Rabu, 11 Mei 2016

Kumpulan Cerpen DdR


SURAT UNTUK KEITH
Karya Arie Rachmawati



Namanya Keith. Aku tak kenal dia, tapi teman sebangkuku sering menyebutkan nama itu. ''Lihat Keith, baru aja lewat, cool banget. Senyumnya itu lho....Gilaaa!'' seru Rania sambil mencubiti pipiku sebagai pelampiasan rasa gemasnya. Aku meringis kesakitan. Hampir sebulan nama itu menjadi topik pembicaraan di sekolah bahkan di kelasku. Lagi-lagi nama Keith, disebut anak XI-IPA-3 saat itu aku melintasi mereka di pojok kantin. ''Keith?'' gumamku sendiri.
Nama itu tiba-tiba merebak di hatiku. Aku tersenyum-senyum sendiri, padahal aku tak tahu cowok yang bernama Keith itu. Rania mulai bercerita bahwa Keith anak baru pindahan dari Bandung. Yang menarik dari Keith adalah anak band. Piawai memainkan beberapa alat musik. Dan kata Rania lagi, dia dengan Keith pernah satu panggung saat festival musik Indie antar pelajar se-Jawa yang diadakan di Bandung. Grup band Keith, “Moulin Rouge” menjadi band favorit dan grup band Rania keluar sebagai pemenang harapan pertama. Pertautan itu terjalin setahun lalu. Kini Keith dan Rania bertemu lagi dalam satu halaman sekolah. Mereka seperti teman lama yang berjumpa kembali. Dan Rania bangga banget menjadi orang pertama yang dikenal Keith di lingkungan barunya.
''Aku naksir dia udah lama, Rie. Tahu nggak kamu, Keith itu baiiiiik banget. Dia mau ngajarin aku main musik,'' cerita Rania panjang lebar.
“Oh ya?” balasku singkat,
“Aku jadi bosan dengar tiap hari cerita tentang Keith melulu!!” jawabku dengan wajah cemberut.
''Eh, kamu kok nggak tertarik sih?'' tanya Rania menyelidik.
''Bener..nggak, ah! Ngapain berebut satu cowok, kayak bola aja..hahaha,'' candaku. Rania merengut, lalu membolak-balikkan buku bahasa Jerman. Sedang hatiku tiba-tiba mulai tergoda, siapakah Keith itu. Anak baru yang jago musik yang menjadi pembicaraan di sekolah. “Keith?” tanyaku dalam hati.
Hari itu bu Anne guru bahasa Jerman berhalangan masuk. Spontan saja anak-anak sekelas jingkrak-jingkrak kegirangan, berarti ulangan ditunda.
''Cihuuuuy!!'' teriak Rania memekakkan telingaku. Rania mulai merayuku, seperti biasanya minta dibuatkan puisi.
''Rie, bikin dong satu aja yang puitis, yang romantis, yang bikin Keith klepek- klepek...waaakss!!'' pintanya manja.
''Iya ntar aja, aku lagi nggak mood. Lagi pingin sendiri,'' kataku datar.
''Kenapa?''
''Nggak kenapa-napa,'' sahutku malas.
“Duh! Lagi-lagi dia lagiiii...Rania, padahal tadi kita sepakat nggak usah ngomongin dia!“
“Aku tuh lagi be-te. Please dong Ran!“
''Sorry ya Rie. Aku nggak tahu kamu lagi be-te. Pasti gara-gara dia deh, temen ef-be-mu. Siapa namanya?'' tanya Rania antusias.
''Udah aku remove!'' jawabku singkat.
''Good! Sip? Jangan sedih, kita berpelukan dong, Say,'' ucap Rania menghibur. Kami sering melakukan itu berpelukan : seperti adik Rania menirukan gaya teletubbies.

