Rabu, 11 Mei 2016

Kumpulan Cerpen DdR


SURAT UNTUK KEITH
Karya Arie Rachmawati



Namanya Keith. Aku tak kenal dia, tapi teman sebangkuku sering menyebutkan nama itu. ''Lihat Keith, baru aja lewat, cool banget. Senyumnya itu lho....Gilaaa!'' seru Rania sambil mencubiti pipiku sebagai pelampiasan rasa gemasnya. Aku meringis kesakitan. Hampir sebulan nama itu menjadi topik pembicaraan di sekolah bahkan di kelasku. Lagi-lagi nama Keith, disebut anak XI-IPA-3 saat itu aku melintasi mereka di pojok kantin. ''Keith?'' gumamku sendiri.
Nama itu tiba-tiba merebak di hatiku. Aku tersenyum-senyum sendiri, padahal aku tak tahu cowok yang bernama Keith itu. Rania mulai bercerita bahwa Keith anak baru pindahan dari Bandung. Yang menarik dari Keith adalah anak band. Piawai memainkan beberapa alat musik. Dan kata Rania lagi, dia dengan Keith pernah satu panggung saat festival musik Indie antar pelajar se-Jawa yang diadakan di Bandung. Grup band Keith, “Moulin Rouge” menjadi band favorit dan grup band Rania keluar sebagai pemenang harapan pertama. Pertautan itu terjalin setahun lalu. Kini Keith dan Rania bertemu lagi dalam satu halaman sekolah. Mereka seperti teman lama yang berjumpa kembali. Dan Rania bangga banget menjadi orang pertama yang dikenal Keith di lingkungan barunya.
''Aku naksir dia udah lama, Rie. Tahu nggak kamu, Keith itu baiiiiik banget. Dia mau ngajarin aku main musik,'' cerita Rania panjang lebar.
“Oh ya?” balasku singkat,
“Aku jadi bosan dengar tiap hari cerita tentang Keith melulu!!” jawabku dengan wajah cemberut.
''Eh, kamu kok nggak tertarik sih?'' tanya Rania menyelidik.
''Bener..nggak, ah! Ngapain berebut satu cowok, kayak bola aja..hahaha,'' candaku. Rania merengut, lalu membolak-balikkan buku bahasa Jerman. Sedang hatiku tiba-tiba mulai tergoda, siapakah Keith itu. Anak baru yang jago musik yang menjadi pembicaraan di sekolah. “Keith?” tanyaku dalam hati.
Hari itu bu Anne guru bahasa Jerman berhalangan masuk. Spontan saja anak-anak sekelas jingkrak-jingkrak kegirangan, berarti ulangan ditunda.
''Cihuuuuy!!'' teriak Rania memekakkan telingaku. Rania mulai merayuku, seperti biasanya minta dibuatkan puisi.
''Rie, bikin dong satu aja yang puitis, yang romantis, yang bikin Keith klepek- klepek...waaakss!!'' pintanya manja.
''Iya ntar aja, aku lagi nggak mood. Lagi pingin sendiri,'' kataku datar.
''Kenapa?''
''Nggak kenapa-napa,'' sahutku malas.
“Duh! Lagi-lagi dia lagiiii...Rania, padahal tadi kita sepakat nggak usah ngomongin dia!“
“Aku tuh lagi be-te. Please dong Ran!“
''Sorry ya Rie. Aku nggak tahu kamu lagi be-te. Pasti gara-gara dia deh, temen ef-be-mu. Siapa namanya?'' tanya Rania antusias.
''Udah aku remove!'' jawabku singkat.
''Good! Sip? Jangan sedih, kita berpelukan dong, Say,'' ucap Rania menghibur. Kami sering melakukan itu berpelukan : seperti adik Rania menirukan gaya teletubbies.

