... Sekitar Oktober 2007 lahir blog ini, namun sempat mati suri karena tak ada chemistry hingga 2009 mulai berani posting tulisan dan akhirnya inilah tempat saya merasa nyaman berada di dunia maya, bisa menulis semua aktivitas ...
Jumat, 30 Desember 2016
Kamis, 29 Desember 2016
Sabtu, 12 November 2016
Minggu, 09 Oktober 2016
Rabu, 05 Oktober 2016
Senin, 03 Oktober 2016
Sabtu, 01 Oktober 2016
Kamis, 29 September 2016
Selasa, 20 September 2016
Rabu, 14 September 2016
Kamis, 11 Agustus 2016
Rabu, 10 Agustus 2016
Selasa, 02 Agustus 2016
Rabu, 11 Mei 2016
Kumpulan Cerpen DdR
SURAT UNTUK KEITH
Karya Arie Rachmawati
Namanya Keith.
Aku tak kenal dia, tapi teman sebangkuku sering menyebutkan nama itu. ''Lihat
Keith, baru aja lewat, cool banget. Senyumnya itu lho....Gilaaa!'' seru
Rania sambil mencubiti pipiku sebagai pelampiasan rasa gemasnya. Aku meringis
kesakitan. Hampir sebulan nama itu menjadi topik pembicaraan di sekolah bahkan
di kelasku. Lagi-lagi nama Keith, disebut anak XI-IPA-3 saat itu aku melintasi
mereka di pojok kantin. ''Keith?'' gumamku sendiri.
Nama itu tiba-tiba merebak di
hatiku. Aku tersenyum-senyum sendiri, padahal aku tak tahu cowok yang bernama
Keith itu. Rania mulai bercerita bahwa Keith anak baru pindahan dari Bandung.
Yang menarik dari Keith adalah anak band. Piawai memainkan beberapa alat musik.
Dan kata Rania lagi, dia dengan Keith pernah satu panggung saat festival musik
Indie antar pelajar se-Jawa yang diadakan di Bandung. Grup band Keith, “Moulin
Rouge” menjadi band favorit dan grup band Rania keluar sebagai pemenang
harapan pertama. Pertautan itu terjalin setahun lalu. Kini Keith dan Rania
bertemu lagi dalam satu halaman sekolah. Mereka seperti teman lama yang
berjumpa kembali. Dan Rania bangga banget menjadi orang pertama yang dikenal
Keith di lingkungan barunya.
''Aku naksir dia udah lama, Rie.
Tahu nggak kamu, Keith itu baiiiiik banget. Dia mau ngajarin aku main musik,''
cerita Rania panjang lebar.
“Oh ya?” balasku singkat,
“Aku jadi bosan dengar tiap hari
cerita tentang Keith melulu!!” jawabku dengan wajah cemberut.
''Eh, kamu kok nggak tertarik
sih?'' tanya Rania menyelidik.
''Bener..nggak, ah! Ngapain berebut
satu cowok, kayak bola aja..hahaha,'' candaku. Rania merengut, lalu
membolak-balikkan buku bahasa Jerman. Sedang hatiku tiba-tiba mulai tergoda,
siapakah Keith itu. Anak baru yang jago musik yang menjadi pembicaraan di
sekolah. “Keith?” tanyaku dalam hati.
Hari itu bu Anne guru bahasa Jerman
berhalangan masuk. Spontan saja anak-anak sekelas jingkrak-jingkrak kegirangan,
berarti ulangan ditunda.
''Cihuuuuy!!'' teriak
Rania memekakkan telingaku. Rania mulai merayuku, seperti biasanya minta
dibuatkan puisi.
''Rie, bikin dong satu aja yang
puitis, yang romantis, yang bikin Keith klepek- klepek...waaakss!!''
pintanya manja.
''Iya ntar aja, aku lagi nggak mood.
Lagi pingin sendiri,'' kataku datar.
''Kenapa?''
''Nggak kenapa-napa,'' sahutku
malas.
“Duh! Lagi-lagi dia
lagiiii...Rania, padahal tadi kita sepakat nggak usah ngomongin dia!“
“Aku tuh lagi be-te. Please dong
Ran!“
''Sorry ya Rie. Aku nggak tahu kamu
lagi be-te. Pasti gara-gara dia deh, temen ef-be-mu. Siapa namanya?'' tanya
Rania antusias.
''Udah aku remove!'' jawabku
singkat.
''Good! Sip? Jangan sedih,
kita berpelukan dong, Say,'' ucap Rania menghibur. Kami sering melakukan itu
berpelukan : seperti adik Rania menirukan gaya teletubbies.
Sore itu hujan turun
deras, padahal sebelumnya cuaca terang
benderang dan terasa terik sekali . Aku masih setia menanti hingga hujan reda,
di dalam toko cokelat The Harvest, belakang Sarinah, Thamrin. Ojek payung
menawarkan jasanya. Payung-payung itu menari-nari di antara rinai hujan.
