukan itu pada Bunda yang selalu bersikap dingin. Terlintas pikiran negatif, apakah benar Bunda itu ibuku?
Aku menanyakan pada Ayah, saat beliau duduk di depan piano. “Ayah, apakah Bunda sayang aku? Apakah Bunda itu benar ibuku?“ tanyaku merajuk.
Sesekali Ayah melempar senyum tanpa bersuara namun tetap membagi perhatiannya padaku di antara ketekunannya memencet tuts-tuts piano yang memberi nuansa damai sore itu. Usai menuntaskan permainan piano, Ayah mengacak-acak poniku.
“Lara, tadi tanya apa?“ suaranya lembut.
Aku menggeleng, menarik pertanyaan konyol itu. Aku lebih suka melihat Ayah tersenyum seperti itu, kemudian kami membahas musik. Keinginanku untuk mengusai beberapa alat musik lebih menarik daripada membahas Bunda yang terasa pilih kasih.
“Ayah ingin Lara tetap rajin belajar, jangan mudah menyerah, dan pertahankan ranking kelas. Jadilah yang terbaik untuk semua,“ nasihat Ayah. Saat itu kami duduk berdua berbagi bangku dan melanjutkan pelajaran improvisasi. Aku suka sekali lagu ciptaan Ayah itu, walau belum ditemukan judul yang tepat.
“Ah...itu gampang, yang penting Lara perhatikan pada bagian bait kedua menuju reffrain itu. Ada perpindahan tempo dan kord-nya…ingat ya, Lara?“ Ayah memberiku semangat.
Perpindahan tempo itu selalu membuatku lemah dan beberapa kali gagal. Antara pedal kanan dan sepuluh jemariku yang menari di atas piano belum terjalin keselarasan. Pedal kanan itu membuat suara lebih bergaung, kadang memengaruhi konsentrasiku. Seperti biasa, Ayah selalu menghibur dan menyuruhku rehat. Lalu kami berdua bernyanyi bersama, untuk menetralisir keadaan. Selanjutnya Ayah akan menghadiahkan satu kecupan di kening sebelum aku beranjak menuju kamar merajut mimpi.

Kegiatanku di antara sekolah, setiap sepuluh hari mampir apotik Taurus milik guru farmakognisiku. Dia selalu memberi potongan harga untuk obat yang kutebus. Obat untuk sakit jantung! Didi mempunyai kelainan jantung sejak lahir.
“Duh, lama banget, sih?“ keluhku dalam hati setelah lebih tiga puluh menit menunggu. Pasti Bunda dan si kembar merasakan kegelisahanku ini.
Kesulitan ekonomi sejak Ayah berpulang tanpa meninggalkan harta berlimpah, membuat Karl Muller-ku korban berikutnya setelah beberapa barang di rumah satu per satu terjual. Ayah seorang musisi yang terlalu idealis hingga ia ditinggal oleh teman-temannya yang lebih mengejar popularitas. Bagiku Ayah adalah seorang seniman yang piawai memainkan beberapa alat musik dan aku ingin seperti dia. Ayah pandai pula menulis puisi dan cerita pendek. Aku bangga menjadi anaknya.
Langkahku terhenti saat menuju pintu rumah dan membukanya. Terdengar isak tangis Bunda. Bergegas aku menghampiri Bunda yang sedang memangku Didi.
“Cepat, Ra! Kasihan adikmu. Sini obatnya, cepat ambil air minum!“ perintah Bunda cemas. Aku lari menuju dapur dan mengambil segelas air lalu kembali ke ruang tengah. Air mataku tak dapat ditahan, deras mengalir, melihat kondisi Didi yang mengkhawatirkan untuk ketiga kalinya dalam sebulan terakhir ini. Keadaan ini yang membuatku luluh dan setuju menjual piano itu. Hasil penjualan kue pukis dan sisa tabungan tak mencukupi kebutuhan hidup kami.

***

Tanah merah masih menggunung bertabur bunga-bunga kering di atas pusara Ayah. Di antara deraian air mata, kukirim sebaris doa, kubisikkan padanya.
“Ayah, maafkan Lara yang belum bisa menjadi harapan Ayah. Pasti Ayah tak akan marah, bila piano kita dijual,”isakku terbata. Aku tabur bunga kenanga dan melati dan menyiram tanah itu dengan sebotol air. Lalu aku tinggalkan Ayah yang terbujur kaku dalam pembaringan terakhirnya. Sekelebat aku melihat Ayah tersenyum pilu.
“Ayaaah… “ bisik lirihku.
Langkahku menuju alamat yang tertera di kartu nama pemberian Ayah padaku jelang akhir hayatnya. “Lara, simpan kartu nama ini baik-baik. Temui ia dan katakan bahwa kau anakku, Elang.” ucapnya tersengal di antara se sa k nafasnya yang telah merenggut hidupnya.
Alamat itu tertuju pada gedung-gedung yang berjajar sepanjang jalan protokol. Untuk pertama kalinya aku belajar berbohong pada Bunda, dengan mengatakan hendak belajar kelompok di rumah teman. Anehnya Bunda tak sempat memperhatikan mataku berdusta. Mungkin perhatian Bunda tersita oleh kondisi Didi dan beberapa pesanan kue.
Aku menuju sekuriti tepat di sebelah kanan pintu masuk utama gedung bertingkat tujuh itu. Kutinggalkan kartu pelajar berganti kartu tamu gedung. Pintu lift terbuka, aku naik ke lantai teratas. Seorang sekretaris cantik menanyakan maksud kedatanganku. Karena belum ada konfirmasi, aku dianjurkan datang lain waktu.
Aku kecewa karena telah mengorbankan dua ulangan mata pelajaran untuk keperluan ini. Langkahku lunglai meninggalkan gedung itu. Pesimis. Ra sa nya tak mungkin bi sa meluangkan waktu lagi karena hari-hari mendatang persiapan ujian akhir sekolah.
Tiba-tiba nada dering selulerku berbunyi dari nomor yang tak kukenal. “Halo, apa benar ini Lara anaknya Elang?“ suara diseberang menyapaku. Pemilik suara itu menyuruhku kembali ke kantornya lalu bergegas aku menuju gedung bertingkat tujuh itu.
Tepat di depan pintu ruangan itu, terdengar samar- samar suara dentingan piano mengalun. Daun pintu itu terkuak dan tampak seseorang duduk di depan piano. Ia menoleh padaku yang diantar oleh seseorang. Aku tertegun. Lagu yang mengalun itu adalah lagu kesayanganku bersama Ayah. Lagu tanpa judul itu. Lalu siapakah ia? Apakah teman Ayah yang bernama Pak Herman itu? Aku ingat benar akhir dentingan itu jatuh di nada C-minor.
Bapak itu menghampiriku dan menyalamiku. “Herman..Om Herman. Apa kabar, Lara? Mama dan Papamu...?“ ucapnya ramah dengan lesung pipit yang mengingatkanku pada Afgan, penyanyi favoritku
“Oh...apa Om nggak tahu kalau Ayah telah wafat?“ tanyaku berbalik.
Wajah Om Herman tampak keheranan serasa tak percaya pada berita itu. Aku menceritakan awal sakit Ayah hingga berpulang menghadap Tuhan, empat puluh hari yang lalu.
Tiba-tiba beliau memelukku. Aku merasa seperti Ayah yang melakukannya. “Nanti kita bersama ke makamnya, ya. Kini duduklah bersama Om.“ ajaknya lembut.Om Herman mengajakku menuju piano Clavinova dan memintaku memainkan lagu.
“Terakhir Om ketemu ayahmu, ia cerita bahwa kamu sudah mahir memainkan sepuluh jari. Itu kira-kira tiga tahun lalu dan lagu kami bertiga telah diajarkan kepadamu.“
“Lagu bertiga…?“ tanyaku.
“Ya...Temaram, judul lagu itu. Kenapa?” Om Herman heran melihatku kebingungan. “Apakah mereka tak menceritakan itu?“ balasnya menyadari ke sa lahan yang baru terjadi. Aku benar-benar tak mengerti arah pembicaraan itu. Kemudian, beliau menyuruhku memainkan lagu itu.Aku duduk di depan piano anggun itu. “Aneh…” batinku.
Saat jari-jemariku menyentuh piano itu, rangkaian notasi dan partitur itu hilang dari ingatanku. Bahkan jemariku seakan tak mengenal deretan do-re-mi-fa-sol-la-si-do. Sekali aku mencoba tetap tak bi sa ! Ada apa denganku? Kuulangi lagi. Bahkan Om Herman kini duduk di sebelahku persis dulu Ayah melakukan hal yang sama. Aku suka itu.
Ia pun memulai intro lalu mengajakku masuk pada bagian bait pertama, tapi benar-benar aku seperti hilang ingatan. Aku tak mengerti mengapa hal ini terjadi lagi padaku, setiap memainkan piano yang bukan milikku. Kupikir hanya kebetulan sa ja, sa at Damayanti berulang tahun, ia memintaku memainkan beberapa lagu. Tetapi, tak satu pun aku bisa tampilkan sehingga memerah wajahku seketika. Saat itu Gio mengatasi situasi mengambil peranku dan kami bernyanyi bersama.
Dengan senyum manis, Om Herman mengajakku duduk di sofa biru muda dan menanyakan maksud kedatanganku. “Jadi, bundamu ingin menjual piano itu? Kenapa? Bukankah itu menyimpan kenangan ber sa ma ayahmu?“
”Tadinya saya ingin menawarkan itu pada Om, tapi sepertinya sa ya sa lah alamat. Bahkan dalam ruangan kerja ini ada beberapa alat musik dan bagus-bagus, jadi…” tak tersembunyikan rasa kecewaku. Aku menunduk lemas dan segera berpamitan. Om Herman mencegahku dan ingin mengantarkan aku pulang.
“Jangan deh Om, entar malah jadi masalah, karena hari ini saya membolos. Terima kasih banyak. Lain kali ketemu lagi ya, Om.” pamitku segera meninggalkan ruangannya.