Sore itu hujan turun deras, padahal sebelumnya cuaca terang benderang dan terasa terik sekali . Aku masih setia menanti hingga hujan reda, di dalam toko cokelat The Harvest, belakang Sarinah, Thamrin. Ojek payung menawarkan jasanya. Payung-payung itu menari-nari di antara rinai hujan. Sekelebat seperti jamur berwarna-warni yang tumbuh subur di musim penghujan. ''Hmm...''gumamku dalam hati. Lalu pintu terbuka, seorang cowok berkacamata minus masuk, dekat dengan tempatku berdiri. Ditutup rapat payung basah itu,dan ditegakkan. Tetesan air jatuh membasahi lantai toko. Sore itu di toko itu hanya ada aku dan dia sebagai pengunjung toko. Jadi sewaktu kasir mengulang-sebut kue-kue yang dibelinya atas nama Keith, aku mendengarnya dengan jelas. Saat nama itu disebut aku memutar balik ke arahnya.
''Keith...'' gumamku pelan. ''Ah, pasti banyak cowok bernama Keith,'' sahutku sendiri.
Rupanya hujan bukan reda malah semakin deras. Suhu ruangan terasa dingin. Kini aku berdiri berjajar dengannya. Sesekali aku mencuri pandang, tapi kali ini ah, sialnya tertangkap basah. Untung dering hapeku menyelamatkan aku dari tatapan matanya yg tajam. ''Beeppzz...,'' bunyi hapeku dalam keadaan silent hanya getaran saja.
''Iya. Masih di Harvest, hujannya deras banget,'' ucapku menjelaskan. Rania menelpon, bercerita bahwa puisinya sudah dikirim lewat SMS ke Keith. Kini ia menantikan balasan. Selang beberapa menit dering telepon dari hape sebelah, namun si pemiliknya lagi asyik menikmati musik dari dalam kantong jaketnya. Nada dering yang akrab kudengar “Love Is Forever”-nya Muse, sangat mengganggu dan terpaksa aku menyentuh tangannya dan memberi kode bahwa ada telepon masuk. Matanya melotot setelah tadi terpejam.
''Thanks..,'' jawabnya singkat.
''Hai Rania, belum. Belum aku lihat, nggak dengar ada sms masuk. Thanks Ran. Iya aku lagi di Harvest, hujan nih,'' katanya. Cowok itu sambil menelpon matanya tertuju padaku tanpa kedip. Bahkan seperti melihatku sebagai makhluk aneh. Dan aku segera menghindari tatapan matanya.
''Rania?'' kataku keceplosan.
“Berarti cowok di sebelahku ini adalah si Keith itu,“ gumamku. Keyakinanku semakin masuk akal dari arah pembicaraan mereka membahas puisi. Puisi? Jangan-jangan itu puisi yang kubuat kemarin atas permintaan Rania.
Telepon selesai. Dan..
“Hai kamu kenapa bengong gitu?“ sapanya tiba-tiba.
“Aku?“ jawabku balik.
“Iya. Kamu tadi sebut Rania? Kenal?“
“Rania yang mana? Kan yang namanya Rania banyak!”
“Rania anak SMA 3 XI IPS 1. Kenal?” tanyanya ulang. Aku tetap menggelengkan kepala. Bertahan pada pendirian.
“Seragam batik kita sama...,“ jawabnya meyakinkan.
“Tapi tadi dia bilang, kamu adalah teman sebangkunya. Dan ia menyebutkan The Harvest ini. Aneh?“
“Maaf, aku nggak kenal,“ ucapku segera pergi meninggalkan dirinya. Menerobos rinai hujan tanpa harus berpayung. Dengan langkah seribu menuju tikungan jalan Sabang, melewati penjaja kaki lima yang berjajar sepanjang trotoar menuju gang kecil dibalik rimbunnya pertokoan, dan tiba di rumah.
Kuletakkan kotak kue The Harvest, di atas meja makan. Rambutku basah oleh rintikan hujan. Degup di dadaku masih berasa saat kupandangi wajah itu, Keith. Benar itu Keith yang ramai dibicarakan di sekolah. Kini aku harus mengakui ia benar- benar menarik. Ia sederhana tapi mempunyai daya tarik seperti kutub magnet saat matanya menatapku dari balik kacamata minusnya. Mungkin aku harus menelan lagi kata-kataku kemarin. “Oh My Gooooodd!” desahku pelan.