Sore itu hujan turun deras, padahal sebelumnya cuaca terang benderang dan terasa terik sekali . Aku masih setia menanti hingga hujan reda, di dalam toko cokelat The Harvest, belakang Sarinah, Thamrin. Ojek payung menawarkan jasanya. Payung-payung itu menari-nari di antara rinai hujan. Sekelebat seperti jamur berwarna-warni yang tumbuh subur di musim penghujan. ''Hmm...''gumamku dalam hati. Lalu pintu terbuka, seorang cowok berkacamata minus masuk, dekat dengan tempatku berdiri. Ditutup rapat payung basah itu,dan ditegakkan. Tetesan air jatuh membasahi lantai toko. Sore itu di toko itu hanya ada aku dan dia sebagai pengunjung toko. Jadi sewaktu kasir mengulang-sebut kue-kue yang dibelinya atas nama Keith, aku mendengarnya dengan jelas. Saat nama itu disebut aku memutar balik ke arahnya.
''Keith...'' gumamku pelan. ''Ah, pasti banyak cowok bernama Keith,'' sahutku sendiri.
Rupanya hujan bukan reda malah semakin deras. Suhu ruangan terasa dingin. Kini aku berdiri berjajar dengannya. Sesekali aku mencuri pandang, tapi kali ini ah, sialnya tertangkap basah. Untung dering hapeku menyelamatkan aku dari tatapan matanya yg tajam. ''Beeppzz...,'' bunyi hapeku dalam keadaan silent hanya getaran saja.
''Iya. Masih di Harvest, hujannya deras banget,'' ucapku menjelaskan. Rania menelpon, bercerita bahwa puisinya sudah dikirim lewat SMS ke Keith. Kini ia menantikan balasan. Selang beberapa menit dering telepon dari hape sebelah, namun si pemiliknya lagi asyik menikmati musik dari dalam kantong jaketnya. Nada dering yang akrab kudengar “Love Is Forever”-nya Muse, sangat mengganggu dan terpaksa aku menyentuh tangannya dan memberi kode bahwa ada telepon masuk. Matanya melotot setelah tadi terpejam.
''Thanks..,'' jawabnya singkat.
''Hai Rania, belum. Belum aku lihat, nggak dengar ada sms masuk. Thanks Ran. Iya aku lagi di Harvest, hujan nih,'' katanya. Cowok itu sambil menelpon matanya tertuju padaku tanpa kedip. Bahkan seperti melihatku sebagai makhluk aneh. Dan aku segera menghindari tatapan matanya.
''Rania?'' kataku keceplosan.
“Berarti cowok di sebelahku ini adalah si Keith itu,“ gumamku. Keyakinanku semakin masuk akal dari arah pembicaraan mereka membahas puisi. Puisi? Jangan-jangan itu puisi yang kubuat kemarin atas permintaan Rania.
Telepon selesai. Dan..
“Hai kamu kenapa bengong gitu?“ sapanya tiba-tiba.
“Aku?“ jawabku balik.
“Iya. Kamu tadi sebut Rania? Kenal?“
“Rania yang mana? Kan yang namanya Rania banyak!”
“Rania anak SMA 3 XI IPS 1. Kenal?” tanyanya ulang. Aku tetap menggelengkan kepala. Bertahan pada pendirian.
“Seragam batik kita sama...,“ jawabnya meyakinkan.
“Tapi tadi dia bilang, kamu adalah teman sebangkunya. Dan ia menyebutkan The Harvest ini. Aneh?“
“Maaf, aku nggak kenal,“ ucapku segera pergi meninggalkan dirinya. Menerobos rinai hujan tanpa harus berpayung. Dengan langkah seribu menuju tikungan jalan Sabang, melewati penjaja kaki lima yang berjajar sepanjang trotoar menuju gang kecil dibalik rimbunnya pertokoan, dan tiba di rumah.
Kuletakkan kotak kue The Harvest, di atas meja makan. Rambutku basah oleh rintikan hujan. Degup di dadaku masih berasa saat kupandangi wajah itu, Keith. Benar itu Keith yang ramai dibicarakan di sekolah. Kini aku harus mengakui ia benar- benar menarik. Ia sederhana tapi mempunyai daya tarik seperti kutub magnet saat matanya menatapku dari balik kacamata minusnya. Mungkin aku harus menelan lagi kata-kataku kemarin. “Oh My Gooooodd!” desahku pelan.
Aku teringat tentang puisi yang aku buat kemarin atas permintaan Rania, seperti intuisi saja aku merasa mengenalnya. Kemarin aku membuat puisi berdasarkan cerita Rania, saat ia menggambarkan sosok Keith. Seandainya Rania mengerti bahwa membuat puisi berdasarkan pesanan adalah tidak nyaman, meski tawaran imbalannya menggoda: sebuah novel Eclipse terbaru. Puisi adalah wakil dari suara hati melalui tulisan. Itu sebabnya aku agak malas kalau bukan teman-teman terdekat memintaku membuat puisi buat gebetan baru mereka. Bila aku menyerah, biasanya aku meminta mereka menggambarkan seperti apa orang yang akan kubuatkan puisi agar aku bisa berimajinasi tentang sosok itu. Dan ternyata apa yang aku gambarkan mengenai sosok Keith adalah benar. Ia seakan menari-nari dalam anganku. Seperti ada yang menuntunku.