Sekelebat seperti jamur berwarna-warni yang tumbuh subur di musim penghujan.
''Hmm...''gumamku dalam hati. Lalu pintu terbuka, seorang cowok berkacamata
minus masuk, dekat dengan tempatku berdiri. Ditutup rapat payung basah itu,dan
ditegakkan. Tetesan air jatuh membasahi lantai toko. Sore itu di toko itu hanya
ada aku dan dia sebagai pengunjung toko. Jadi sewaktu kasir mengulang-sebut
kue-kue yang dibelinya atas nama Keith, aku mendengarnya dengan jelas. Saat
nama itu disebut aku memutar balik ke arahnya.
''Keith...'' gumamku pelan. ''Ah, pasti
banyak cowok bernama Keith,'' sahutku sendiri.
Rupanya hujan bukan reda malah
semakin deras. Suhu ruangan terasa dingin. Kini aku berdiri berjajar dengannya.
Sesekali aku mencuri pandang, tapi kali ini ah, sialnya tertangkap basah.
Untung dering hapeku menyelamatkan aku dari tatapan matanya yg tajam. ''Beeppzz...,''
bunyi hapeku dalam keadaan silent hanya getaran saja.
''Iya. Masih di Harvest, hujannya
deras banget,'' ucapku menjelaskan. Rania menelpon, bercerita bahwa puisinya
sudah dikirim lewat SMS ke Keith. Kini ia menantikan balasan. Selang beberapa
menit dering telepon dari hape sebelah, namun si pemiliknya lagi asyik
menikmati musik dari dalam kantong jaketnya. Nada dering yang akrab kudengar “Love
Is Forever”-nya Muse, sangat mengganggu dan terpaksa aku menyentuh
tangannya dan memberi kode bahwa ada telepon masuk. Matanya melotot setelah
tadi terpejam.
''Thanks..,'' jawabnya
singkat.
''Hai Rania, belum. Belum aku
lihat, nggak dengar ada sms masuk. Thanks Ran. Iya aku lagi di Harvest,
hujan nih,'' katanya. Cowok itu sambil menelpon matanya tertuju padaku tanpa
kedip. Bahkan seperti melihatku sebagai makhluk aneh. Dan aku segera
menghindari tatapan matanya.
''Rania?'' kataku keceplosan.
“Berarti cowok di sebelahku ini
adalah si Keith itu,“ gumamku. Keyakinanku semakin masuk akal dari arah
pembicaraan mereka membahas puisi. Puisi? Jangan-jangan itu puisi yang kubuat
kemarin atas permintaan Rania.
Telepon selesai. Dan..
Telepon selesai. Dan..
“Hai kamu kenapa bengong gitu?“
sapanya tiba-tiba.
“Aku?“ jawabku balik.
“Iya. Kamu tadi sebut Rania?
Kenal?“
“Rania yang mana? Kan yang namanya
Rania banyak!”
“Rania anak SMA 3 XI IPS 1. Kenal?”
tanyanya ulang. Aku tetap menggelengkan kepala. Bertahan pada pendirian.
“Seragam batik kita sama...,“
jawabnya meyakinkan.
“Tapi tadi dia bilang, kamu adalah
teman sebangkunya. Dan ia menyebutkan The Harvest ini. Aneh?“
“Maaf, aku nggak kenal,“ ucapku
segera pergi meninggalkan dirinya. Menerobos rinai hujan tanpa harus berpayung.
Dengan langkah seribu menuju tikungan jalan Sabang, melewati penjaja kaki lima
yang berjajar sepanjang trotoar menuju gang kecil dibalik rimbunnya pertokoan,
dan tiba di rumah.
Kuletakkan kotak kue The Harvest,
di atas meja makan. Rambutku basah oleh rintikan hujan. Degup di dadaku masih
berasa saat kupandangi wajah itu, Keith. Benar itu Keith yang ramai dibicarakan
di sekolah. Kini aku harus mengakui ia benar- benar menarik. Ia sederhana tapi
mempunyai daya tarik seperti kutub magnet saat matanya menatapku dari balik
kacamata minusnya. Mungkin aku harus menelan lagi kata-kataku kemarin. “Oh
My Gooooodd!” desahku pelan.
Aku teringat tentang puisi yang aku
buat kemarin atas permintaan Rania, seperti intuisi saja aku merasa
mengenalnya. Kemarin aku membuat puisi berdasarkan cerita Rania, saat ia
menggambarkan sosok Keith. Seandainya Rania mengerti bahwa membuat puisi
berdasarkan pesanan adalah tidak nyaman, meski tawaran imbalannya menggoda:
sebuah novel Eclipse terbaru. Puisi adalah wakil dari suara hati melalui
tulisan. Itu sebabnya aku agak malas kalau bukan teman-teman terdekat memintaku
membuat puisi buat gebetan baru mereka. Bila aku menyerah, biasanya aku meminta
mereka menggambarkan seperti apa orang yang akan kubuatkan puisi agar aku bisa
berimajinasi tentang sosok itu. Dan ternyata apa yang aku gambarkan mengenai
sosok Keith adalah benar. Ia seakan menari-nari dalam anganku. Seperti ada yang
menuntunku.