***

Aku masuk melalui pintu samping langsung menuju dapur bertemu Bunda yang masih berbenah peralatan dapur setelah membuat adonan terakhir kue pukis. Sepertinya hari ini ada pesanan kue lebih banyak dari biasanya. Aku membayangkan seraut wajah amarah Bunda, namun tak kutemui itu. Justru wajah teduh penuh kasih sayang yang kurindukan.
Bunda mendekat padaku dan ingin mengatakan sesuatu namun terhalang ketukan pintu yang memaksa.
Mereka adalah tiga laki-laki menuju tempat pianoku bersandar di dinding ruang tengah. Kemudian, salah satu dari mereka menyodorkan sebuah kuintasi penjualan dan dua orang lainnya mengangkat pianoku tanpa memberiku salam perpisahan. Piano itu rupanya siap berpindah tangan. Aku ingin berontak tapi melihat adikku Didi yang terkapar di kasur busa usang, membuatku luluh. Kini, jelas maksud perubahan sikap Bunda kepadaku. Bunda telah merapikan buku-buku partitur yang biasanya terletak di atas pianoku itu. Adikku, Dede, menangis,
“Kita nggak bisa main lagi dong, Kak,“ ucapnya pilu. Aku terenyuh lalu mendekapnya.
“Nanti Bunda beli lagi biar kita tetap bisa berlatih,“ hiburku. Aku tahu Bunda menyimpan buncahan air mata di sudut matanya. Bunda yang tegar itu, kini luruh juga.
Petang ini suasana sunyi dan hening dengan air mata masih menemaniku. Kenangan bersama Ayah pun ikut menggenang. Ruang tempat piano itu berada, kini melompong. Begitu cepat semua terjadi. Bunda lebih cepat masuk kamar ketimbang biasanya. Seakan rentetan peristiwa kesedihan enggan beranjak meninggalkan kehidupan kami.
Pintu kembali diketuk orang. Aku bangkit dengan kelopak mata masih bengkak. Saat pintu terkuak, begitu terkejutnya aku, ternyata Om Herman.
“Malam, Lara. Handphone-mu nggak aktif, ya? Untung tadi kamu meninggalkan data dirimu, jadi Om tahu alamat rumahmu. Bundamu ada..?“ tanyanya lembut. “Om, boleh masuk, kan?“
“Iya...iya, Om.” Sejenak aku bengong. ”Silakan masuk. Sebentar Lara panggilkan Bunda, ya. Duduk, Om.“ Aku bergegas menuju kamar Bunda. “Bunda, ada tamu Ayah.“ Aku berbisik pada daun pintu kamar.
Aku segera menuju dapur menyeduh secangkir teh buat Om Herman.
"Lara, tadi Om lihat ada piano dibawa beberapa orang ke luar dari sini, apakah itu pianomu?“ tanyanya begitu aku meletakkan teh di meja.
Aku hanya mengangguk pelan. Pertanyaan itu seakan memancing lagi tangisku yang sudah reda. Belum sempat aku menjawabnya, tiba-tiba pianoku sudah berada di depan pintu. Membuatku terperangah…tak percaya. Lalu, muncul Bunda dengan rambut tergerai, tanpa ikatan seperti biasanya.
Aku melihat sisi Bunda yang berbeda. Pandangan matanya menyiratkan keheranan, kenapa piano yang sudah terjual bisa kembali lagi. Dan, yang membuatnya terperanjat tentu kehadiran Om Herman.
“Arini...” sapanya kepada Bunda. Aku melihat keempat mata itu beradu, tanpa kedipan sedikit pun.
“Pak, tugas sa ya selesai. Mohon sisa nya segera dibayarkan,” kata salah seorang bertubuh tinggi besar menghampiri Om Herman yang segera menuntaskan transaksi sebelum berpamitan.
“Rin, nanti aku jelaskan semuanya tapi tolong kali ini saja, maafkan aku.“ Om Herman bicara hati-hati kepada Bunda yang masih bergeming, tanpa balasan sapaan. Aku bingung melihat adegan tanpa skenario itu. Tapi yang membuatku ceria seketika adalah pianoku kembali sebelum 24 jam. Sungguh sebuah keajaiban!

***

Om Herman memintaku untuk memainkan lagu yang belum sempat aku pamerkan. Benar, aku pun ingin memainkan, bukan untuknya saja tetapi juga buat Ayah. Walau alam kami telah berbeda.
Aku duduk di depan pianoku. Jari-jemariku mulai gemulai dengan sendirinya, melantunkan lagu Temaram yang ternyata diciptakan bertiga oleh mereka jauh sebelum aku dilahirkan. Om Herman menyusul duduk di dekatku, lalu kami memainkan berdua. Mengingatkan aku pada kehadiran Ayah. Bunda muncul dari balik tirai penutup pintu kamarnya. Sesekali aku mencuri pandang pada keduanya, saat Bunda mendekati kami. Beberapa lagu kami mainkan bersama dan memiliki kesamaan selera jenis musik dari yang klasik, pop, balada, hingga pop progresif.
Dentingan demi dentingan mengalun. Aku tak peduli hubungan antara kedua orang tuaku dengannya. Bagiku, Om Herman telah berjasa menyelamatkan pianoku. Bahkan kehadirannya telah membuat babak baru hubunganku dengan Bunda yang selama ini kurindukan.
Terima Kasih, ucapku dalam hati. Aku tak ingin malam ini cepat berlalu. Dan angin malam meniupkan kesejukannya, melambaikan kain gorden yang tergantung di jendela ruang tengah yang masih terbuka. Dan, sekilas aku melihat bayangan yang aku kenal... sosok Ayah.

(Selesai)


(Dimuat di majalah STORY teenlit edisi no:8 terbit 24 Februari-25 Maret 2010)

Sabtu, 13 November 2010

Fariz Roestam Moenaf


SELAMA DIRIMU BISIK PERINDU
oleh Arie Rachmawati pada 13 November 2010 jam 20:40


Tiga lagu lawas dari album Selangkah Ke Seberang itu sengaja saya pakai sebagai judul catatan fesbuk kali ini. Dengan seizin mas Fariz Roestam Moenaf maka saya ingin bercerita sedikit tentang beliau itu, Sang Maestro yang senantiasa bergelut dengan inovasi baru dalam bermusik. Beliau lebih suka disebut sebagai musisi dari pada sebagai penyanyi.

Saya berawal dari seorang fans dari Fariz RM Fans Club, saat remaja mengikuti perjalanan kariernya dalam bermusik melalui klipingan dari media massa saat itu sangatlah susah di kota Jember. Kesetiaan saya ternyata berujung indah saat usia yang tak remaja lagi diberi kesempatan mengenal lebih dekat dengan Fariz RM dan keluarganya. Dan dari niat yang tulus hadir sebagai fans setia untuk menjalin tali silaturahmi untuk ukhuwah islamiah, maka jalan pertautan itu diberi kelancaran.

Ini awal petualangan mengikuti sang Maestro dimulai dari sebuah mall di Teraskota- BSD 28 November 2009 lalu. Sederet lagu lawas yang hits di masanya kini terdengar dalam alunan irama arrangement yang amat berbeda. Jazzy dengan sentuhan tradisonal gendang si bang Jalu, Adi Dharmawan (bass), Deksa Anugerah Samudra (drumer) dan si cantik Irsa Destiwi (keyboard). Berlima dalam F I V E mampu mennyemarakkan suasana Teraskota, menyita perhatian pengunjung mall.

Fariz RM bersama TIGA DUNIA melangkahkan kakinya ke seberang pulau tepatnya di kota Makasar, Sulawesi Selatan bersama Iwan Miradz, Eddy Syahroni, Idang Rasjidi beserta putranya seorang pemetik bass muda Shadu Rasjidi meramaikan acara Jazzy Night di Liquid Cafe,Clariton Hotel pada 24 Februari 2010 lalu. Energi bermusiknya serasa tiada mengenal kata lelah. Meski tubuhnya kian menyusut namun bukan alasan untuk tidak berkarya dalam kancah permusikan tanah air kita. Fariz RM Anthology adalah sebutan untuk performance tunggalnya seperti dalam acara meramaikan Hari Ulang Tahun sebuah radio swasta di kota Kembang, Bandung. Semangatnya itu kian membara seperti kemeja merah menyala yang dikenakan olehnya. Sebuah lagu "Selamat Untukmu" sebagai tembang pembuka.Lagu dari album Jakarta Rhythm Section tersebut mewakili ucapan SELAMAT ULANG TAHUN untuk radio itu yang berusia 7 tahun tepat di rayakan pada Jum'at 7 Mei 2010 lalu. Turut pula meramaikan si burung camar Vina Panduwinata dengan kepak sayapnya biru turquise, tetap lincah menceriakan suasana.

Riuh rendah tepukan memadati ruangan yang sebagian besar adalah pengunjung era 80-an. Larut dalam alunan demi alunan lagu, bahkan ada beberapa tembang hits-nya yang jarang ditampilkan seperti Susie Bhelel selain tembang andalan Sakura dan Barcelona yang tak asing di telinga penikmat musik sehati. Pada bulan yang sama saya begitu bahagia saat turut meraikan acara stasiun TVONE yaitu "Satu Jam Lebih Dekat Bersama Fariz RM".

Malam itu saya dan rekan saya Chr Nast mewakili para penggemarnya. Di mana Chr Nast sebagai kolektor kaset Fariz RM sebanyak 1768 karya dalam berbagai kaset solo maupun kolaborasi dengan beberapa musisi Indonesia.

Sedang saya sebagai penggemar yang secara kebetulan menyimpan tiket pertunjukan, dan mengkliping berita tentangnya. Hingga saya diundang pada malam taping acara tsb, saya bisa melihat langsung duet maut Neno Warisman melantunkan Nada Kasih dan Sebuah Obsesi. Hadir pula rekan musisi juga sebagai sahabatnya Deddy Dhukun dan seorang pak guru wali kelasnya, semasa sekolah di SMAN 3 Jakarta yaitu bapak Drs. Sri Wahjono.

Selang sebulan dari itu Fariz RM hadir kembali meramaikan acara Jazz Craft Vaganza. Selain dengan pasukannya yang terdiri dari Adi Dharmawan (bass)), Deksa (drumer), Michael (gitar), Bounty (saxophone), dan Jalu (gendang) tetap menyuguhkan tembang-tembang hitsnya. Guyuran air hujan tak membuat para penikmat musik sehati meninggalkan stage,namun tetap setia hingga Barcelona sebagai tembang pamungkas. Sebelumnya Fariz RM menjadi guest star untuk performance Maya Hasan si pemetik harpa yang cantik, secantik permaiannya. Juni dalam sentuhan Jazzy melabuhkan kenangan indah di Bale Pare, Padalarang.