Dua hari Rania absen karena sakit. Katanya hanya demam biasa, tetapi berita baru yang beredar, ia dirawat karena demam berdarah. Kini aku baru merasakan kehilangan dirinya, yang selalu ceriwis dan ceria. Aku merindukan cerita-cerita serunya terutama tentang Keith. Tentang dia. Hanya Rania yang mau berteman denganku, dan sabar menghadapiku yang agak aneh menurut mereka.
Aku bukan seperti mereka, remaja pada umumnya. Aku lebih suka sendiri. Sendiri membuat aku akrab dengan diriku sendiri.
“Aku tahu kamu memikirkan Rania, ya?“ Tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunanku.
“Keith?“ tanyaku terkejut. Ia mengangguk dan duduk di dekatku.
“Kamu tahu namaku?“ tanyanya tanpa ragu. Aku beranjak tapi tangan itu menarikku untuk duduk kembali.
“Ada apa denganmu? Kenapa waktu kita bertemu di The Harvest, kamu berbohong? Lalu pergi!“ tanyanya bertubi-tubi.
“Maaf waktu itu aku terkejut dan tak yakin kamu adalah Keith yang sering Rania ceritakan....Maaf ya,“ pintaku melemah.
“Emangnya dia cerita apaan?“
“Banyaaak....Dan yang jelas kamu jago main musik.“
“Hehehehe, bisa aja tuh dia.“
“Tapi benar, kan?“
“Iya, cuma bisa aja, mahir nggak juga. Apalagi jago....Halaaaah!”
“Rania bilang kamu akan mengajarinya bermain musik....“
“Kenapa kita bicarakan Rania, kenapa nggak bicara tentang kita?“
“Kita?“
“Ya, kamu dan aku saja...Kita?“
“Aku udah tahu puisi dari Rania, kamu yang bikin. Ngaku aja kenapa?”
Seribu alasan tak akan bisa memenangkan keadaan terjepit, kecuali bunyi bel tanda istirahat berakhir. Dan....Treeeeeettt bel itu akhirnya menyelamatkanku. Huuuufft!!
Sejak itu hampir setiap jam istirahat aku bertemu Keith di bawah pohon akasia yang terletak di belakang sekolah. Tempat itu dulu tempatku berbagi dengan diriku sendiri saat aku tak ingin siapa-siapa menemaniku, meski Rania sahabatku sekalipun. Pohon itu seakan tak ingin berbagi dengan siapa pun. Bila ada sekumpulan anak- anak kelas lain duduk di bawah pohon itu, selalu ada sesuatu yang jatuh menimpa
salah satu dari mereka dan akhirnya mereka segera pergi meninggalkan tempat itu. Namun aneh, saat aku duduk bersama
Keith, segalanya berlangsung aman-aman saja.
Keith mulai rajin menemaniku pada jam istirahat pertama atau kedua. Bila ia tak bisa hadir, ia akan menitipkan secarik kertas mungil yang diselipkan di antara batang pohon yang berlubang tertutup rimbunan lumut. Waktu itu ia yang menemukan dan aku yang mengusulkan ide itu. Proses pertemanan yang singkat dan menjadi akrab. Aku suka Keith. Ia humoris, sering membuatku tertawa. Keith membuatku berbeda dari biasanya. Yang paling mengakrabkan kami adalah kegemarannya makan toge. Semua yang berhubungan dengan toge, ia antusias banget bercerita. Juga makanan ala warteg, itu yang membuatku kagum. Aku pikir ia akan bercerita tentang musik dan grup band-nya, seperti yang Rania ceritakan. Musik membuatku iri, karena aku tak bisa bermain musik seperti kakakku, Rara. Andai dulu aku tekun pasti satu alat musik bisa kukuasai.
“Kenapa kamu nggak memulainya lagi?“ tanyanya.
“Memulai?“ tanyaku balik.
“Ya lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali,“ itu jawabannya saat aku bercerita ingin berlatih musik. Aku berpikir dan boleh juga usulnya itu. Tiba-tiba ia menyodorkan padaku dua buah kue comro, tepat di hidungku, hingga aroma oncom baru digoreng masih tercium hangat.
“Comro?“ tanyaku kaget.
“Kamu nggak mau?“
“Anak sebeken kamu mau makan comro?“
“Emang kenapa? Ya udah buat aku aja,“ serunya. Namun segera aku meraih comro itu sebelum hilang dalam genggamannya.
“Bukan....Aku mau, Keith!“ Saat itu wajahnya dekat dengan wajahku, degup jantungku berdetak kencang. Empat mata tanpa kedip hingga tanpa sadar, hidungnya menyentuh ujung hidungku. Mataku terpejam lalu kupalingkan wajahku. Dan comro di tangannya lepas menggelinding ke tanah. Duh! Bersamaan itu Rania sudah berada di depanku dan tanpa sempat menghindar tiba-tiba tangannya mendarat di wajahku. “Plaaak..“
“Munafik kamu, Ri! Katanya nggak suka, malah diam-diam pacaran dengan Keith. Sebeeelll.... Sahabat macam apa kamu, Rie?!“ Keith melerai dan membiarkan Rania meninggalkan kami dengan amarah yang meluap. Keith tak menyusul Rania namun tetap berdiri di dekatku dengan salah tingkah.
“Keith, pergilah!. Biarkan aku sendiri, susul dia aja.“
“Rie, aku nggak ada hubungan apa-apa dengannya. Jadi buat apa aku menyusul dia?”
“Tapi Rania sangat suka kamu, dan berharap kamu jadi pacarnya,” ucapku beranjak meninggalkan Keith yang masih bersandar pada pohon. Aku ingin menjelaskan pada Rania, tapi aku rasa pembelaanku sia-sia belaka. Hingga kuputuskan segala bentuk marahnya aku terima tanpa melawan sedikit pun.
Sejak itu aku menghindari bertemu Keith di bawah pohon itu. Saat aku mengunjungi pohon itu, aku menemukan beberapa pesan singkat yang ditulis dari secarik kertas, dengan isi yang sama.
”Maafin aku, Rie. Besok kita bertemu di sini, ya?. Aku beli comro untukmu.” Namun, aku sengaja tak mau menemuinya lagi. Sekelebat ia sering melintas di depan kelas, dan mencuri pandang. Aku tak mau membuat Rania semakin marah, lebih-lebih Keith hanya menganggap sebagai teman biasa saja. Rania tak seriang dulu, kini ia pendiam. Hal ini membuatku semakin tersudut. Hari-hari penuh kebisuanku kini menjadi santapan biasa. Suatu hari aku tak menemukan pesan- pesan Keith, pada lubang pohon itu. Langit serasa runtuh. Hatiku meringis. Keceriaan Keith hanya kunikmati dari pesan-pesan singkatnya itu. Janjinya tetap sama, ingin menikmati makan comro berdua denganku di bawah pohon. Dan itu tak pernah kupenuhi. Hape? SMS? Kami tak pernah membahas. Aku lebih suka dengan cara unik ini walau harus menunggu jam sekolah selesai dan sepi.
Bubaran sekolah, tiba-tiba ada sebuah tangan menarikku. Ternyata Keith. Kacamatanya hampir jatuh saat aku berusaha melepaskan tarikan tangannya itu.
Beberapa pasang mata memandangku penuh tanya. Keith menarikku memaksa dan kami berjalan menuju pohon akasia tempat biasa bertemu.
“Rie, aku capek dengan hubungan kita,“ katanya menahan emosi.
“Aku nggak pernah menganggap kita berhubungan,“ jawabku ketus.
“Kamu pikir aku menemanimu di sini itu hanya iseng doang?”
“Aku tak pernah memintamu datang ke sini.“
Ia diam membalikkan badannya. Dan nada dering dari Muse memecahkan bisu. Ia tak mengangkatnya malah me- reject-nya. Ia tahu lagu itu kesukaanku dan Rania. Sejak menonton Twilight, aku menyukai lagu-lagu soundtrack-nya yang dipercayakan pada Matt Bellamy dkk. Justru bukan suka pada sosok si Vampire ganteng, Robert Pattison. Langit masih terang tetapi tiba-tiba butiran air jauh dari langit. Gerimis. Rimbunan dedaunan mampu melindungi dari gerimis tak diundang. Keith merapatkan tubuhnya tanpa jarak ke arahku. Kami masih bertahan diam, hanya hati yang bicara. Lalu, Keith mengeluarkan dua surat untukku, satu dari Rania dan satunya lagi darinya.
“Rie, ntar aja baca di rumah. Nggak perlu kamu balas kalau emang nggak perlu dibalas, cukup dibaca doang,” ucapnya kalem.
“Iya thanks, Keith,” balasku menimang-nimang dua surat itu.
“Oya, ini kubawakan comro yang dulu belum sempat kamu makan. Makanlah! Aku tadi sudah makan saat menunggumu.”
“Makasih ya, Keith. Kamu baik sekali!”
Aku hanya mematuhi semua yang ia saranku, aku seperti robot yang sudah diprogram. Perlahan kugigit comro yang dingin itu. Sekilas ia menatapku lalu dipalingkan wajahnya. Sebenarnya aku ingin bicara, hanya tak tahu harus memulai dari mana. Kemudian, larut dalam keheningan hingga gerimis reda. Langkah- langkah itu terpisah pada ujung pintu gerbang sekolah, menuju jalan pulang yang berbeda.