Dua hari Rania absen
karena sakit. Katanya hanya demam
biasa, tetapi berita baru yang beredar, ia dirawat karena demam berdarah. Kini
aku baru merasakan kehilangan dirinya, yang selalu ceriwis dan ceria. Aku
merindukan cerita-cerita serunya terutama tentang Keith. Tentang dia. Hanya
Rania yang mau berteman denganku, dan sabar menghadapiku yang agak aneh menurut
mereka.
Aku bukan seperti mereka, remaja
pada umumnya. Aku lebih suka sendiri. Sendiri membuat aku akrab dengan diriku
sendiri.
“Aku tahu kamu memikirkan Rania,
ya?“ Tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunanku.
“Keith?“ tanyaku terkejut. Ia
mengangguk dan duduk di dekatku.
“Kamu tahu namaku?“ tanyanya tanpa
ragu. Aku beranjak tapi tangan itu menarikku untuk duduk kembali.
“Ada apa denganmu? Kenapa waktu
kita bertemu di The Harvest, kamu berbohong? Lalu pergi!“ tanyanya
bertubi-tubi.
“Maaf waktu itu aku terkejut dan
tak yakin kamu adalah Keith yang sering Rania ceritakan....Maaf ya,“ pintaku
melemah.
“Emangnya dia cerita apaan?“
“Banyaaak....Dan yang jelas kamu
jago main musik.“
“Hehehehe, bisa aja tuh dia.“
“Tapi benar, kan?“
“Iya, cuma bisa aja, mahir nggak
juga. Apalagi jago....Halaaaah!”
“Rania bilang kamu akan mengajarinya
bermain musik....“
“Kenapa kita bicarakan Rania,
kenapa nggak bicara tentang kita?“
“Kita?“
“Ya, kamu dan aku saja...Kita?“
“Aku udah tahu puisi dari Rania,
kamu yang bikin. Ngaku aja kenapa?”
Seribu alasan tak akan bisa
memenangkan keadaan terjepit, kecuali bunyi bel tanda istirahat berakhir.
Dan....Treeeeeettt bel itu akhirnya menyelamatkanku. Huuuufft!!
Sejak itu hampir setiap jam
istirahat aku bertemu Keith di bawah pohon akasia yang terletak di belakang
sekolah. Tempat itu dulu tempatku berbagi dengan diriku sendiri saat aku tak
ingin siapa-siapa menemaniku, meski Rania sahabatku sekalipun. Pohon itu seakan
tak ingin berbagi dengan siapa pun. Bila ada sekumpulan anak- anak kelas lain
duduk di bawah pohon itu, selalu ada sesuatu yang jatuh menimpa
salah satu dari mereka dan akhirnya
mereka segera pergi meninggalkan tempat itu. Namun aneh, saat aku duduk bersama
Keith, segalanya berlangsung
aman-aman saja.
Keith mulai rajin menemaniku pada
jam istirahat pertama atau kedua. Bila ia tak bisa hadir, ia akan menitipkan
secarik kertas mungil yang diselipkan di antara batang pohon yang berlubang
tertutup rimbunan lumut. Waktu itu ia yang menemukan dan aku yang mengusulkan
ide itu. Proses pertemanan yang singkat dan menjadi akrab. Aku suka Keith. Ia
humoris, sering membuatku tertawa. Keith membuatku berbeda dari biasanya. Yang
paling mengakrabkan kami adalah kegemarannya makan toge. Semua yang berhubungan
dengan toge, ia antusias banget bercerita. Juga makanan ala warteg, itu yang
membuatku kagum. Aku pikir ia akan bercerita tentang musik dan grup band-nya,
seperti yang Rania ceritakan. Musik membuatku iri, karena aku tak bisa bermain
musik seperti kakakku, Rara. Andai dulu aku tekun pasti satu alat musik bisa
kukuasai.
“Kenapa kamu nggak memulainya
lagi?“ tanyanya.
“Memulai?“ tanyaku balik.
“Ya lebih baik terlambat dari pada
tidak sama sekali,“ itu jawabannya saat aku bercerita ingin berlatih musik. Aku
berpikir dan boleh juga usulnya itu. Tiba-tiba ia menyodorkan padaku dua buah
kue comro, tepat di hidungku, hingga aroma oncom baru digoreng masih tercium
hangat.
“Comro?“ tanyaku kaget.
“Kamu nggak mau?“
“Anak sebeken kamu mau makan
comro?“
“Emang kenapa? Ya udah buat aku
aja,“ serunya. Namun segera aku meraih comro itu sebelum hilang dalam
genggamannya.