Seiring waktu akhirnya saya turut menikmati suguhan inovasi baru dari seorang Fariz RM yaitu saat menjadi pengisi acara sebuah radio Magnetic Brava dalam event musik yang diprogramkan radio swasta yang baru terbit itu. Dengan beberapa teman musisinya lintas generasi Fariz RM nikmat memainkan bilah-bilah hitam putih-nya itu. Sebagai tembang pembuka adalah Kurnia dan Pesona dengan sentuhan arrangement lebih lembut untuk meredam suasana yang mulai gerah akan padatnya pengunjung Hard Rock Cafe, EX Jakarta. Soulful Attitude dengan formasi sbb : Michael (gitar) - Shadu Rasjidi (bass) - Rojez Maliq D' Essential (perkusi) - Eddy Syahroni (drumer) dan Fariz RM (keyboard). Lantunan Kurnia & Pesona berlalu langsung disusul dengan Hasrat dan Cita yang dipersembahkan buat almarhumah Andi Meriam Mattalata yang pernah direkam dalam album solo Bahtera Asmara. Lagu tersebut menurut saya sangat menyentuh dan lembut, selembut pelantunnya. Dan sangat sesuai dilantunkan dengan kondisi bangsa kita dilanda beberapa bencana alam, hal ini pernah dipersembahkan oleh Fariz RM saat bencana gempa bumi di Padang beberapa waktu yang lalu. Dua lagu sendu terusir dengan hentakan perkusi Rojez berkolaborasi dengan Eddy Syahroni dan disusul besitan bass dari Shadu Rasidi bersautan melodi-nya Michael yang baru saya liat saat acara Jazz Craft Vaganza sekitar bulan Juli lalu. Dalam acara tersebut juga dimeriahkan oleh Sandhy Sandoro dan Soulvibe yang masing-masing memeperolah certificate ceremony sebagai ajang Program Charity Brava. Fariz RM bersama Soulful Attitude-nya mampu memberikan gemuruh kepada para pengunjung cafe semakin malam semakin riuh. Suguhan delapan tembang terbaiknya telah menuntaskan jum'at malam itu dalam dekapan rindu dalam Barcelona yang didominan bunyi-bunyi dari masing-masing personal.


Pelantun lagu SELAMA, DIRIMU, BISIK PERINDU, kini hadir kembali mengajak para penggemar setianya untuk berkumpul kembali di jum'at malam dalam acara FARIZ RM ANTHOLOGY " Live In Concert at Friday Jazz Nite 2010" bertempat di Pasar Seni Ancol, pada Jum'at 12 November 2010 jam 19:00-selesai. Kehadirannya dengan ditemani seorang bintang tamu Saxophonist dan Violinist dengan membawakan 14 lagu terbaiknya dan 1 bonus lagu baru di album mendatang, sudah selayaknya yang mengaku penikmat musik sehati fans setia FARIZ RM berkumpul bersama saling bergandengan tangan sambil mendendangkan tembang-tembang hebatnya. SELAMA kita menjadi penggemarnya DIRIMU Fariz RM maka BISIK PERINDU itu tak lekang oleh waktu.
Sampai Jumpa...♪ ♫ ♪ ♫ ♪ ♫♪ ♫ ♪ ♫...



Salam,
Arie Rachmawati

Senin, 25 Oktober 2010

Ulang Tahun Ryan


Aryanto Rachmadi Putra
DOAKU SEPERTI KEMARIN
by Arie Rachmawati on Monday,
October 25, 2010 at 4:25pm



" Yaa Allah, doaku seperti kemarin, yaa, amin." ucapnya mengakhiri doa setelah menunaikan ibadah sholat Ashar. Tentu saja saya yang berada di belakang tak jauh darinya, sangat mendengar sebaris doa itu walau suaranya setengah berbisik. Tak pelak lagi saya menahan tawa. Kemudian saya bertanya, seraya ia melipat sajadahnya. "Tadi Ryan berdoa apa? Kok cepet banget?" tanya saya. "Oh Ryan berdoa, Ya Allah doaku seperti kemarin," jawabnya singkat dan tergesa-gesa meninggalkan rumah karena mendengar suara teman sebayanya memanggil namanya. "Tunggu, doa seperti kemarin itu seperti apa Yan?" tanya saya lebih lanjut. "Banyaaak Ma, pokoknya banyak. Kata Bu Guru, Allah itu Maha Mendengar dan Allah tidak pernah lupa. Jadi ya pasti ingatlah doa Ryan yang kemarin." Lalu anak itu sudah menghilang dari pandangan saya, membaur dengan suara budak-budak kecik seusia meneruskan permainannya.

Beberapa hari sebelumnya saya melihat Ryan, adiknya Ryo dan kakaknya Edo itu begitu lama sekali berdoa hingga saya berpikir, anak itu sedang berdoa atau tertidur?. Rupanya ia merangkum semua permintaannya dengan khusuk dan untuk hari-hari berikutnya, ia hanya cukup mengulang doanya dengan singkat dan praktis. Dan ia yakin bahwa Allah masih ingat doanya yang kemarin. Hmmmm....Ryan! 

Itulah sepenggal kenangan semasa sekolah dasar, kejadian tersebut saat ia masih duduk di SDN no 42 Jambi, dan meski sudah dikhitan usia 10 tahun tapi ia seperti anak taman kanak-kanak. Ada saja ulahnya dan tidak pernah bisa diam di rumah seperti kedua saudaranya si sulung Ryo dan si bungsu Edo Keduanya mungkin banyak memiliki persamaan yaitu gemar membaca dan main games, segala sesuatu dilakukan di dalam rumah. Sedang Ryan senang melakukan aktivitas di luar rumah. Anaknya periang, humoris, rada usil dan saya seringkali dipanggil ke sekolah karena keusilannya, namun dibalik itu terpancar jelas rasa sayang kepada keluarganya.

Kilas balik, Aryanto Rachmadi Putra, lahir di Jambi, Minggu 25 Oktober 1992 jam 12:35 wib. Ia lahir di RSB St.Theresia Jambi, rumah sakit khusus orang bersalin. Waktu itu saya dengan keluarga masih memliki satu putra, baru menetap tinggal di kota Jambi.
Dua bulan kemudian melahirkan anak kedua, sebelum melahirkan saya dan Ryo masih sempat jalan-jalan ke pasar dekat rumah sakit tsb, hingga perawatnya kebingungan kemana pasien kamar 03. Mungkin bawaan jabang bayi yang tidak pernah bisa diam, hingga besar anak itu suka sekali mengukur ruang jalan raya beraspal.

Ryan, memiliki sepasang mata yang indah dengan bola matanya yang bulat, bulu mata yang lentik, kelopak matanya yang kedalam, dagu bak lebah menggantung dan kulit yang putih, serta rambut yang kriwil-kriwil mirip sekali dengan bayi India.
Mungkin kebetulan saja selama proses mengandung saya yang anti film Bombay malah jadi maniak, mungkin itu yang dinamakan mengidam. Ryan satu-satunya anak saya yang anti minum susu kaleng, ia anak ASI. Hingga mendapat juara ke empat lomba balita sehat yang diadakan oleh PT.Telkom di Jambi, berhadiah boneka kelinci.

Ryan balita cenderung pendiam, ia asyik dengan kebiasaan ngempeng kedua jari telunjuk dan jari tengahnya. Rasa nikmat yang ditimbulkan kedua jemari tangan kirinya itu akhirnya bisa teratasi dengan sebuah lagu anak-anak waktu itu berjudul, "Bertelur Lagi Burungku."
Sejak menginjak taman kanak-kanak, saya melihat banyak perubahan pada dirinya. Anak pendiam itu ternyata memiliki otak yang cerdas dan rada usil. Yang saya ingat waktu itu ia sekolah di TK Adhyaksa Jambi kelas TK-B, saya daftarkan ikut mobil antar jemput. Beberapa kali saya dibuatnya cemas, lantaran ibu Ida si Driver antar jemput, kehilangan jejak Ryan, setiap beliau telat menjemput.
tomatis saya dengan menggendong si kecil Edo, mencari ke sana-sini. waktu itu belum jamannya handphone.
Di tengah kecemasan ia datang dengan senyum-senyum membawa layangan. Dengan entengnya menjawab pertanyaan saya tanpa pandangan mata bersalah. Bola matanya yang bulat berpijar, dan senyumnya melunturkan amarah saya. Akhirnya saya putuskan berhenti langganan antar jemput. Dan sejak itu saya dengan adiknya setiap hari ikutan sekolah.
Setiap ada perayan ulang tahun temannya, ia bertanya, "Kenapa selalu ada kue tartnya,Ma?" Saya menjelaskan dengan singkat.

Ia ingin bila berulang tahun nanti, tidak usah ada kue tart tetapi ingin memiliki ayam yang banyak, kelinci dan burung dara. Setiap hari yang dibicarakan adalah hewan ternak. Rupanya dongeng sebelum tidur siang dan tidur malam tentang dunia peternakan itu telah terekam dalam otaknya. Hingga ia bercita-cita ingin memiliki peternakan yang ada sapi, kambing,ayam hingga jerapa. Jerapa? Ya seekor Jerapa, karena di halaman belakang rumah banyak rumput. Ia mulai berimajinasi, memindahkan dongeng itu ke dalam otaknya.

Suatu hari dalam angkot L-3oo jurusan Sipin, Ryan kecil bertanya, "Kapan Ryan ulang tahun, Ma?" Saya paham benar sebentar lagi pertanyaan itu akan keluar dari bibirnya yang mungil. Hingga jawaban saya sempat membuat orang-orang yang mendengar obrolan kami pada tertawa. "Ryan nggak jadi beli jerapa. Jerapanya ganti sama kuda zebra boleh, Ma? Oh, ganti lagi sama King Kong, boleh Ma?" "Hmmm...gimana kalau Ryan ulang tahun pindah aja di kebun binatang,mau?" jawab saya sekenanya. Di luar dugaan ternyata anak ini mau sekali dan sejak itu ingin ke kebun binatang yang ada King - King-nya. Namanya juga anak-anak susah dibujuk. Kebun binatang di Jambi, tak bisa menghiburnya. Akhirnya saya belikan mainan King-Kong menemani mainan yang menjadi favoritnya yaitu mobil truk.


Ryan hadir dengan segala keunikannya, dimulai dari bidang dadanya yang seperti paruh burung sempat mendapat perawatan dokter specialis anak-anak namun dinyatakan normal, amin. Setelah duduk di kelas lima keusilan tangannya pun beralih hingga papan sekat pembatas kelas pun roboh akibat ulahnya. Saya melihat anak itu cenderung memainkan kedua tangannya pada galon aqua yang kosong dengan bernyanyi-nyanyi, akhirnya saya memasukkannya pada les drumer di Yamaha Jambi. Dan sempat mengikuti konser musik yang diadakan tempat berlatihnya itu setiap tahunnya. Setelah tiga tahun, akhirnya mereka jalan sendiri-sendiri dengan beberapa teman sekolahnya membentuk band kecil-lecilan. Sayang hobby musiknya beralih perhatiannya ke burung merpati balap. Beberapa buku tentang merpati balap mulai ditekuni. Memilki piarahan burung merpati sempat membuat para tetangga agak mengeluh, hingga akhirnya kami memutuskan tidak memelihara lagi bersamaan merebaknya kasus flu burung. Seraut wajah sedih menghias mimiknya. Kejadian itu adalah proses adaptasi tinggal.

Perpindahan tempat antar provinsi dari Jambi ke Jakarta, dikarenakan mutasi kerja suami. Hingga kami memutuskan tinggal dan menetap di kota hujan yang kini menjadi kota sejuta angkot Bogor. Telah membawa banyak perubahan gaya hidup anak saya itu. Di sinilah pertualangan sebenarnya telah dimulai. Adaptasi sebagai anak daerah menjadi anak kota besar, hampir saja membuat anak-anak saya tidak percaya diri. Alhamdulillah, saya masih dibeli kekuatan membimbing, mengarahkan dan mendidik mereka bertiga, walau jalan menuju itu tidak mudah. 2005-2007 adalah cobaan terberat menurut saya, dimana kenakalan remaja hampir menjadi momok keseharian saya.