Dua surat kubaca dengan saksama terutama dari Rania, yang menyatakan penyesalannya karena tak mendengar penjelasanku. Dan mengakui kekalahannya mendapatkan hati Keith. Ternyata Rania masih ada ikatan darah keluarga dari pihak mamanya. “Dunia ini sempit, Rie. Keith masih sepupuku dan ia sebenarnya sudah menjadi teman ef-be-mu, sejak aku suggest pertemanan denganmu. Sayang kalian tidak pernah interaksi.“ Itu kalimat terakhir di surat dari Rania. Sedang dari Keith, hanya pesan singkat : “Besok, temui aku di bawah pohon kita, sebelum jam 4 sore, aku menunggu-mu, Keith.“
Sabtu sore aku menuju halaman sekolah yang masih ramai, banyak teman-teman baru kelar ekskul. Langkahku langsung tertuju pada halaman belakang sekolah tempat pohon akasia yang entah beberapa tahun tegak berdiri di sana.
Namanya Keith. Sekarang aku tahu dia yang bernama Keith. Aku mengenalnya jauh sebelum mereka, teman-temanku, mengenalnya. Tanpa interaksi, tanpa bertemu, hanya instuisi yang menuntunku. Senyum sumringah menghias wajahku secerah lukisan sore. Saat cakrawala senja jatuh di ujung kaki langit sisi kota Jakarta yang riuh. “Keith..Keith..Keith, aku suka kamu,“ gumamku sendiri sambil berlalu, meninggalkan sepucuk surat buatnya, di lubang pohon kita. Dalam surat kutulis, “Tunggu aku ya, Keith. Aku pergi membeli comro. Kita makan bersama, walau di bawah pohon toge sekalipun, seperti imajinasimu saat itu. Please waiting for me, Keith. - Ririe.