“Bukan....Aku mau, Keith!“ Saat itu
wajahnya dekat dengan wajahku, degup jantungku berdetak kencang. Empat mata
tanpa kedip hingga tanpa sadar, hidungnya menyentuh ujung hidungku. Mataku
terpejam lalu kupalingkan wajahku. Dan comro di tangannya lepas menggelinding
ke tanah. Duh! Bersamaan itu Rania sudah berada di depanku dan tanpa sempat
menghindar tiba-tiba tangannya mendarat di wajahku. “Plaaak..“
“Munafik kamu, Ri! Katanya nggak
suka, malah diam-diam pacaran dengan Keith. Sebeeelll.... Sahabat macam apa
kamu, Rie?!“ Keith melerai dan membiarkan Rania meninggalkan kami dengan amarah
yang meluap. Keith tak menyusul Rania namun tetap berdiri di dekatku dengan
salah tingkah.
“Keith, pergilah!. Biarkan aku
sendiri, susul dia aja.“
“Rie, aku nggak ada hubungan
apa-apa dengannya. Jadi buat apa aku menyusul dia?”
“Tapi Rania sangat suka kamu, dan
berharap kamu jadi pacarnya,” ucapku beranjak meninggalkan Keith yang masih
bersandar pada pohon. Aku ingin menjelaskan pada Rania, tapi aku rasa
pembelaanku sia-sia belaka. Hingga kuputuskan segala bentuk marahnya aku terima
tanpa melawan sedikit pun.
Sejak itu aku menghindari bertemu
Keith di bawah pohon itu. Saat aku mengunjungi pohon itu, aku menemukan
beberapa pesan singkat yang ditulis dari secarik kertas, dengan isi yang sama.
”Maafin aku, Rie. Besok kita
bertemu di sini, ya?. Aku beli comro untukmu.” Namun, aku sengaja tak mau
menemuinya lagi. Sekelebat ia sering melintas di depan kelas, dan mencuri
pandang. Aku tak mau membuat Rania semakin marah, lebih-lebih Keith hanya
menganggap sebagai teman biasa saja. Rania tak seriang dulu, kini ia pendiam.
Hal ini membuatku semakin tersudut. Hari-hari penuh kebisuanku kini menjadi
santapan biasa. Suatu hari aku tak menemukan pesan- pesan Keith, pada lubang
pohon itu. Langit serasa runtuh. Hatiku meringis. Keceriaan Keith hanya
kunikmati dari pesan-pesan singkatnya itu. Janjinya tetap sama, ingin menikmati
makan comro berdua denganku di bawah pohon. Dan itu tak pernah kupenuhi. Hape?
SMS? Kami tak pernah membahas. Aku lebih suka dengan cara unik ini walau harus
menunggu jam sekolah selesai dan sepi.
Bubaran sekolah, tiba-tiba ada
sebuah tangan menarikku. Ternyata Keith. Kacamatanya hampir jatuh saat aku
berusaha melepaskan tarikan tangannya itu.
Beberapa pasang mata memandangku
penuh tanya. Keith menarikku memaksa dan kami berjalan menuju pohon akasia
tempat biasa bertemu.
“Rie, aku capek dengan hubungan
kita,“ katanya menahan emosi.
“Aku nggak pernah menganggap kita
berhubungan,“ jawabku ketus.
“Kamu pikir aku menemanimu di sini
itu hanya iseng doang?”
“Aku tak pernah memintamu datang ke
sini.“
Ia diam membalikkan badannya. Dan
nada dering dari Muse memecahkan bisu. Ia tak mengangkatnya malah me- reject-nya.
Ia tahu lagu itu kesukaanku dan Rania. Sejak menonton Twilight, aku
menyukai lagu-lagu soundtrack-nya yang dipercayakan pada Matt Bellamy dkk. Justru bukan
suka pada sosok si Vampire ganteng, Robert Pattison. Langit masih terang tetapi
tiba-tiba butiran air jauh dari langit. Gerimis. Rimbunan dedaunan mampu
melindungi dari gerimis tak diundang. Keith merapatkan tubuhnya tanpa jarak ke
arahku. Kami masih bertahan diam, hanya hati yang bicara. Lalu, Keith
mengeluarkan dua surat untukku, satu dari Rania dan satunya lagi darinya.
“Rie, ntar aja baca di rumah. Nggak
perlu kamu balas kalau emang nggak perlu dibalas, cukup dibaca doang,” ucapnya
kalem.
“Iya thanks, Keith,” balasku
menimang-nimang dua surat itu.
“Oya, ini kubawakan comro yang dulu
belum sempat kamu makan. Makanlah! Aku tadi sudah makan saat menunggumu.”
“Makasih ya, Keith. Kamu baik
sekali!”
Aku hanya mematuhi semua yang ia
saranku, aku seperti robot yang sudah diprogram. Perlahan kugigit comro yang
dingin itu. Sekilas ia menatapku lalu dipalingkan wajahnya. Sebenarnya aku
ingin bicara, hanya tak tahu harus memulai dari mana. Kemudian, larut dalam
keheningan hingga gerimis reda. Langkah- langkah itu terpisah pada ujung pintu
gerbang sekolah, menuju jalan pulang yang berbeda.