Ryan anak baru itu berganti nama Si Joe Sempur tiba-tiba menguasai daerah sekitar sekolah menengah pertamanya itu. Tak ada yang mengenal namanya Aryanto atau Ryan, namun menyebutkan nama si Joe, semua anak berseragam biru putih itu pasti mengetahui keberadaannya, dengan mudah saya pun menemukan tempat persembunyiannya berdasarkan feeling seorang Ibu. Menurut saya kenakalan yang dibuatnya adalah masih sebatas kewajaran membolos pada jam mata pelajaran tertentu dengan bersembuyi di kamar mandi sekolah. Yang membuat jantung saya semakin cepat berdetak, saat ia bercerita tentang tawuran pelajar. Walau ia tidak terlibat namun setiap ceritanya selalu mengerikan, hingga saya secara naluri seorang Ibu, sering berkonsultasi dengan para pengajar juga wali kelas hingga Ryan duduk di bangku terakhir sekolah menengah atas.

Bukan Ryan atau si Joe kalau dalam sehari tidak membuat ulah. Hingga suatu hari saya sedih merasa capai sekali ada-ada saja ulahnya yang harus berhadapan dengan pihak sekolah.Saat itu saya menangis, mungkin melihat saya menangis ia pun ikut menitikkan air mata dan memeluk saya, "Iya Ma, Ryan janji nggak nakal lagi." Beberapa hari ada perubahan ia mulai rajin bermunajah lebih-lebih jelang akhir tugasnya menjadi siswa pelajar. Lalu saya memancing apakah doanya masih seperti yang kemarin? Ia tertawa lalu mencium saya dan pergi seperti merpati melesat di udara.

Masa-masa sulit setiap hari, setiap minggu, bulan dan tahun baru dilalui. Ia telah melepas atribut seragam putih abu-abunya. Ia telah meletakkan jabatannya sebagai siswa pelajar SMA Plus YPHB. Di mana sekolah swasta itu menjadi pilihan saya agar Ryan mengenal disiplin lebih paham untuk bekal selepas SMA. Walau Ryan sebenarnya diterima di sekolah negeri, namun saya tetap bertahan demi kebaikan anak saya.Saya merasa berterima kasih pada para guru pengajar yang sering menghukumnya dengan membaca Al-Qur'an sebagi "hukuman" bila terlambat hadir masuk sekolah. Setidaknya setiap juz itu telah dilafazdkan mengarahkan kebaikan untuk masa mendatang.

Kini dalam obrolan lewat udara, ia bercerita rindu dikejar guru karena tidak membuat pekerjaan rumah, ia rindu di hukum bila telat hadir, ia rindu mendengar omelan para guru bila siswa tidak mematuhi peraturan sekolah termasuk urusan knalpot motor. Ia rindu teriakan mamanya, "Ayoooo...muleeeeee". Ia rindu masa-masa yang dulu amat segera berakhir dan merasakan ingin menjadi mahasiswa.

Yang jelas saya mengetahui bahwa dari ketiga anak saya mereka masing-masing memilki karakter sendiri dan menjadi warna hidup. Saya tidak pernah merasa anak-anak adalah beban dengna kenakalannya, itulah hikmah memahami mereka dan ladang menggali imajinasi menciptakan cerita pendek dari pengalaman mereka mewakili sosok remaja sekarang. Dan yang saya tahu ia telah menuliskan ini pada dinding fesbuk saya :

mama..mama..mama..!!!!
foto profilnya cuantik buanget hhehehhe...
mama aku mintaa kirimin baju kemeja yg papa sama baju yg SWAT,
soale kurang baju buat kuliah sama switer yg baru tulisanya 234'SC'
sama spion satria aslinya..okee ??
makasih yaaa mama,
ryan sayang mama hehehehheh
Sabtu, 09 Oktober 2010 jam 23:38

Anak kecil yang suka mengempeng jemarinya itu kini telah menjadi mahasisswa baru sebuah fakultas Otomotif di Universitas Negeri Yogyakarta 2010-2011 dan tinggal satu tempat kos dengan kakaknya seorang mahasiswa fakultas Teknik Kimia, Universitas Gajah Mada semesrter 7. Dan kini berusia delapan belas tahun ditemani pula motor kesayangannya baru menikmati hidup lepas dari pantauan orang tua. Semoga anak kecil itu yang enggan membaca kalimat-kalimat panjang, kali ini mau membaca catatan ini, bisa memutar kembali memori lama. Begitu banyak cerita-cerita mengisi hari-harinya selama ini diberi Allah, dan mensyukuri nikmat dengan lebih banyak beribadah dan memperpanjang doanya, "Ya Allah, doaku seperti kemarin," menjadi catatan indah.

Dan hingga detik ini saya tidak pernah mengetahui apa saja dalam doanya itu. Pastinya doa adalah untuk kebaikan dirinya sendiri dan kedua orang tuanya, amin ya rabbal alamin. Terima kasih buat teman-teman Ryan dari SD-SMA, juga para guru pengajar yang kini tetap menjalin tali silaturahmi lewat pertemanan fesbuker. Jazakumullahu Kahiran Katsiro.

Buat Ryan :
"SELAMAT ULANG TAHUN Ke 18"
PF : 25 Oktober 1992 - 2010  
Semoga menjadi anak yang sholeh, menjadi yang terbaik untuk agama.keluarga dan ortu. Senantiasa dalam lindungan Allah swt. Keberhasilan masa depanmu ada di tanganmu sendiri.


Allumma innii as-aluka
As-salamatan wa shihhati wa a'afiyati
Fi addiina wa dunn wa al-akhirati

Yaa Allah sesungguhnya aku memohon keselamatan dan kesehatan dan ampunan di dalam urusan agama dan akhirat


Salam Kangen Selalu
mOthEr

Sabtu, 31 Juli 2010

Pelakon Seni


DIA SEORANG DEWI
by Arie Rachmawati on Saturday, July 31, 2010 at 5:53am


# Scene 1

Bermula dari pertemanan di facebook satu setengah tahun yang lalu, aku mengenal dia aktris perempuan salah satu dari idolaku saat remaja dulu. Namanya Dewi Irawan, anak ketiga dari lima bersaudara, putri pertama seorang aktor kawakan almarhum bapak Bambang Irawan dan ibu Adek Irawan.
Dewi Irawan bernama Saraswati Dewi, lahir 13 Juni 1963, dia seorang perempuan yang ramah. Awal jumpa di facebook, aku rada takut menyapanya. Ternyata segala ketakutan itu akhirnya aku tepis karena ia idolaku itu ternyata ramah lahir dan batin. Terbukti setelah melewati kurun waktu menjalin pertemanan dengannya sebagai tempat berbagi cerita. Dengannya, banyak kecocokan di antara kami berdua, dari sekedar sharing film-film Indonesia, masalah anak hingga pembahasan agama. All In. Lebih-lebih ia tak menganggap diriku sekedar fans dan ia tak pernah menganggap dirinya seorang selebritis atau aktris top.

Pasangan suami istri yang mengabdikan hidupnya di dunia peran/layar lebar adalah Bapak (alm) Bambang Irawan dan Ibu Ade Irawan yang mempunyai nama asli Ade Arzia Dahar, melahirkan lima putra - putri antara lain :

1.Bambang Ari Satrya ( Ary)
2.Bambang Widya Permadi (Adi)
3.Saraswati Dewi (Dewi)
4.Sinta Savitri ( Atrie)
5.Chandra Ariati Dewi (Ria)


Kelahiran Dewi Irawan waktu itu bersamaan ayahnya mendirikan PT AGORA (Arena Gotong Royong Artis) Film. Ibu Adek Irawan juga dikenal selain sebagai aktris dan penulis skenario. Dua kakak Dewi, laki-laki, salah satu di antaranya, Adi Bambang Irawan, juga pernah muncul dalam beberapa film. Beberapa film anak-anak yang sempat aku tonton, namun bagiku peran Ria Irawan yang berkesan adalah membintangi film musikal ala Sound Of Music-nya Indonesia yaitu film Nakalnya Anak-Anak. Ria Irawan bermain bersama Dina Mariana,Ira Maya Sopha, alm. Ryan Hidayat dan Kiki Amalia. Ria yang manis dan lincah selain dikenal sebagai pemain film juga seorang foto model dan peragawati. Yang aku ingat waktu masih sekolah dasar berlangganan majalah anak-anak Ananda, Ria sempat menjadi cover-nya.

Ia bercerita di mana saat kelahirannya itu ada kaitannya dengan lambang/logo PT AGORA yaitu patung Dewi Saraswatii digambarkan sebagai sosok wanita cantik, dengan kulit halus dan bersih, merupakan perlambang bahwa ilmu pengetahuan suci akan memberikan keindahan dalam diri. Mungkin demikian pula harapan orang tua Dewi Irawan terhadap putri pertamanya itu.

Untuk menjadi sesuatu nama yang berbeda dari biasanya maka dinamai Saraswati Dewi, begitu tuturnya yang kupanggil Yudew, adalah kepanjangan dari mbakyu Dewi. Cerita itu mengalir pada suatu obrolan pagi pada suatu hari yang disela-sela syuting sinetron Senggol Bacok di Cisarua, Bogor.

Peran pertamanya dalam film" Belas Kasih" 1973. Film ini, hasil produksi rumah film milik PT.AGORA. Di mana sang Ayah menjadi sutradara sekaligus produser, sang Ibu sebagai penulis skenario. Dewi sudah menunjukkan bakatnya saat berusia 10 tahun.


# Scene 2
Obrolan pun merambah pada aktingnya yang sempat diacungi jempol untuk peran di film "Titian Serambut Dibelah Tujuh". Pada Festival Film Indonesia 1983 itu, nama Dewi Irawan disebut sebagai pemain yang boleh diperhitungkan aktingnya di kancah perfilman Indonesia saat itu yang berlangsung di Medan.
Aku teringat majalah jadul yang masih kusimpan, sebagai bukti bahwa Dewi Irawan itu pujaanku.

Film Titian Serambut Dibelah Tujuh

Sutradara : Chaerul Umam
Pemain : Soekarno M.Noor ~ Rachmat Hidayat ~ El Manik ~ Dewi Irawan
Penulis Skenario : Asrul Sani
Penata Musik : Franky Raden
Penata Artistik :
Penata Suara :


Tema ceritanya mirip dengan film Al-Kausar, yang digarap oleh sutradara yang sama.
Keunikannya,menolong film ini menjadi penting untuk dibicarakan. Tata artsistik, hadir dan langsung memberikan gambaran tentang setting cerita. Semuanya barangkali sudah tersedia, tapi bagaimana memilihnya - itu yang pantas dipujikan.
Kamera, dengan kuat memanfaatkan setiap sudut dan menjadi penambahan kekuatan film ini.