Aku teringat tentang puisi yang aku buat kemarin atas permintaan Rania, seperti intuisi saja aku merasa mengenalnya. Kemarin aku membuat puisi berdasarkan cerita Rania, saat ia menggambarkan sosok Keith. Seandainya Rania mengerti bahwa membuat puisi berdasarkan pesanan adalah tidak nyaman, meski tawaran imbalannya menggoda: sebuah novel Eclipse terbaru. Puisi adalah wakil dari suara hati melalui tulisan. Itu sebabnya aku agak malas kalau bukan teman-teman terdekat memintaku membuat puisi buat gebetan baru mereka. Bila aku menyerah, biasanya aku meminta mereka menggambarkan seperti apa orang yang akan kubuatkan puisi agar aku bisa berimajinasi tentang sosok itu. Dan ternyata apa yang aku gambarkan mengenai sosok Keith adalah benar. Ia seakan menari-nari dalam anganku. Seperti ada yang menuntunku.

Dua hari Rania absen karena sakit. Katanya hanya demam biasa, tetapi berita baru yang beredar, ia dirawat karena demam berdarah. Kini aku baru merasakan kehilangan dirinya, yang selalu ceriwis dan ceria. Aku merindukan cerita-cerita serunya terutama tentang Keith. Tentang dia. Hanya Rania yang mau berteman denganku, dan sabar menghadapiku yang agak aneh menurut mereka.
Aku bukan seperti mereka, remaja pada umumnya. Aku lebih suka sendiri. Sendiri membuat aku akrab dengan diriku sendiri.
“Aku tahu kamu memikirkan Rania, ya?“ Tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunanku.
“Keith?“ tanyaku terkejut. Ia mengangguk dan duduk di dekatku.
“Kamu tahu namaku?“ tanyanya tanpa ragu. Aku beranjak tapi tangan itu menarikku untuk duduk kembali.
“Ada apa denganmu? Kenapa waktu kita bertemu di The Harvest, kamu berbohong? Lalu pergi!“ tanyanya bertubi-tubi.
“Maaf waktu itu aku terkejut dan tak yakin kamu adalah Keith yang sering Rania ceritakan....Maaf ya,“ pintaku melemah.
“Emangnya dia cerita apaan?“
“Banyaaak....Dan yang jelas kamu jago main musik.“
“Hehehehe, bisa aja tuh dia.“
“Tapi benar, kan?“
“Iya, cuma bisa aja, mahir nggak juga. Apalagi jago....Halaaaah!”
“Rania bilang kamu akan mengajarinya bermain musik....“
“Kenapa kita bicarakan Rania, kenapa nggak bicara tentang kita?“
“Kita?“
“Ya, kamu dan aku saja...Kita?“
“Aku udah tahu puisi dari Rania, kamu yang bikin. Ngaku aja kenapa?”
Seribu alasan tak akan bisa memenangkan keadaan terjepit, kecuali bunyi bel tanda istirahat berakhir. Dan....Treeeeeettt bel itu akhirnya menyelamatkanku. Huuuufft!!
Sejak itu hampir setiap jam istirahat aku bertemu Keith di bawah pohon akasia yang terletak di belakang sekolah. Tempat itu dulu tempatku berbagi dengan diriku sendiri saat aku tak ingin siapa-siapa menemaniku, meski Rania sahabatku sekalipun. Pohon itu seakan tak ingin berbagi dengan siapa pun. Bila ada sekumpulan anak- anak kelas lain duduk di bawah pohon itu, selalu ada sesuatu yang jatuh menimpa
salah satu dari mereka dan akhirnya mereka segera pergi meninggalkan tempat itu. Namun aneh, saat aku duduk bersama
Keith, segalanya berlangsung aman-aman saja.