Dua surat kubaca dengan
saksama terutama dari Rania, yang menyatakan penyesalannya karena tak mendengar
penjelasanku. Dan mengakui kekalahannya mendapatkan hati Keith. Ternyata Rania
masih ada ikatan darah keluarga dari pihak mamanya. “Dunia ini sempit, Rie.
Keith masih sepupuku dan ia sebenarnya sudah menjadi teman ef-be-mu, sejak aku suggest
pertemanan denganmu. Sayang kalian tidak pernah interaksi.“ Itu kalimat
terakhir di surat dari Rania. Sedang dari Keith, hanya pesan singkat : “Besok,
temui aku di bawah pohon kita, sebelum jam 4 sore, aku menunggu-mu, Keith.“
Sabtu sore aku menuju halaman
sekolah yang masih ramai, banyak teman-teman baru kelar ekskul. Langkahku
langsung tertuju pada halaman belakang sekolah tempat pohon akasia yang entah
beberapa tahun tegak berdiri di sana.
Namanya Keith. Sekarang aku tahu
dia yang bernama Keith. Aku mengenalnya jauh sebelum mereka, teman-temanku,
mengenalnya. Tanpa interaksi, tanpa bertemu, hanya instuisi yang menuntunku.
Senyum sumringah menghias wajahku secerah lukisan sore. Saat cakrawala senja
jatuh di ujung kaki langit sisi kota Jakarta yang riuh. “Keith..Keith..Keith,
aku suka kamu,“ gumamku sendiri sambil berlalu, meninggalkan sepucuk surat
buatnya, di lubang pohon kita. Dalam surat kutulis, “Tunggu aku ya, Keith. Aku
pergi membeli comro. Kita makan bersama, walau di bawah pohon toge sekalipun,
seperti imajinasimu saat itu. Please waiting for me, Keith. - Ririe.“
SELESAI
NB : Cerpen ini untuk sahabatku
musisi/gitaris Keith Rustam.
Selasa, 10 Mei 2016
Kumpulan Cerpen DdR
Di Interlude Aku Jatuh Cinta
Oleh Arie Rachmawati
Senja
merah merona jatuh
di ujung kaki langit Jakarta, indah sekali di antara birunya langit yang bersih
dan awan berarak berganti rupa. Saat itu lamunanku tersadar oleh dering ponsel.
Teringat aku setahun lalu, saat gitaris itu datang menempati tempat favoritnya
di ujung koridor. Hampir tiga bulan ia dengan beberapa temannya sesama
musisi sering mengunjungi tempatku bekerja sebagai waitress di lounge.
Semula
kehadirannya kuanggap biasa saja, layaknya pengunjung- pengunjung lounge
lainnya. Datang dan pergi menikmati suasana lounge yang terletak jauh dari
keramaian kota dan selalu menawarkan sesuatu yang berbeda pada setiap akhir
pekan.
Ia
selalu duduk sendiri memojok pada sudut ruangan, saat teman- temannya satu per
satu meninggalkan dirinya. Ia senantiasa memetik gitar dan di atas meja selalu
berserakan kertas-kertas berisi partitur lagu. Aku tahu hal itu karena dulu aku
sempat belajar musik walau tak mengenal not balok hanya notasi lagu saja,
selebihnya harus berani bermain improvisasi.
Ia
adalah sahabat dari pemilik lounge ini, meski di antara majikanku dengannya
jarang bertemu muka. Aku juga baru mengetahui kalau ia seorang musisi senior
yang di jaman kejayaannya menghasilkan lagu-lagu yang menyentuh dan meledak di
blantika musik.
Bermula
pada suatu malam,
saat ia tinggal sendiri di sudut ruangan dekat kolam ikan, tak jauh dari
tempatku duduk. Malam itu aku shift
malam dan pengunjung satu per satu sudah meninggalkan lounge.
Ia
berambutnya hitam sedikit gondrong, kurus, tinggi, dan berkumis hitam yang
berbaris penuh. Sebentar–sebentar ia berdiri di ujung koridor mematung, lalu
menyulutkan api pada sebatang cerutu yg dipegangnya kemudian mematikan apinya.
Tingkahnya
tenang, tetapi matanya gelisah. Bahkan ia tak menyadari bahwa ada sepasang mata
mengikuti setiap sudut arah pandangnya. Batang cerutu itu kembali berasap. Ada
kenikmatan dalam setiap hisapannya, lalu perlahan dihembuskan asap itu
membentuk lingkaran. Aku cukup menyebutnya “Lelaki Bercerutu,” karena cerutu
itu tak pernah lepas dari tangan kirinya. Kadang aku merasa dekat, saat
mengantarkan segelas Inca Cola pesanannya.