Tata musik (Franky Raden), unik dan menyatu. Ia tidak hanya sekadar menghadirkan bunyi-bunyi lokal, tapi nampak ada tafsir yang mendalam dengan berdasarkan pada kebutuhan cerita. Kekuatan sutradara, terasa pada keberaniannya mengadakan non dubb (tanpa suara) pada adegan pemasungan. Juga pengaturan bloking pada adegan-adegan sulit (pengeroyokan Ibrahim, pengeroyokan Arsad, pemasungan Hailmah)
Tata suara ikut membantu dramatisasinya (bayi menangis ketika Arsad-sang ayah-sekarat).

Inilah sebuah drama yang bermula dari fitnahan terhadap seorang gadis bernama Halimah yang diperankan oleh Dewi Irawan. Ia dituduh berzina, kemudian dipasung karena dianggap gila.
Majalah Zaman,21 Mei 1983 hal.25)
Majalah Zaman,21 Mei 1883 (hal.26)


Ini juga cerita tentang seorang guru muda diperankan oleh El-Manik yang datang ke suatu desa 'sarang maksiat' dan dikuasai oleh seorang jagoan diperankan oleh Soekarno M.Noor. Juga tentang seorang guru mengaji yang korup diperankan oleh Rachmat Hidayat Seharusnya El Manik dan Soultan Saladin bisa diharapakan. Tapi El Manik sukar hadir dalam beberapa agle. Ia baru bagus pada shot-shot pendek (medium,close up). Sedang Saladin, tak menghadirkan sesuatu yang baru. Ia malah bagus dalam film Al-Kautsar. Soekarno M.Noor dan Rachmat Hidayat, bermain bagus dan maksimal.

*Note : Data dari majalah Zaman,21 Mei 1983*

#Scene 3

Masih sekitar FFI'83 yang berlangsung di Medan. Beberapa film besutan para sutradara papan atas negeri ini bersaing memperebutan PIALA CITRA. Kecuali Arifin C. Noor, sutradara kawakan dan sutradara muda saling bertarung mereka antara lain :

1. Syuman Jaya - RA. Kartini

2. Ami Priono - Roro Mendut

3. Wim Umboh - Perkawinan'83

4. Teguh Karya - Di Balik Kelambu

5. Chaerul Umam _ Titian Serambut Dibelah Tujuh

6. Frank Rorimpabdey - Jejak-Jejak Wolter Mongisidi

7. Hengky Solaiman - Neraca Kasih

8. Mardali Syarif - Mereka Memang Ada

9. Sophan Sophiaan - Bunga-Bunga Bangsa.

10. B.Z.Kadaryono - Pak Sakerah

11. Pietjaya Burnama - Musang Berjanggut

12. Bobby Sandy - Amalia SH

13. Abrar Siregar - Sorta

Dan ada beberapa sutradara yang pernah menjadi unggulan pada festival yang lalu kali ini absen, mereka adalah Slamet Rahardjo, edward Pesta Sirait dan Ismail Subarjo. Dari banyaknya film yang saat itu berlangsung, aku menyempatkan diri menonton antara lain : Neraca Kasih, Perkawinan'83, Bunga-Bunga Bangsa,R.A. Kartini dan Di Balik Kelambu, selain Titian Serambut Dibelah Tujuh tak luput jadwal hadir di gedung bioskop yang pemiliknya adalah sahabat orang tuaku.

#Scene 4

Saraswati Dewi hingga kini masih aktif menantang semua peran. Darah seni itu benar-benar mengalir keseluruh tubuhnya. Beberapa perannya yang aku ingat justru pada filam Kembang Semusim arahan sutradara MT.Risyaf. Peran Dewi menjadi seorang gadis berandalan yang suka ngebut, pesta disko. Itulah Dewi yang selalu bermain dengan peran berbeda pada setiap lakonnya. Salah satu kutipan dari majalah tsb adalah " Saya ingin peran yang lebih menantang. Saya tidak mau digelari karena memerankan peran-peran yang itu-itu saja," katanya.
Majalah Zaman,21 Mei 1983 (hal.24)

Saat memerankan Halimah itu, perannya sempat disebut oleh pengamat film sebagai calon nominasi 'yang terbaik' dalam FFI'83. Saingan Dewi sangat berat yaitu Christine Hakim ( Di balik Kelambu) dan Widyawati (Amalia SH). Tapi bagi Dewi peran dan akting adalah pekerjaannya, film atau sinematografi adalaha ladangnya. Hingga kini masih eksis berperan. Salah satu dari sekian film Dewi Irawan saat ini yang sempat aku menontonnya aktingnya saat memerankan mama-nya Siska dalam film " Badai Pasti Berlalu" mengulang kesuksesan film dengan judul sama di tahun 1977. Film garapan Teguh Karya itu diolah ulang oleh sutradara muda Teddy Soeriaatmadja, scene saat kini.

#Scene 5

Dewi Irawan akhir-akhir ini enjoy menjadi ibu dalam setiap perannya. Dalam kehidupan nyata pun, Yudew pun seorang ibu daru putra-putrinya buah kasih pernikahannya dengan Luca F Marini, buah hatinya yang memiliki wajah cantik dan ganteng adalah Ray Emyr
Marini dan Dea nama kesayangan dari Shadira Arzya. Bersyukur sekali akhirnya aku bertemu ibu dan putrinya yang cantik itu. Bahkan sempat melakukan ibadah bersama pada suatu mushola di basement Citos.

Bagiku mengenal sosoknya adalah anugrah, ia seperti bukan seorang selebritis dengan pernak-pernikglamour namun dengan balutan blus putih tulang, tak lepas kacamata minusnya asyik menyantap hidangan dim sum, bahkan kami berdua rebutan lalapan kailan bertabur irisan bawang putih. Sesekali melanjut obrolan, ia bercerita saat meninggalkan tanah air beta sekitar tahun 1992 dan selama hampir dua belas tahun menetap di Italy, akhirnya tahun Juli 2004 kembali ke Indonesia tercinta dan memulai kembali berakting melalui layar sinetron lewat serial televisi swasta yang waktu itu boming cerita religie.

Di antara diskografi film-film yang pernah dilakoni hanya beberapa yang diingatnya. Di antaranya aku remaja dulu juga menikmati aktingnya sebut saja Guruku Cantik Sekali, waktu itu dengan Lidya Kandau. Kembang Semusim bersama Marissa Haque. Sedang dalam Sekuntum Duri adu akting dengan aktor ganteng Herman Felani. Ah, kembali membuka cerita lama tentang film-film jadul membuat memoriku kembali mengoprak-oprek daya ingat. Asyiiknya seakan waktu berputar ke masa jayanya perfilman Indonesia membumi dengan karya-karya kreativitas para pelakon seni untuk memperebutkan sebuah PIALA CITRA. Obrolan berahir dengan satu pertanyaan padanya, "Mbak, jadi sekarang Piala Citra itu kemana ya?"

Terima kasih banyak buat mbak Sarawati Dewi Irawan atas waktunya obrolan tak pernah ada jeda selalu bersambung lewat sms. Terima kasih atas lunch nya juga senyum ramahnya Dea. Semoga gadismu bisa menggantikan dirimu sebagai seorang DEWI penerus generasi perfilman dari keluarga besar alm Bambang Irawan dan Ibu Adek Irawan.
NB : Ternyata pertanyaan saya telah terjawab semalam Sabtu, 10 Desember 2011, saat pengumuman Piala Citra Festival Film Indonesia 2011 dan syukur Alahamdulillah beliau "Dia Sang Dewi" meraih piala sebagai pemeran pendukung wanita terbaik di film Sang Penari, menyisihkan 4 pelakon seni muda lainnya. Dewi Irawan telah menunjukkan janji pada dirinya karena setia menjalani peran seni (akting) baik di dunia layar kaca atau pun layar lebar. Congratulation My Dewi...

Salam,
arie rachmawati

Sabtu, 24 Juli 2010

Cerita Di Koridor Busway Blok M


Cerita Di Koridor Busway Blok M
Oleh Arie Rachmawati
Senja sore berlabuh di ujung kaki langit, aku masih dalam busway menuju Blok M. Macet adalah kenikmatan yang tak didapat di kota lain menurutku bagian dari pernak-pernik Jakarta. Gerimis pun ikut menemani perjalananku menuju tempat "Komunitas Pencinta Musik Indonesi" di Langsat Corner. Waktu itu Jum'at kedua di bulan ketujuh 2010. Saat melintas di koridor Busway Blok M, sorot mataku tertuju pada suatu pemandangan yang tak lazim. Lalu aku mendekatinya. Tangan kananku mencari selembar rupiah untuk berpindah tangan. Aku perhatikan sebelum memberi shodakoh itu, ada seorang ibu berjilbab yang amat peduli dengan laki-laki muda yang mempunyai kaki kanan yang aneh.

Akhirnya aku membaur dengan ibu tadi dan kami berniat ingin membantu ala kadarnya. Mengingat aku selalu berbekal pocket camera, aku membidik beberapa sudut kakinya yang aneh itu. Semula ybs tidak memberi izin karena malu dan akan meluas hingga terdengar di kampungnya yang jauh di pulau Sumatra itu.

Namanya Agus, 22 tahun. Keanehan itu sudah dirasa sejak balita. Bertambah usia maka pertambah pula membesarnya jejemari kaki kanannya. Sekarang ia tinggal di Depok bersama kakaknya. Hidupnya sehari-hari bukan semata mencari belas kasih pejalan kaki yang melintas di koridor busway Blom M. Ia melakukan aktifitas berbagai macam kerja serabutan asal halal dan bisa ditukar dengan rupiah untuk sesuap nasi.

Bila senja telah meluruh ia akan duduk menepi di didinding koridor dengan menatap kakinya yang kian hari kian membesar. Kawan, kalian yang peduli mungkin saat melintas koridor itu bisa memindahkan rupiahmu untuknya. Atau kalian ada ide untuk berbagi?

Saat ini aku dan ibu itu yang sehati berniat menolong dengan langkah awal membawa foto ini untuk ditunjuk kepada pihak kantonya tempat ibu itu bekerja di Departemen Kesehatan, sedang aku hanya bisa menulis cerita singkatnya melalui notes facebook-ku ini, mengetuk hati kalian. Langkah selanjutnya belum aku pikirkan karena saat ini sudah dua minggu berlalu kontak kami terputus dengan ibu yang baik hati itu.

Mungkin melalui tangan-tangan kita yang telah ditunjuk oleh-Nya, Agus pemuda tanpa memiliki asa itu akan meraih masa depannya. Kita hanya hamba Allah yang sedikit terketuk. semoga notesku kali ini membuat kita semakin kaya batiniah dengan kebaikan-kebaikan sebagai pundi-pundi amal bekal nanti di akhirat.