SELESAI

NB : Cerpen ini untuk sahabatku musisi/gitaris Keith Rustam. 



Selasa, 10 Mei 2016

Kumpulan Cerpen DdR


Di Interlude Aku Jatuh Cinta
Oleh Arie Rachmawati


Senja merah merona jatuh di ujung kaki langit Jakarta, indah sekali di antara birunya langit yang bersih dan awan berarak berganti rupa. Saat itu lamunanku tersadar oleh dering ponsel. Teringat aku setahun lalu, saat gitaris itu datang menempati tempat favoritnya di ujung koridor. Hampir tiga bulan ia dengan beberapa temannya sesama musisi sering mengunjungi tempatku bekerja sebagai waitress di lounge.
Semula kehadirannya kuanggap biasa saja, layaknya pengunjung- pengunjung lounge lainnya. Datang dan pergi menikmati suasana lounge yang terletak jauh dari keramaian kota dan selalu menawarkan sesuatu yang berbeda pada setiap akhir pekan.
Ia selalu duduk sendiri memojok pada sudut ruangan, saat teman- temannya satu per satu meninggalkan dirinya. Ia senantiasa memetik gitar dan di atas meja selalu berserakan kertas-kertas berisi partitur lagu. Aku tahu hal itu karena dulu aku sempat belajar musik walau tak mengenal not balok hanya notasi lagu saja, selebihnya harus berani bermain improvisasi.
Ia adalah sahabat dari pemilik lounge ini, meski di antara majikanku dengannya jarang bertemu muka. Aku juga baru mengetahui kalau ia seorang musisi senior yang di jaman kejayaannya menghasilkan lagu-lagu yang menyentuh dan meledak di blantika musik.