Empat
mata itu bertemu dalam satu pandang. Ketika mata itu semakin dekat aku melihat
keseluruhan sosoknya dan mulai terpikat. “Ah, sialan aku tertangkap basah,”
gumamku dalam hati. Aku menyadari ternyata ia tersenyum dan itu membuatku lupa
menanyakan menu tambahan untuk pemesanan berikutnya. “Terima kasih,” balasnya
singkat.
Suatu
hari, tidak seperti biasanya, kali ini aku menjumpainya di siang hari, kemudian
ia melempar senyum kepadaku. Aku tertegun sejenak melihat sosok yang selama ini
kukenal ternyata kini jauh berbeda. Ia berada di depanku dengan potongan
rambutnya rapi, bahkan wajahnya ada yang beda yaitu tanpa berkumis. Gitar
klasik itu masih dalam pangkuannya dengan gaya khasnya memetik gitar dan
mengalun lagu demi lagu.
Di
tengah terangnya hari tiba-tiba gerimis turun, jatuhnya air dari langit seakan
mengikuti ketukan birama lagu. Di luar dugaan, ia menahan tanganku. Saat itu
aku baru menaruh pesanan menu di atas meja. Karena aku terkejut maka segelas orange juice itu tumpah mengenai kertas–kertas
bertuliskan not balok menjadi luntur tak terbaca lagi.
“Maaf
pak, maaf saya tidak sengaja, maaf,” ucapku berulang kali memohon maaf.
Wajahnya tanpa ekspresi marah sedikit pun, bahkan ikut membantu membenahi
barang–barang yang berantakan di atas meja.
“Nggak
apa–apa. Aku yang salah. Semestinya aku tak membuatmu terkejut, jadi maafkan
aku ya?” pintanya lembut. Tangannya menyentuh punggung tangan kananku, seketika
wajahku serasa tersiram air dan mengangguk pasrah.
Syukurlah
kejadian itu tak diketahui pegawai lain. Aku mengambil langkah seribu dan
bersembunyi di balik rak piring di dapur. Dadaku berdegup kencang. Kedua
telapak tanganku pun menjadi dingin seketika. Sentuhan sesaat itu telah membuat
sekujur tubuhku seperti mendapat sengatan listrik yang dahsyat. Aku tersipu
malu.
Semenjak
itu ia menawarkan jalinan pertemanan meski tak banyak bicara. Dan seperti biasa
ia masih setia duduk di kursi yang sama di ujung koridor lounge ini. Tangannya tak pernah lepas memangku gitar akustiknya.
Nada dan irama masih seperti yang kemarin, sepertinya valse itu masih
belum tergeser. Dan setiap petikan gitarnya seolah–olah membuatku menjadi
kenikmatan tersendiri kala kepenatan mulai memenuhi jadwal kerjaku.
Sudah
seminggu lebih aku tak pernah melihatnya lagi, bahkan rombongan teman–teman
musisi itu juga sudah lama tak singgah ke lounge
ini. Berita yang beredar mereka tengah menggarap album baru. Untuk kebangkitan
kembali grup bandnya itu. Aku membetulkan letak kacamata minusku dan kembali
merajut benang wol berwarna hijau toska itu menjadi sebuah syal. Beberapa
rajutan lagi kelar tinggal membuat rumbai–rumbainya saja. Aku berharap syal
sederhana itu bisa bermanfaat buatnya. Ada sebersit rasa ragu, akankah
keinginanku itu bisa diterimanya.
Rupanya
malam itu sang Dewi Amor tengah berpihak padaku. Ia datang menghampiriku dan
duduk tepat di depanku melantunkan satu lagu. Hingga pada sebuah musik tengah
sebuah lagu atau interlude, serasa
aku terhipnotis. Interlude itu sering
kudengar beberapa waktu yang lalu. Rasa haru menyeruak dan berhasil aku
sembunyikan beningan cair itu yang membuncah di sudut mata.
Ketika
aku beranjak, tiba-tiba tangannya menahanku. Ia menyuruhku bertahan seraya
berkata, “Duduklah, nikmati satu lagu lagi untukmu,” pintanya. Intro itu mengalun dengan syahdu. Aku
duduk berhadap-hadapan dengannya, pandangan mata kami saling beradu dan saling
berbicara tanpa satu kedipan. Hatiku bergemuruh, sedang mulut dan bibir
terkunci diam. Suasana hening hanya terdengar petikan gitar itu merajai suasana
tenggelam sampai petikan terakhir. Serasa dalam mimpi dan tak ingin terbangun.
“Siapa
namamu,” sapanya.
“Denyar,”
jawabku singkat.
“Denyar...,
Denyar? Hmm..., nama yang unik,” jawabnya seperti tengah berpikir.
“Hanya
itu?” ulangnya lembut.
“Yaa...”
jawabku mengangguk pelan
“Kamu
tahu arti namamu?” tanyanya lagi.