Mari kita peduli...

Terima Kasih
Arie Rachmawati

Note : Setelah tayangan tulisan ini di fesbuk pada tanggal 24 Juli 2010 jam 19:09
Banyak para teman yang peduli tetapi saya hilang kontak dengan ybs, semoga ybs sudah mendapat kepedulian dari orang-orang yang care, amin yra.

Selasa, 15 Juni 2010

SYMPHONY BAND


foto koleksi SYMPHONY


Edisi Khusus "SYMPHONY 1st Anniversary"
by Arie Rachmawati on Sunday, June 13, 2010 at 7:58pm
SYMPHONY UNTUK MUSIK INDONESIA
Oleh : Arie Rachmawati


Sebuah Undangan dari Oscar Adam lewat facebook, aku terima untuk hadir mengikuti sebuah taping acara. Terperanjat juga saat membaca undangan itu, SYMPHONY ber- REUNI. Reuni? Benarkah SYMPHONY masih ada?

Acara : Fariz RM & Symphony Reunion for Zona 80
"one nite only!"
Jenis : Performance
Penyelenggara: Fariz RM
Waktu Mulai : 14 Juni 2009 jam 19:00
Waktu Selesai : 14 Juni 2009 jam 22:00
Lokasi : MetroTV Studio

Tony Wenas - Fariz RM - Jimmy Paais -
Herman "Gelly" Effendi - Ekki Soekarno


Dua puluh tiga tahun berlalu setelah album ketiga berjudul N.O.R.M.A.L, mereka tak terdengar lagi gaung-nya, seakan bumi menelannya hidup-hidup. Kini SYMPHONY kembali disebut para undangan yang hadir di lobby Metro TV, menjadi buah bibir bagi sekelompok komunitas di setiap sudut ruangan. Mereka seperti bereuni, ya ini reuni yang berbeda, sebuah reuni "SYMPHONY UNTUK MUSIK INDONESIA"

Kemudian langkah-langkah para penikmat musik sehati itu digiring pada ruang studio di lantai kedua. Ruangan dengan setting alat-alat musik memadati panggung. Stage ditata sedemikian nyaman agar para musisi itu kembali menemukan dunia mudanya saat bermain musik.
Keempat personel SYMPHONY yang telah lama meninggalkan dunia musik yang sempat membesarkan nama-nama : Jimmy Paais,Ekki Soekarno Tony Wenas dan Herman "Gelly" Effendi, karena aktivitas masing-masing, kini disatukan kembali dalam acara Zona'80 itu. Kecuali Fariz RM yang masih eksis dan totalitas berkarya pada jalur musik.

Setting untuk para penonton pun tak kalah rapi dan padat merapat.Barisan kursi itu membentuk huruf 'V'. Dua barisan terdepan sudah dipesan oleh pihak panitia, dan aku mendapat di urutan ketiga dekat dengan drum berwarna keemasan pada stage kanan. Pandangan mata menyapu seluruh penjuru ruangan.
Ida Ari Murti
Audience dengan tertib mengikuti arahan pangarah acara.Tak lama kemudian dari sisi sebelah kiriku muncul barisan pertama adalah Fariz RM disusul Jimmy Paais,Tony Wenas,Ekki Soekarno dan Herman "Gelly" Effendi. Mereka menempati posisinya masing-masing dengan alat musiknya, seperti seorang Ksatria dengan alat perangnya.Lalu Fariz RM bercakap kata menyapa, audience untuk berinteraksi, disusul semua personel di stage, mengucapkan "Selamat Malam Semuanya."

Beberapa menit dipergunakan untuk testing & check sound masing-masing alat musik,sedang si mas Pengarah Acara menunggu kedatangan dua presenter acara Zona'80 yaitu Sys NS dan
Ida Arimurti. Dua presenter itu adalah mantan penyiar idola di Radio Pambors, Jakarta - tempat anak muda mangkal saat itu. Ida Arimurti dengan senyum manisnya hadir dengan gerai rambut sebahu dan berponi, mengingatkan gaya rambut pernah trend sekitar '80-an. Gaun putih bermotif sulaman bunga bertebaran menambah keanggunannya.

Sedang Sys NS datang agak tergopoh memasuki studio dan segera mengambil posisi. Bapak satu ini mengenakan t-shirt hijau teduh dan bercelana putih kian terlihat muda. Wajah familiar-nya itu menjadi kelengkapan acara Zona'80 siap beraksi.

Suasana hening, kemudian terdengar aba-aba dari Ekki 1..2..3.. (ya!) satu gebukan dari si tampan suami dari seorang peragawati '80an Soraya Haque itu begitu bersemangat dan energik menarikan dua stick drum. Wajahnya masih tetap cakep dan memikat walau bapak ini sudah memiliki putra-putri beranjak remaja,dan usia telah merambahnya. Ekki mantap dengan intro pembuka ASTORIA.

Kretaaak..kretaak perkusi-Ekki, disusul keyboards-Gelly dan Tony mewakili sound sirine/the source di antara sentuhan synthesizer, lalu masuk petikan lead guitar-Jimmy beriringan dengan besitan bass Fariz. Maka bersorak-sorailah audience namun hanya terwakili dengan sorotan mata gembira, karena proses taping dimulai, tanda "Recording" merah menyala.


ASTORIA
Symphony
foto koleksi arie rachmawati
Album
Trapesium, 1982
Composer/Arranger/Musician
Fariz Roestam Munaf, Jimmy Paais,
Herman Gelly Effendi, Ekki Soekarno.
Producers
Akurama Records & Symphony


Ku berdiri disana, gemerlap lilin menyapa
Suasananya bagaikan pesta kalangan mewah
Sebuah meja tiada terisi, disitulah ku berharap menyepi
Menikmati lingkungan manusia yang bergaya

Ku langkahkan kaki menuju tempat di sudut itu
Ada sepasang mata yang mengikuti arah pintu
Dia menatap ku dalam gaya anggunnya yang dulu
Ku datangi gadis itu dan duduk di kursi biru

Pelayan menghampiri sisi meja tempat ku
Sehelai daftar menu menunjuk pesanan ku
Niat pinta ku kau pun telah tahu
Segelas anggur murni abad lalu sentuhan sisa tahun 1060

Ku layangkan pandangan mengitari sekelilingku
Berbagai rupa yang datang menguji penampilannya
Bagai semacam kontes busana yang menyolok mata
Betapa tingginya kadar kehidupan yang kujumpa

“Grand Premiere” terlukis untuk malam nanti
Terletak di tiap sudut publikasi
Semarak suasana kehidupan di Astoria

Ole sio nona rasa sayang jangan pulang
Sio nona manise pancuri hati beta
Dengar lagu berdansa orang pung suka suka
Beramai-ramai di Astoria.. Astoria.. Astoria

Teringat waktu yang lalu saat kujumpa dirimu
Masih ada yang tertinggal di sudut yang tak ku tahu
Tiada sengaja ku rapatkan wajah dan berpadu
Hangatnya bagaikan segelas anggur yang telah ku tunggu

Pelayan menghampiri namun (ku) tiada perduli
Pesanan yang ku tunggu mengusik hasrat kalbu
“Les cruisses de grand au illes” ada disitu, sebuah nama yang tiada ku ragu
Persilakan dirimu menikmati pertama

Ceria musik berlagu mengiring santap malam ku
Duduk berdamping keharuman parfum Paris milik mu
Kan ku jelang keindahan dan hangatnya malam nanti
Berlalu membagi impian kehidupan insani

“Rock Wine” pun beraksi hangat dalam diri
Melengkapi syarat untuk malam nanti
Menjalin rahasia peristiwa di Astoria

Ole sio nona rasa sayang jangan pulang
Sio nona manise pancuri hati beta
Dengar lagu berdansa katorang baku rapat
Beramai-ramai di Astoria.. Astoria.. Astoria

Ole sio nona rasa sayang jangan pulang
Sio nona manise pancuri hati beta
Dengar lagu berdansa orang pung suka suka
Beramai-ramai di Astoria.. Astoria.. Astoria


Symphony
Fariz Roestam Munaf (Bass, Vocal) Jimmy Paais (Guitar, Vocoder, Vocal)
Herman Gelly Effendi (Keyboard, Piano, Vocal) Ekki Soekarno (Drum, Percussion, Vocal)
©1982 akurama records-symphony

Semarak suasana dan riuhnya ASTORIA masih menggema di penjuru studio dihujani tepukan tangan bersemangat para audience. Lantai studio pun serasa gemeretak kaki-kaki orang berdansa penuh ceria. Satu lagu pembuka yang menghentak, menghangkatkan suasana studio yang mulai melawan suhu dingin AC. Dalam satu tarikan nafas lega yang hadir memenuhi studio itu.
Jeda memberi kesempatan Sys NS dan Ida Arimurti menyapa SYMPHONY dan audience. dengan sapaan khas : "Zona'80 ...Masih Ada" "Masih Ada," saut audience serempak. Dua presenter beken itu memperkenalkan masing-masing personel.

SYMPHONY

Jimmy Paais - gitar\vocoder

Ekki Soekarno - drum\b-vox\perkusi

Fariz Roestam Moenaf - bass\the stick\vocal

Tony Wenas - piano\keyboard\vocal

Herman'Gelly"Effendi - keyboard\piano\the source\vocal


Malam itu Sys NS menyapa sang vocalis Faiz lebih akrab dipanggil si Bule dikalangan kerabat dekatnya, kembali bercerita proses terbentuknya Reuni Symphony itu. Mencari waktu yang pas untuk kelimanya bisa berkumpul, seperti saat muda dahulu, adalah hal tak mudah. Walau mereka tinggal satu lokasi di Bintaro. Lebih-lebih beberapa hari sebelum jadwal taping itu, Jimmy Paais sempat dalam perawatan rawat inap. Nampak Jimmy Paais memberi senyum ramahnya kepada audience,disusul cerita-cerita kecil yang menyemarakan proses latihan. Si Bule Faiz itu juga menceritakan telah memesan kacamata khusus untuk melihat tulisan jarak jauh. "Maklum bos..umur..umur," ujarnya berkelakar.

Herman Gelly
Cerita bergulir ketika Ekki Soekarno mulai merasakan pegal-pegal sekujur tubuhnya karena terlalu kelamaan tak menabuh drum. Senyum Ekki merebak. Kostum casual tanpa meninggalkan khas rocknya (lengkap assesoris kalung rantai) lebih terlihat sumringah. Sedang Tony Wenas yang malam itu masih terlihat awet muda berwajah baby face, dibalut jaket kulit hitam dan senyum mengembang menyapa semua yang hadir. Ramah sekali bapak Bos itu. Giliran terakhir yang kebetulan posisinya di sebelah kiri stage agak menjorok kedalam, lengkap dengan 2 set keyboards, alat musik koleksi pribadinya dan sengaja diboyong,pria berparas ganteng itu adalah Herman "Gelly" Effendi dengan kacamata minus dan senyum irit dalam balutan jas semi tuxedo, terlihat paling kalem.