Keith mulai rajin menemaniku pada jam istirahat pertama atau kedua. Bila ia tak bisa hadir, ia akan menitipkan secarik kertas mungil yang diselipkan di antara batang pohon yang berlubang tertutup rimbunan lumut. Waktu itu ia yang menemukan dan aku yang mengusulkan ide itu. Proses pertemanan yang singkat dan menjadi akrab. Aku suka Keith. Ia humoris, sering membuatku tertawa. Keith membuatku berbeda dari biasanya. Yang paling mengakrabkan kami adalah kegemarannya makan toge. Semua yang berhubungan dengan toge, ia antusias banget bercerita. Juga makanan ala warteg, itu yang membuatku kagum. Aku pikir ia akan bercerita tentang musik dan grup band-nya, seperti yang Rania ceritakan. Musik membuatku iri, karena aku tak bisa bermain musik seperti kakakku, Rara. Andai dulu aku tekun pasti satu alat musik bisa kukuasai.
“Kenapa kamu nggak memulainya lagi?“ tanyanya.
“Memulai?“ tanyaku balik.
“Ya lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali,“ itu jawabannya saat aku bercerita ingin berlatih musik. Aku berpikir dan boleh juga usulnya itu. Tiba-tiba ia menyodorkan padaku dua buah kue comro, tepat di hidungku, hingga aroma oncom baru digoreng masih tercium hangat.
“Comro?“ tanyaku kaget.
“Kamu nggak mau?“
“Anak sebeken kamu mau makan comro?“
“Emang kenapa? Ya udah buat aku aja,“ serunya. Namun segera aku meraih comro itu sebelum hilang dalam genggamannya.
“Bukan....Aku mau, Keith!“ Saat itu wajahnya dekat dengan wajahku, degup jantungku berdetak kencang. Empat mata tanpa kedip hingga tanpa sadar, hidungnya menyentuh ujung hidungku. Mataku terpejam lalu kupalingkan wajahku. Dan comro di tangannya lepas menggelinding ke tanah. Duh! Bersamaan itu Rania sudah berada di depanku dan tanpa sempat menghindar tiba-tiba tangannya mendarat di wajahku. “Plaaak..“
“Munafik kamu, Ri! Katanya nggak suka, malah diam-diam pacaran dengan Keith. Sebeeelll.... Sahabat macam apa kamu, Rie?!“ Keith melerai dan membiarkan Rania meninggalkan kami dengan amarah yang meluap. Keith tak menyusul Rania namun tetap berdiri di dekatku dengan salah tingkah.
“Keith, pergilah!. Biarkan aku sendiri, susul dia aja.“
“Rie, aku nggak ada hubungan apa-apa dengannya. Jadi buat apa aku menyusul dia?”
“Tapi Rania sangat suka kamu, dan berharap kamu jadi pacarnya,” ucapku beranjak meninggalkan Keith yang masih bersandar pada pohon. Aku ingin menjelaskan pada Rania, tapi aku rasa pembelaanku sia-sia belaka. Hingga kuputuskan segala bentuk marahnya aku terima tanpa melawan sedikit pun.
Sejak itu aku menghindari bertemu Keith di bawah pohon itu. Saat aku mengunjungi pohon itu, aku menemukan beberapa pesan singkat yang ditulis dari secarik kertas, dengan isi yang sama.
”Maafin aku, Rie. Besok kita bertemu di sini, ya?. Aku beli comro untukmu.” Namun, aku sengaja tak mau menemuinya lagi. Sekelebat ia sering melintas di depan kelas, dan mencuri pandang. Aku tak mau membuat Rania semakin marah, lebih-lebih Keith hanya menganggap sebagai teman biasa saja. Rania tak seriang dulu, kini ia pendiam. Hal ini membuatku semakin tersudut. Hari-hari penuh kebisuanku kini menjadi santapan biasa. Suatu hari aku tak menemukan pesan- pesan Keith, pada lubang pohon itu. Langit serasa runtuh. Hatiku meringis. Keceriaan Keith hanya kunikmati dari pesan-pesan singkatnya itu. Janjinya tetap sama, ingin menikmati makan comro berdua denganku di bawah pohon. Dan itu tak pernah kupenuhi. Hape? SMS? Kami tak pernah membahas. Aku lebih suka dengan cara unik ini walau harus menunggu jam sekolah selesai dan sepi.
Bubaran sekolah, tiba-tiba ada sebuah tangan menarikku. Ternyata Keith. Kacamatanya hampir jatuh saat aku berusaha melepaskan tarikan tangannya itu.