“Ya,
artinya semacam firasat,” jawabku pendek.
“Benar.
Denyar semacam serabut halus yang ada di dalam hati. Kita bisa merasakan
sebagai pertanda semacam firasat, intuisi, atau ilham. Ya begitulah, kreatif
juga orang tuamu,ya?” balasnya dengan senyum.
“Denyar,
boleh aku panggil kamu dengan panggilan, Ar saja?” ucapnya memohon.
“Namaku
James Wong. Panggil aku Jim saja!. Tanpa pak, ya?”ucapnya sambil mengulurkan
tangan.
“Iya,
terima kasih, pak Jim. Maaf, saya pamit banyak perkerjaan yang harus
diselesaikan. Maaf, mungkin lain kali kita bisa ngobrol banyak,” balasku dengan
santun menyudahi pembicaraan itu. Aku segera menghilang di balik tembok yang
memisahkan ruangan tengah dan ruang samping. Suaranya serak dan berat, namun
lembut ada kedamaian saat ia berkata, benar-benar telah membuatku mabok
kepayang.
Hari
itu aku baru selesai shift sore, pak Jim sudah menunggu di beranda.
Malam itu kami menghabiskan waktu untuk mengobrol dan sesekali ia memainkan
gitar akustiknya. Kali ini interlude
itu dalam kesempurnaan. Interlude
yang pernah dipersembahkan untukku. Ada senyum kepuasaan terlihat di wajahnya.
Dan aku menikmati suasana itu.
“Maaf,
sebelumnya saya tidak mengetahui siapa bapak. Teman–teman di sini mengatakan
bapak dulu musisi dan pencipta lagu. Saya lebih suka merajut, sambil
mendengarkan musik intrumentalia.
Maaf saya, kurang pergaulan,” kataku membuka pembicaraan.
“Ha
ha ha, seleramu bagus juga. Jarang gadis seusiamu menyukai pekerjaan tangan
semacam itu. Salut!! Oya aku dengar, kamu suka menulis. Selain menulis cerpen,
menulis apa lagi?” tanyanya menyelidik.
“Menulis?”
tanyaku ulang.
“Siapa
yang mengatakan demikian, Pak?” Pikiranku langsung tertuju pada ibu Mia pemilik
lounge ini. Hanya beliau yang mengetahui aku suka menulis cerpen. Kebetulan
malam itu tiba–tiba Ibu Mia muncul dan ikut bergabung dalam pembicaraan.
“Wah,
rupanya kalian sudah akrab, ya? Syukurlah tak perlu lagi saya mengenalkan
kalian masing-masing.” Aku menjadi salah tingkah namun situasi itu segera
terkendali.
“Duduklah
Denyar, tugasmu sudah selesai, bukan? Menemani dan membuat nyaman para tamu
adalah servis lounge kita, bukan?”
ucap Ibu Mia mempersilahkanku. Kami bertiga larut dalam canda, meski dalam
keadaan itu aku hanya sebagai pendengar yang baik saja. Kemudian, Ibu Mia
segera pamit dan tinggallah kami berdua.
“Ar,
besok malam aku kembali ke Amersfoort.”
“Amersfoots?
Di mana itu?”
“Dekat
Belanda.”
“Apakah
itu dalam waktu lama atau sebentar saja?”
“Apa
kau tak tahu aku tinggal di sana. Kunjunganku ke Indonesia karena teman-teman
akan membuat album lagi, sekedar reuni dan nostalgia dalam bermusik.” Aku
mengangguk, karena memang tak tahu beradaannya selama ini.
“Secepat
itu? Aku merasa baru mengenalmu.”
“Ya.
Tapi aku sudah menundanya hingga besok. Semestinya dua minggu lalu aku kembali
ke Amersfoort. Kamu tahu kenapa, Ar?” Aku tentu saja menggelengkan kepala dan
tak meningkahi pembicaraan itu. Gemuruh di dadaku mulai bangkit, menantikan ia
melanjutkan cerita.
“Karena,
tiga minggu terakhir ini aku merasa dekat denganmu. Dan, aku diam– diam
mengamatimu dengan bantuan Mia. Aku sudah membaca tulisanmu di buku bersampul
jingga itu. Aku tertarik dan suka caramu menulis. Liar, bebas dan polos.
Mungkin suatu saat kita bisa duduk bersama menulis lirik lagu. Teruskan Ar dan
aku akan berdoa untukmu. Aku yakin kamu kelak akan menjadi seorang penulis
terkenal,” tuturnya dengan panjang lebar.
“Benarkah?
Musisi sehebat kamu menawarkan itu untukku? Ah, jangan membuatku
melayang,” kataku dengan becanda dengan hati berbungah.
“Kenapa
harus dipungkiri bukankah di bukumu itu bercerita tentang perasaanmu
terhadapku. Justru akulah yang merasa tersanjung, Ar.”
“Akulah
yang tersanjung, orang sehebat kamu peduli dan perhatian padaku, aku hanya
seorang waitress, tak lebih.”