Mereka mulai kembali melanjut proses taping untuk lagu kedua adalah SIRKUS OPTIK DAN VIDEO GAME masih dari album perdana Trapesium. Cerita tentang berita-berita di televisi saat itu mirip sebuah permainan/video games dengan pelaku yang tertindas. Intro tak jauh berbeda dengan ASTORIA, seperti lengkingan peluru ke udara kemudian disusul gebrakan drum. Sedang Jimmy masih bergaya tenang dengan sesekali menebar senyum. Sorot matanya berbinar melihat antusias audience.

foto koleksi arie rachmawati
SIRKUS OPTIK DAN VIDEO GAME
Symphony
Album
Trapesium, 1982
Composer/Arranger/Musician
Fariz Roestam Munaf, Jimmy Paais,
Herman Gelly Effendi, Ekki Soekarno.
Producers
Akurama Records & Symphony

Korban cemo'oh dan ratap dusta menjadi pokok lembar berita..
Sorak-sorai massa yang mencerminkan tertekan nya jiwa..
Hasrat tak kuasa mendukung pahlawan tiada bernama
yang tak kan selama nya mengerti akan suasana..

Sadarkan dia dari kelaliman yang tiada terpuji
Buat apa kita jadi manusia yang tiada merdeka
Akan tercapai dibalik tirani bukanlah prestasi
Hanya sesumbar akrab membanggakan pinjaman semata..

Biarlah jerit mu menjadi saksi angkuh dan tegar melanda pribadi
Menjadikan darah mu perisai ambisi..

Tingkah-laku bagai mainan video game keluarga
Merebutkan kekuasaan 'tuk ambisi pribadi semata
Dijadikan nya tahta sebagai sirkus optik penuh pesona
Biarkan rakyat jelata menderita karena nya

Kemelut hidup saling mengisi layar tv berwarna
Dimana damai didalam nya tiada dapat kan kau jumpa
Akan tercapai dibalik tirani bukanlah prestasi
Hanya sesumbar akrab membanggakan pinjaman semata

Tuliskanlah ini dalam sejarah agar penerus tak lagi bersalah
Menjadikan ini semua wajar belaka..

Sadarkan dia dari kelaliman yang tiada terpuji
Buat apa kita jadi manusia yang tiada merdeka
Akan tercapai dibalik tirani bukanlah prestasi
Hanya sesumbar akrab membanggakan pinjaman semata..

Kemelut hidup saling mengisi layar tv berwarna,
Dimana damai didalam nya tiada dapat kan kau jumpa
Sadarkan dia dari kelaliman yang tiada terpuji
Hanya sesumbar akrab membanggakan pinjaman semata

Buat apa kita jadi manusia yang tiada merdeka
Dimana damai didalam nya tiada dapat kan kau jumpa
Akan tercapai dibalik tirani bukanlah prestasi
Hanya sesumbar akrab membanggakan pinjaman semata..


Symphony
Fariz Roestam Munaf (Bass, Vocal) Jimmy Paais (Guitar, Vocoder, Vocal)
Herman Gelly Effendi (Keyboard, Piano, Vocal) Ekki Soekarno (Drum, Percussion, Vocal)

©1982 akurama records-symphony

foto koleksi arie rachmawati
Plok..plok..plok..sebuah applause audience membuat SYMPHONY semakin hidup. Rehat lagi...break lagi, memberi kesempatan melanjut cerita sebelumnya. Sedang para kru tv mengubah setting panggung. Beberapa lilin menyala terletak di setiap sudut panggung mengganti lighting studio. Pancaran cahaya dari lilin itu menjadi suasana romantis seperti sebuah pertunjukkan di cafe yang temaram, dengam 4 kursi bar diboyong di atas panggung. Mereka berempat : Fariz,Tony,Ekki,Jimmy duduk sejajar masing-masing sambil memangku gitar akustik. Sedang Herman Gelly masih setia berada di depan keyboardsnya. Dialog dengan audience serasa tiada jarak. Akrab dan menyatu. Kali ini jam session dalam balutan un-plugged melantunkan MENGGAPAI BINTANG.

foto koleksi arie rachmawati
MENGGAPAI BINTANG
Symphony
Album
Normal, 1986
Composer/Arranger/Musician
Fariz Roestam Munaf, Jimmy Paais, Herman Gelly Effendi.
Producers
Union Artis & Symphony


Angin senja menyibakkan rambut mu
Terurai lembut mengusap airmata mu
Ku melangkah berjajaran dengan mu
Menuju tempat yang kan memisah kita

Temaram datang kini menggores kelabu di wajah mu
Tiada kata, tiada janji, tiada satu yang pasti kini

Hanya berjalan tak sanggup menatap langit
Bergandeng tangan mencoba menunda jalan nya waktu

Hari hari ku janjikan pada mu
Tak sadar lagi tentang tantangan dunia
Dua tahun berlalu dalam perjalanan cinta semu
Usai kini dan kau pergi menurunkan tirai ini

Selamat jalan.. pergilah tinggalkan semua
Terlanjur sudah menggores diangan-angan dan mimpi

Selamat jalan.. pergilah tinggalkan semua
Terlanjur sudah menggores diangan-angan
Mendekap lagi untuk yang terakhir kali
Dalam pelukan diri mu tak mungkin kugapai lagi

Untuk
Dewantarie


Symphony
Fariz Roestam Munaf (Bass, Drum, Vocal) Jimmy Paais (Guitar, Bass, Vocal)
Herman Gelly Effendi (Keyboard, Piano, Vocal)

©1986 union artis -symphony

Format aslinya di album N.O.R.M.A.L, lagu itu hanya dilantunkan oleh vocal Fariz RM. Namun perpaduan vocal Faiz dan Tony telah membuat yang hadir malam itu larut,terhanyut dalam suasana cerita yang tertuang dalam lagu itu. Lyrik lagu itu dahsyat...It's touching lebih indah dari aslinya.Tanpa terasa air mata-ku membuncah dan jatuh. Petikan gitar, keempat gitaris keren itu mengalun bersama dengan berpadunya dentingan harmonis berpadu orkestrasi keyboard dalam rangkaian sesi akustik.

Break...istirahat lagi, Faiz menenggak air mineral yang disediakan kru, nampak sekali rasa hausnya itu. Sambil menunggu taping berikutnya, suasana off-air di studio tetap "hangat", apalagi Tony menawari audience mau nambah lagu lagi? Ya tentu saja dengan serempak kami yang hadir mengiyakan.Beberapa kepalan tangan kosong menunjuk keatas tanda setuju. Tiga lagu spontan mengalir dalam format medley sebagai BONUS "hanya" bagi yang hadir di studio. Audience pun ikut bernyanyi mengikuti penggalan lagu Hotel California by Eagles, And You And I by Yes,dan Love of My Life by Queen, rangkaian akustik itu lebih gempita dari sebelumnya menghantar decak kagum. Hebaaaat....!!!

Usai suasana yang mengharu-biru itu, posisi kembali pada sesi taping berikutnya. Kedua presenter itu Sys NS dan Ida Arimurti bergantian mengajukan pertanyaan kepada SYMPHONY, yang diwakili oleh Faiz untuk menjawab pertanyaan "Siapa penulis lyrik yang menyentuh di lagu MENGGAPAI BINTANG itu?" Kemudian dijelaskan oleh si Bule penciptanya adalah Jimmy Paais.
Jimmy Paais

Lagu itu dibuat khusus untuk seseorang yang tak disebutkan namanya karena istrinya berada di antara audience membaur dengan para istri personel lainnya."Siapakah dia..?" tanya Sys NS. " Ada bini..bos!" canda Faiz diikuti senyum personel lainnya. Jarang sekali orang mengenal sosok Jimmy Paais yang jauh dari sorotan publik atau para pemburu berita, pada masa itu bahkan kini. Dia adalah orang yang banyak bergerak dibalik layar dan terlibat dalam beberapa album Fariz RM atau album musisi lainnya. Saat itu kamera tertuju pada sosok pria bersahaja,berkemeja hitam dan style rapi, hanya menebar senyum disela kata-katanya yang minim. "Saya tersesat di jalan yang benar." katanya kalem. Ia duduk merapat dengan Herman Gelly.

Di antara jeda yel-yel Zona'80 bergema di studio. Selanjutnya cerita diteruskan oleh Faiz bahwa Jimmy lebih detail bertutur lewat lyrik-lyrik lagunya yang ditulis. Lyrik itu seperti sebuah cerita pendek yang bernyanyi. Itulah ciri khas dari lyrik lagu SYMPHONY yang banyak bercerita tentang pengalaman hidup, curahan hati dan topik pemberitaan saat itu melalui media massa/elektronik yang menjadi headlines. Hal itu disatukan dengan keempat sahabatnya dalam kemahiran bermain musik. Lahir grup band beraliran progessive beraliran new wave dengan sentuhan musik digital.

Team crew berbenah lagi, panggung kembali disulap dalam keadaan semula. Sedang 4 kursi bar masih nongkrong di atas panggung. Obrolan berlanjut, Herman Gelly yang low profile nyaris terlupakan, kemudian membaur dengan keempat sohibnya. Sementara Sys NS dan Ida Arimurti bergantian mengajak 5 personal untuk bercerita perjalanan mereka saat meramaikan blantika musik Indonesia. Dari proses terbentuknya SYMPHONY yang diprakasai oleh Jimmy Paais, semula dari obrolan berlanjut setelah masing-masing lepas SMA 3 Jakarta, bersama Herman Gelly dan Ekki Soekarno (bukan alumni SMA 3 Jkt) sedang Fariz RM yang datang belakangan karena waktu itu dalam perawatan (sakit lever).Cerita berakhir saat album pertama,kedua dan ketiga meluncur di pasar musik. Asyik menyimak obrolan itu semakin lama,semakin menggigit.

Dulu mereka adalah pemuda-pemuda single dengan paras rupawan dan beken, kini 28 tahun kemudian mereka adalah seorang bapak dan suami dari keluarga masing-masing. Cerita-cerita sederhana yang terjadi pada masing-masing keluarga yang diwakili anak-anak mereka (Symphony Junior) ternyata seumuran dan kebetulan lagi berada dalam lingkung sekolah yang sama, begitu Herman Gelly bertutur kata.
Herman "Gelly" Effendi

Dari situlah mengalir cerita bahwa ayah-ayah mereka akan bereuni bermain musik mengulang cerita masa mudanya. tentu hal ini adalah langkah baru buat para fans SYMPHONY juga keluarga masing-masing karena para junior belum melihat kehebatan ayah-ayah mereka.