Bermula pada suatu malam, saat ia tinggal sendiri di sudut ruangan dekat kolam ikan, tak jauh dari tempatku duduk. Malam itu aku shift malam dan pengunjung satu per satu sudah meninggalkan lounge.
Ia berambutnya hitam sedikit gondrong, kurus, tinggi, dan berkumis hitam yang berbaris penuh. Sebentar–sebentar ia berdiri di ujung koridor mematung, lalu menyulutkan api pada sebatang cerutu yg dipegangnya kemudian mematikan apinya.
Tingkahnya tenang, tetapi matanya gelisah. Bahkan ia tak menyadari bahwa ada sepasang mata mengikuti setiap sudut arah pandangnya. Batang cerutu itu kembali berasap. Ada kenikmatan dalam setiap hisapannya, lalu perlahan dihembuskan asap itu membentuk lingkaran. Aku cukup menyebutnya “Lelaki Bercerutu,” karena cerutu itu tak pernah lepas dari tangan kirinya. Kadang aku merasa dekat, saat mengantarkan segelas Inca Cola pesanannya.
Empat mata itu bertemu dalam satu pandang. Ketika mata itu semakin dekat aku melihat keseluruhan sosoknya dan mulai terpikat. “Ah, sialan aku tertangkap basah,” gumamku dalam hati. Aku menyadari ternyata ia tersenyum dan itu membuatku lupa menanyakan menu tambahan untuk pemesanan berikutnya. “Terima kasih,” balasnya singkat.
Suatu hari, tidak seperti biasanya, kali ini aku menjumpainya di siang hari, kemudian ia melempar senyum kepadaku. Aku tertegun sejenak melihat sosok yang selama ini kukenal ternyata kini jauh berbeda. Ia berada di depanku dengan potongan rambutnya rapi, bahkan wajahnya ada yang beda yaitu tanpa berkumis. Gitar klasik itu masih dalam pangkuannya dengan gaya khasnya memetik gitar dan mengalun lagu demi lagu.
Di tengah terangnya hari tiba-tiba gerimis turun, jatuhnya air dari langit seakan mengikuti ketukan birama lagu. Di luar dugaan, ia menahan tanganku. Saat itu aku baru menaruh pesanan menu di atas meja. Karena aku terkejut maka segelas orange juice itu tumpah mengenai kertas–kertas bertuliskan not balok menjadi luntur tak terbaca lagi.
“Maaf pak, maaf saya tidak sengaja, maaf,” ucapku berulang kali memohon maaf. Wajahnya tanpa ekspresi marah sedikit pun, bahkan ikut membantu membenahi barang–barang yang berantakan di atas meja.
“Nggak apa–apa. Aku yang salah. Semestinya aku tak membuatmu terkejut, jadi maafkan aku ya?” pintanya lembut. Tangannya menyentuh punggung tangan kananku, seketika wajahku serasa tersiram air dan mengangguk pasrah.
Syukurlah kejadian itu tak diketahui pegawai lain. Aku mengambil langkah seribu dan bersembunyi di balik rak piring di dapur. Dadaku berdegup kencang. Kedua telapak tanganku pun menjadi dingin seketika. Sentuhan sesaat itu telah membuat sekujur tubuhku seperti mendapat sengatan listrik yang dahsyat. Aku tersipu malu.
Semenjak itu ia menawarkan jalinan pertemanan meski tak banyak bicara. Dan seperti biasa ia masih setia duduk di kursi yang sama di ujung koridor lounge ini. Tangannya tak pernah lepas memangku gitar akustiknya. Nada dan irama masih seperti yang kemarin, sepertinya valse itu masih belum tergeser. Dan setiap petikan gitarnya seolah–olah membuatku menjadi kenikmatan tersendiri kala kepenatan mulai memenuhi jadwal kerjaku.
Sudah seminggu lebih aku tak pernah melihatnya lagi, bahkan rombongan teman–teman musisi itu juga sudah lama tak singgah ke lounge ini. Berita yang beredar mereka tengah menggarap album baru. Untuk kebangkitan kembali grup bandnya itu. Aku membetulkan letak kacamata minusku dan kembali merajut benang wol berwarna hijau toska itu menjadi sebuah syal. Beberapa rajutan lagi kelar tinggal membuat rumbai–rumbainya saja. Aku berharap syal sederhana itu bisa bermanfaat buatnya. Ada sebersit rasa ragu, akankah keinginanku itu bisa diterimanya.
Rupanya malam itu sang Dewi Amor tengah berpihak padaku. Ia datang menghampiriku dan duduk tepat di depanku melantunkan satu lagu. Hingga pada sebuah musik tengah sebuah lagu atau interlude, serasa aku terhipnotis. Interlude itu sering kudengar beberapa waktu yang lalu. Rasa haru menyeruak dan berhasil aku sembunyikan beningan cair itu yang membuncah di sudut mata.
Ketika aku beranjak, tiba-tiba tangannya menahanku. Ia menyuruhku bertahan seraya berkata, “Duduklah, nikmati satu lagu lagi untukmu,” pintanya. Intro itu mengalun dengan syahdu. Aku duduk berhadap-hadapan dengannya, pandangan mata kami saling beradu dan saling berbicara tanpa satu kedipan. Hatiku bergemuruh, sedang mulut dan bibir terkunci diam. Suasana hening hanya terdengar petikan gitar itu merajai suasana tenggelam sampai petikan terakhir. Serasa dalam mimpi dan tak ingin terbangun.
“Siapa namamu,” sapanya.
“Denyar,” jawabku singkat.
“Denyar..., Denyar? Hmm..., nama yang unik,” jawabnya seperti tengah berpikir.
“Hanya itu?” ulangnya lembut.
“Yaa...” jawabku mengangguk pelan
“Kamu tahu arti namamu?” tanyanya lagi.
“Ya, artinya semacam firasat,” jawabku pendek.