“Huuush...,
kamu ngomong apa sih?. Aku melihat sesuatu yang lebih dalam dirimu yang belum
terungkap, percayalah.” Kemudian ia duduk merapat dan aku jatuh dalam
pelukannya. Sementara malam kian tengelam dan larut hanya bintang gemintang
bertaburan di langit gelap. Semilir angin malam menyapu keheningan.
“Tinggalkan
nomor selulermu, biar kita tetap berhubungan walau jarak memisahkan kita.”
bisiknya ditelingaku.
“Sebentar
ya, aku punya sesuatu untukmu.” Segera aku mengeluarkan bingkisan dari tas.
Kuberikan itu kepadanya. Aku berharap cemas saat ia membukanya dengan perlahan
dengan sorot matanya sesekali tertuju padaku.
“Maaf,
aku belum sempat membungkusnya dengan rapi, baru tadi pagi syal ini kelar. Aku
berharap kau menyukainya.”
“Terima
kasih ya, Ar.” Satu helaan nafas panjang. Ia memberikan kembali bingkisan itu
kepadaku dan aku melilitkan syal hijau toska itu pada lehernya, kemudian ia
membalasnya dengan satu kecupan di keningku. Kali ini aku benar– benar tak bisa
lagi membendung rasa mengharu-biru itu. Dan membiarkan keadaan berlaku. Malam
itu adalah malam terindah sepanjang hidupku.
Waktu
bergulir,
menggulung hari demi hari. Pertautan itu telah berjalan setahun lebih. Aku tak
lagi bekerja di lounge itu, sejak ia
pamit kembali ke Amersfoort. Komunikasi kami terbatas jarak dan waktu, hanya
lewat facebook-lah alat satu-satunya yang bisa membuat ruang rindu itu
semakin penuh angan dan impian.
Menjalin
kata dalam status dan meng-upload foto baru darinya adalah kegiatan yang
amat kunantikan. Hingga suatu hari, aku baru mengetahui keberadaannya setelah
sekian lama tidak aktif. Berita merebak bahwa ia tengah mendapat perawatan
khusus karena penyakitnya rada serius. Beberapa support dan ucapan dari
sahabat-sahabatnya memenuhi dinding facebook-nya. Tentu hal itu amat
membuatku tak tenang.
Seperti
awan gelisah berganti rupa dan pepohonan menggugurkan daun-daun kering,
melayang jatuh ke tanah dan terbuang. Beberapa kali aku menghubungi seluler-nya
pun tak berbalas. Satu-satunya orang yang bisa kuhubungi adalah Ibu Mia, sayang
nomor itu sudah tak aktif lagi. Jalan satu-satunya mendatangi tempatku bekerja
dulu.
Bersamaan
itu langkahku membawa ke lounge itu menghadirkan sekelebat wajahnya yang teduh,
tengah memetik gitar akustik. Wajah yang pernah akrab dengan sentuhan interlude
yang selalu diulang untuk hasil akhir yang sempurna.
Ibu
Mia tiba-tiba berdiri di depanku dengan sepasang mata yang sembab dan memeluk
diriku. “Maafkan aku ya Denyar, sudah lama ia menitipkan ini padaku. Aku
terlalu sibuk hingga aku nggak sempat menghubungimu. Dan aku ganti nomor. Ia,
Jim sudah berpulang seminggu yang lalu. Aku kehilangan seorang sahabat,”
ucapnya panjang lebar di antara isak tangisnya.
“Meninggal
dunia? Kapan, Bu?“
“Ia
dimakamkan di mana, Bu?“ tanyaku gamang.
“Di
Amersfoort, bersebelahan dengan mendiang istrinya.“ Aku hanya diam terpaku,
serasa tak percaya berita duka itu. Kini sebuah compact disc berpindah tangan kepadaku. Dalam genggamanku aku
membaca sebuah tulisan, “Buat Teman Malamku.”
Ada
rasa haru yang amat dalam yang menguasai relung hatiku. Aku berusaha pasrah
bahwa seseorang yang pernah melewati malam-malam panjang bersamaku, kini telah
menuju sang Pencipta kembali kepada-Nya.
Aku
baru mengenalnya dan merasa dekat dengan sosoknya yang bersahaja. Namun
kedekatan itu serasa aku telah mengenalnya sekian waktu yang lama. Petikan
gitarnya dalam album soft launching itu sebagai penawar rindu, dalam
interlude aku pernah jatuh cinta pada lagu itu. Mengalun dalam keheningan,
sebuah senandung malam dalam petikan gitar akustik mengantar pada akhir
perjalanan hidupnya.
“Selamat
Jalan James Wong, petikan gitarmu mengalun abadi dalam kalbuku.“
SEKIAN.
(Buat
: Alm.Jimmy Paais /SYMPHONY-JRS)
Dimuat
di Tabloid Gema Publik, Edisi 01/Februari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)