Beberapa pasang mata memandangku penuh tanya. Keith menarikku memaksa dan kami berjalan menuju pohon akasia tempat biasa bertemu.
“Rie, aku capek dengan hubungan kita,“ katanya menahan emosi.
“Aku nggak pernah menganggap kita berhubungan,“ jawabku ketus.
“Kamu pikir aku menemanimu di sini itu hanya iseng doang?”
“Aku tak pernah memintamu datang ke sini.“
Ia diam membalikkan badannya. Dan nada dering dari Muse memecahkan bisu. Ia tak mengangkatnya malah me- reject-nya. Ia tahu lagu itu kesukaanku dan Rania. Sejak menonton Twilight, aku menyukai lagu-lagu soundtrack-nya yang dipercayakan pada Matt Bellamy dkk. Justru bukan suka pada sosok si Vampire ganteng, Robert Pattison. Langit masih terang tetapi tiba-tiba butiran air jauh dari langit. Gerimis. Rimbunan dedaunan mampu melindungi dari gerimis tak diundang. Keith merapatkan tubuhnya tanpa jarak ke arahku. Kami masih bertahan diam, hanya hati yang bicara. Lalu, Keith mengeluarkan dua surat untukku, satu dari Rania dan satunya lagi darinya.
“Rie, ntar aja baca di rumah. Nggak perlu kamu balas kalau emang nggak perlu dibalas, cukup dibaca doang,” ucapnya kalem.
“Iya thanks, Keith,” balasku menimang-nimang dua surat itu.
“Oya, ini kubawakan comro yang dulu belum sempat kamu makan. Makanlah! Aku tadi sudah makan saat menunggumu.”
“Makasih ya, Keith. Kamu baik sekali!”
Aku hanya mematuhi semua yang ia saranku, aku seperti robot yang sudah diprogram. Perlahan kugigit comro yang dingin itu. Sekilas ia menatapku lalu dipalingkan wajahnya. Sebenarnya aku ingin bicara, hanya tak tahu harus memulai dari mana. Kemudian, larut dalam keheningan hingga gerimis reda. Langkah- langkah itu terpisah pada ujung pintu gerbang sekolah, menuju jalan pulang yang berbeda.

Dua surat kubaca dengan saksama terutama dari Rania, yang menyatakan penyesalannya karena tak mendengar penjelasanku. Dan mengakui kekalahannya mendapatkan hati Keith. Ternyata Rania masih ada ikatan darah keluarga dari pihak mamanya. “Dunia ini sempit, Rie. Keith masih sepupuku dan ia sebenarnya sudah menjadi teman ef-be-mu, sejak aku suggest pertemanan denganmu. Sayang kalian tidak pernah interaksi.“ Itu kalimat terakhir di surat dari Rania. Sedang dari Keith, hanya pesan singkat : “Besok, temui aku di bawah pohon kita, sebelum jam 4 sore, aku menunggu-mu, Keith.“
Sabtu sore aku menuju halaman sekolah yang masih ramai, banyak teman-teman baru kelar ekskul. Langkahku langsung tertuju pada halaman belakang sekolah tempat pohon akasia yang entah beberapa tahun tegak berdiri di sana.
Namanya Keith. Sekarang aku tahu dia yang bernama Keith. Aku mengenalnya jauh sebelum mereka, teman-temanku, mengenalnya. Tanpa interaksi, tanpa bertemu, hanya instuisi yang menuntunku. Senyum sumringah menghias wajahku secerah lukisan sore. Saat cakrawala senja jatuh di ujung kaki langit sisi kota Jakarta yang riuh. “Keith..Keith..Keith, aku suka kamu,“ gumamku sendiri sambil berlalu, meninggalkan sepucuk surat buatnya, di lubang pohon kita. Dalam surat kutulis, “Tunggu aku ya, Keith. Aku pergi membeli comro. Kita makan bersama, walau di bawah pohon toge sekalipun, seperti imajinasimu saat itu. Please waiting for me, Keith. - Ririe.

SELESAI

NB : Cerpen ini untuk sahabatku musisi/gitaris Keith Rustam.