“Benar. Denyar semacam serabut halus yang ada di dalam hati. Kita bisa merasakan sebagai pertanda semacam firasat, intuisi, atau ilham. Ya begitulah, kreatif juga orang tuamu,ya?” balasnya dengan senyum.
“Denyar, boleh aku panggil kamu dengan panggilan, Ar saja?” ucapnya memohon.
“Namaku James Wong. Panggil aku Jim saja!. Tanpa pak, ya?”ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Iya, terima kasih, pak Jim. Maaf, saya pamit banyak perkerjaan yang harus diselesaikan. Maaf, mungkin lain kali kita bisa ngobrol banyak,” balasku dengan santun menyudahi pembicaraan itu. Aku segera menghilang di balik tembok yang memisahkan ruangan tengah dan ruang samping. Suaranya serak dan berat, namun lembut ada kedamaian saat ia berkata, benar-benar telah membuatku mabok kepayang.
Hari itu aku baru selesai shift sore, pak Jim sudah menunggu di beranda. Malam itu kami menghabiskan waktu untuk mengobrol dan sesekali ia memainkan gitar akustiknya. Kali ini interlude itu dalam kesempurnaan. Interlude yang pernah dipersembahkan untukku. Ada senyum kepuasaan terlihat di wajahnya. Dan aku menikmati suasana itu.
“Maaf, sebelumnya saya tidak mengetahui siapa bapak. Teman–teman di sini mengatakan bapak dulu musisi dan pencipta lagu. Saya lebih suka merajut, sambil mendengarkan musik intrumentalia. Maaf saya, kurang pergaulan,” kataku membuka pembicaraan.
“Ha ha ha, seleramu bagus juga. Jarang gadis seusiamu menyukai pekerjaan tangan semacam itu. Salut!! Oya aku dengar, kamu suka menulis. Selain menulis cerpen, menulis apa lagi?” tanyanya menyelidik.
“Menulis?” tanyaku ulang.
“Siapa yang mengatakan demikian, Pak?” Pikiranku langsung tertuju pada ibu Mia pemilik lounge ini. Hanya beliau yang mengetahui aku suka menulis cerpen. Kebetulan malam itu tiba–tiba Ibu Mia muncul dan ikut bergabung dalam pembicaraan.
“Wah, rupanya kalian sudah akrab, ya? Syukurlah tak perlu lagi saya mengenalkan kalian masing-masing.” Aku menjadi salah tingkah namun situasi itu segera terkendali.
“Duduklah Denyar, tugasmu sudah selesai, bukan? Menemani dan membuat nyaman para tamu adalah servis lounge kita, bukan?” ucap Ibu Mia mempersilahkanku. Kami bertiga larut dalam canda, meski dalam keadaan itu aku hanya sebagai pendengar yang baik saja. Kemudian, Ibu Mia segera pamit dan tinggallah kami berdua.
“Ar, besok malam aku kembali ke Amersfoort.”
“Amersfoots? Di mana itu?”
“Dekat Belanda.”
“Apakah itu dalam waktu lama atau sebentar saja?”
“Apa kau tak tahu aku tinggal di sana. Kunjunganku ke Indonesia karena teman-teman akan membuat album lagi, sekedar reuni dan nostalgia dalam bermusik.” Aku mengangguk, karena memang tak tahu beradaannya selama ini.
“Secepat itu? Aku merasa baru mengenalmu.”
“Ya. Tapi aku sudah menundanya hingga besok. Semestinya dua minggu lalu aku kembali ke Amersfoort. Kamu tahu kenapa, Ar?” Aku tentu saja menggelengkan kepala dan tak meningkahi pembicaraan itu. Gemuruh di dadaku mulai bangkit, menantikan ia melanjutkan cerita.
“Karena, tiga minggu terakhir ini aku merasa dekat denganmu. Dan, aku diam– diam mengamatimu dengan bantuan Mia. Aku sudah membaca tulisanmu di buku bersampul jingga itu. Aku tertarik dan suka caramu menulis. Liar, bebas dan polos. Mungkin suatu saat kita bisa duduk bersama menulis lirik lagu. Teruskan Ar dan aku akan berdoa untukmu. Aku yakin kamu kelak akan menjadi seorang penulis terkenal,” tuturnya dengan panjang lebar.
“Benarkah? Musisi sehebat kamu menawarkan itu untukku? Ah, jangan membuatku melayang,” kataku dengan becanda dengan hati berbungah.
“Kenapa harus dipungkiri bukankah di bukumu itu bercerita tentang perasaanmu terhadapku. Justru akulah yang merasa tersanjung, Ar.”
“Akulah yang tersanjung, orang sehebat kamu peduli dan perhatian padaku, aku hanya seorang waitress, tak lebih.”
“Huuush..., kamu ngomong apa sih?. Aku melihat sesuatu yang lebih dalam dirimu yang belum terungkap, percayalah.” Kemudian ia duduk merapat dan aku jatuh dalam pelukannya. Sementara malam kian tengelam dan larut hanya bintang gemintang bertaburan di langit gelap. Semilir angin malam menyapu keheningan.
“Tinggalkan nomor selulermu, biar kita tetap berhubungan walau jarak memisahkan kita.” bisiknya ditelingaku.
“Sebentar ya, aku punya sesuatu untukmu.” Segera aku mengeluarkan bingkisan dari tas. Kuberikan itu kepadanya. Aku berharap cemas saat ia membukanya dengan perlahan dengan sorot matanya sesekali tertuju padaku.
“Maaf, aku belum sempat membungkusnya dengan rapi, baru tadi pagi syal ini kelar. Aku berharap kau menyukainya.”
“Terima kasih ya, Ar.” Satu helaan nafas panjang. Ia memberikan kembali bingkisan itu kepadaku dan aku melilitkan syal hijau toska itu pada lehernya, kemudian ia membalasnya dengan satu kecupan di keningku. Kali ini aku benar– benar tak bisa lagi membendung rasa mengharu-biru itu. Dan membiarkan keadaan berlaku. Malam itu adalah malam terindah sepanjang hidupku.