Gideon M
Perbincangan semakin menghangat. Saat itu hadir pengamat musik saat ini Gideon Momongan, pria ganteng, macho dengan rambut gondrongnya, cukup mengajukan satu pertanyaan dari kesimpulan obrolan panjang itu yaitu "Kapan SYMPHONY mengeluarkan album lagi, sudah lama Bro?" lalu disambut tepukan penonton seakan mewakili tanda setuju, mendukung pertanyaan Dion, nama akrabnya. Tak luput mereka mengulas tentang RBT (Ring Back Tone) yang marak ditawarkan provider-provider selluler dalam perindustrian Musik Indonesia saat ini. Dengan bijak Faiz menyingkapi proses jaman, proses kreativitas yang mulai tergeser demi kepentingan popularitas. Mungkin itu yang harus digaris bawahi untuk generasi muda saat ini berbeda pada jaman sekitar'80-an saat industri musik memberi kebebasan berkarya dalam seni bermusik.

Di antara perbincangan itu, aku sangat terganggu dengan penonton yang berada di depan samping kiriku. Perempuan itu dari usai lagu Sirkus Optik dan Video Game sudah berulang kali berkata,"Kok nggak ada lagu Sakura ya atau Barcelona. Kok lagunya nggak pernah dengar ya?" Hmm..geram juga suara-suara keluhan itu mengganggu kosentrasiku menyimak obrolan mereka di atas panggung. Kemudian penonton di samping kananku pun mengiyakan. Tanpa perlu disuruh aku pun menjelaskan siapa SYMPHONY itu dengan menunjukkan kaset-kaset mereka yang kubawa dari rumah.

SYMPHONY
Tahun 1982 lahir TRAPESIUM debut pertama SYMPHONY masih mengalun apik walau kasetku berusia lebih dari 25 tahun. Hits-nya lagu Interlokal pasti nanti sebagai penutup konser reuni itu,begitu kataku meyakinkan perempuan itu (dugaanku benar). Tahun 1983 dilanjut hadir album METAL hits-nya Kekal Itu Di Sini dan Lensa Kamar Putih. Tahun 1986 dalam jeda 3 tahun baru muncul N.O.R.M.A.L hitsnya Fotomodel dan salah satu lagu di album itu ditampilkan yaitu MENGGAPAI BINTANG. Cerita singkat itu ternyata disimak dengan seksama. Bahwa ini bukan konser atau show Fariz RM yang lebih dikenal masyarakat luas dengan tembang SAKURA & BARCELONA-nya. Ini SYMPHONY dengan personel masing-masing sambil menunjuk pada mereka satu per satu.

Ternyata penjelasan singkatku yang mungkin belum detail tetapi bermanfaat juga, perempuan itu dan beberapa bapak-bapak mengangguk-angguk. Andai aku dulu tidak dikenalkan oleh kakakku Agus Supriadi, aku pun seperti mereka yang awam tentang SYMPHONY. Untung saja minat musikku memberi nilai lebih dari mereka kaum hawa yang hanya sebatas mengenal Fariz RM saja. Obrolan pun terhenti karena satu lagi tembang dari album M E T A L hadir. Cerita tentang ketergantungan seseorang (perempuan) pada barang haram yang menawarkan ilusi dan mimpi, teramu apik dalam lagu LENSA KAMAR PUTIH.


foto koleksi arie rachmawati
LENSA KAMAR PUTIH
Symphony
Album
Metal, 1983
Composer/Arranger/Musician
Fariz Roestam Munaf, Jimmy Paais,
Herman Gelly Effendi, Ekki Soekarno, Tony Wenas.
Producers
Akurama Records & Symphony


Tempatkan dirimu dan diriku dalam satu cita
Dialog sederhana dan mudah saja, tegas tapi nyata
Adakah kau ragu selama ini atau tak kuasa
Rangkulan butiran tablet berwarna membuat mu lupa

Kau bawa diri dalam khayal lensa kamar putih
Pengisi sepi akrab selama ini
Berjalan kaku tak sanggup berlagu
Berjuta harta terkubur dibawah sadar mu

Wajahmu tak lagi cerah ayu, berganti sendu
Tubuh yang menuntut tak kompromi tak mau tahu
Kau jual diri sebagai pengganti jenuh dan frustrasi
Membiarkan racun datang mengabdi untuk meronta

Terlentang tak sadar di dalam lensa kamar putih
Mencari mimpi yang tiada berarti
Tenggelam kenyataan hidup ini dalam semu
Mencoba lupakan yang lalu

Kau bawa diri dalam khayal lensa kamar putih
Pengisi sepi akrab selama ini
Berjalan kaku tak sanggup berlagu
Berjuta harta terkubur dibawah sadar mu

Terlentang tak sadar di dalam lensa kamar putih
Mencari mimpi yang tiada berarti
Tenggelam kenyataan hidup ini dalam semu
Mencoba lupakan yang lalu


Symphony
Fariz Roestam Munaf (Bass, Vocal) Jimmy Paais (Guitar, Vocoder, Vocal)
Herman Gelly Effendi (Keyboard, Piano, Vocal) Ekki Soekarno (Drums, Vocal) Tony Wenas (Keyboard, Vocal)

©1983 akurama records-symphony


Waktu berjalan tanpa terasa hampir tiga jam dalam studio. Satu per satu lagu yang hadir menghipnotis. Bahkan mereka para Bintang Panggung dan yang hadir betah duduk menikmati suguhan.Hingga pada ujung acara, satu lagu pamungkas yang pernah merajai anak tangga radio di pelosok Nusantara waktu itu. INTERLOKAL yang bercerita kisah perjalanan percintaan sepasang kekasih yang terhalang jarak dan waktu. Antara helaan nafas panjang,gelisah menunggu jawaban diseberang sana lewat percakapan SLJJ (Sambungan Langsung Jarak Jauh) atau lebih dikenal dengan istilah INTERLOKAL.

INTERLOKAL
Symphony
Album
Trapesium, 1982
Composer/Arranger/Musician
Fariz Roestam Munaf, Jimmy Paais,
Herman Gelly Effendi, Ekki Soekarno.
Producers
Akurama Records & Symphony



Masih berbunyi nada bicara
Kesekian kali telah ku coba
Gelisah datang tiada terundang
Mengajak prasangka mengusik keadaan

Ku hela nafas panjang menyesali waktu terbuang

Yang ku harapkan dapat bercakap dengan mu
Mengulas rencana kedatangan ku tertunda
Yang ku harapkan kau mengerti kan sebab nya
Namun halangan merintangi harap itu

Ku coba nomor itu masih tak terjawab
Ku hela nafas panjang menyesali waktu terbuang

Bila rencana tiada tertunda
Mungkin kenyataan tak ku jumpa
Gelisah datang tiada terundang
Mengusik prasangka didalam keadaan

Ku hela nafas panjang menyesali waktu terbuang

Namun ku yakin bukanlah itu sebab nya
Hanyalah waktu yang ku pinta belum ada
Yang ku harapkan dan ku rindu dalam kalbu
Bercanda kata mengurangi sikap ragu

Ku coba nomor itu masih tak terjawab
Ku hela nafas panjang menyesali waktu terbuang

Symphony
Fariz Roestam Munaf (Bass, Vocal) Jimmy Paais (Guitar, Vocoder, Vocal)
Herman Gelly Effendi (Keyboard, Piano, Vocal) Ekki Soekarno (Drum, Percussion, Vocal)

©1982 akurama records-symphony


Kekompakan gebukan Ekki dengan dentingan keyboard Herman Gelly diakhir lagu INTERLOKAL mengakhiri satu rangkaian taping Zona'80 dengan audience yang diarahkan oleh pengarah acara untuk berdiri dan bergoyang mengikuti irama yang nge-beat itu. Interlokal lagu yang paling akrab ditelinga para pendengar radio pada tahun 1982-1983 (saat itu aku masih SMP) dan hingga kini masih masuk 150 deretan terlaris dalam sebuah polling majalah musik Rolling Stone Indonesia, urutan ke 94.

Wow..dahsyat ending Reuni SYMPHONY itu. Tapi eeeiiiitzz.. ternyata karena kesalahan teknis maka lagu INTERLOKAL itu di-take ulang. Ah..andai semua lagu di-take ulang pasti bukan aku saja yang setuju. Jaket putih bersulam emas dengan kemeja warna senada ala Sinbad Si Pelaut,kostum Faiz yang selama proses taping setia menemani tiba-tiba dilepasnya berganti bolero hitam polos dan sederhana. Rupanya energi mereka benar-benar terkuras hingga suhu dingin ruangan studio pun tanpa terasa. Proses akhir telah usai, para audience ada yang mulai beranjak meninggalkan tempat duduknya namun tiba-tiba telingaku menangkap intro yang aku kenal akrab. Intro detingan piano Herman Gelly dan disusul bunyi-bunyian alat musik yang lain....itu adalah penggalan SEPERTIGA PULUH-DUA. Gilaaaa bouw ..surprise bangeet 1/32 merinding dibuatnya. Entah apakah mereka pun sempat mendengarkannya?

Pasca taping, seluruh fans berhamburan menyerbu masing-masing idola untuk berfoto-ria.Tak luput para kolega yang kebanyakan orang top dibidangnya menjadi sasaran mengklak-klik kamera saku dan sellulernya masing-masing. Hal yang amat ditunggu untuk mengabadikan moment langka itu.
Foto : Koleksi Arie Rachmawati
Mungkin hanya aku fans SYMPHONY yang masih sempat berpikir untuk membawa kaset-kaset mereka plus kaset-kaset Fariz RM dan satu kaset album solo Herman"Gelly"Effendi yaitu Litograf-01, untuk diminta tanda tangani idolaku yang selama ini hanya bisa dilihat dalam layar kaca televisi beberapa puluh tahun yang lalu.

Minggu,14 Juni 2009 setahun yang lalu, kenangan REUNI SYMPHONY itu masih tergambar jelas dalam ingatanku. Hingga timbul tanya kapankah akan bereuni lagi? Mengingat satu tahun berlalu tanpa gebrakan yang ada. SYMPHONY harus bangkit lagi, cukup sudah 23 tahun kalian tertidur.
Semangatlah bahwa kami para penggemarmu yang tergabung dalam wadah SYMPHONYsentris facebookers atau mereka diluar sana yang tak bergabung di dunia maya, masih merindukan masa kejayaanmu. Satu album terbaru akan mengobati rasa rindu yang terpendam itu.

Diceritakan kembali oleh Arie Rachmawati, sebagai wujud apresiasi kepada salah satu grup band yang lahir di masa emas dunia musik, era '80 yang mempunyai nilai chemistry mendalam.
Terima Kasih untuk semua pembaca, semoga menikmati tulisan hati ini yang ditulis oleh seorang ibu rumah tangga, bukan jurnalis atau pengamat musik, hanya penikmat musik sehati yang Cinta Musik Indonesia. Terima kasih.

SYMPHONY MASIH ADA!! SYMPHONY...BRAVO !!!

foto koleksi SYMPHONY


Salam,
arie rachmawati