Waktu bergulir, menggulung hari demi hari. Pertautan itu telah berjalan setahun lebih. Aku tak lagi bekerja di lounge itu, sejak ia pamit kembali ke Amersfoort. Komunikasi kami terbatas jarak dan waktu, hanya lewat facebook-lah alat satu-satunya yang bisa membuat ruang rindu itu semakin penuh angan dan impian.
Menjalin kata dalam status dan meng-upload foto baru darinya adalah kegiatan yang amat kunantikan. Hingga suatu hari, aku baru mengetahui keberadaannya setelah sekian lama tidak aktif. Berita merebak bahwa ia tengah mendapat perawatan khusus karena penyakitnya rada serius. Beberapa support dan ucapan dari sahabat-sahabatnya memenuhi dinding facebook-nya. Tentu hal itu amat membuatku tak tenang.
Seperti awan gelisah berganti rupa dan pepohonan menggugurkan daun-daun kering, melayang jatuh ke tanah dan terbuang. Beberapa kali aku menghubungi seluler-nya pun tak berbalas. Satu-satunya orang yang bisa kuhubungi adalah Ibu Mia, sayang nomor itu sudah tak aktif lagi. Jalan satu-satunya mendatangi tempatku bekerja dulu.
Bersamaan itu langkahku membawa ke lounge itu menghadirkan sekelebat wajahnya yang teduh, tengah memetik gitar akustik. Wajah yang pernah akrab dengan sentuhan interlude yang selalu diulang untuk hasil akhir yang sempurna.
Ibu Mia tiba-tiba berdiri di depanku dengan sepasang mata yang sembab dan memeluk diriku. “Maafkan aku ya Denyar, sudah lama ia menitipkan ini padaku. Aku terlalu sibuk hingga aku nggak sempat menghubungimu. Dan aku ganti nomor. Ia, Jim sudah berpulang seminggu yang lalu. Aku kehilangan seorang sahabat,” ucapnya panjang lebar di antara isak tangisnya.
“Meninggal dunia? Kapan, Bu?“
“Ia dimakamkan di mana, Bu?“ tanyaku gamang.
“Di Amersfoort, bersebelahan dengan mendiang istrinya.“ Aku hanya diam terpaku, serasa tak percaya berita duka itu. Kini sebuah compact disc berpindah tangan kepadaku. Dalam genggamanku aku membaca sebuah tulisan, “Buat Teman Malamku.”
Ada rasa haru yang amat dalam yang menguasai relung hatiku. Aku berusaha pasrah bahwa seseorang yang pernah melewati malam-malam panjang bersamaku, kini telah menuju sang Pencipta kembali kepada-Nya.
Aku baru mengenalnya dan merasa dekat dengan sosoknya yang bersahaja. Namun kedekatan itu serasa aku telah mengenalnya sekian waktu yang lama. Petikan gitarnya dalam album soft launching itu sebagai penawar rindu, dalam interlude aku pernah jatuh cinta pada lagu itu. Mengalun dalam keheningan, sebuah senandung malam dalam petikan gitar akustik mengantar pada akhir perjalanan hidupnya.
“Selamat Jalan James Wong, petikan gitarmu mengalun abadi dalam kalbuku.“

SEKIAN.
(Buat : Alm.Jimmy Paais /SYMPHONY-JRS)

Dimuat di Tabloid Gema Publik, Edisi 01/Februari 2011