Minggu, 08 Mei 2016

Kumpulan Cerpen DdR


Wajah Dibalik Kerudung
Karya Arie Rachmawati


Ia duduk santun. Wajahnya menunduk, sebagian kerudung putih berbahan satin jatuh bergerai menutup sebagian wajahnya. Hanya tampak sebagian hidung bangirnya. “Subhanallahu, cantik sekali makhluk ciptaan-Mu Ya Rabb,” gumamku dalam hati .Tanpa make-up bahkan polesan lipstik pun auranya sudah tampak.
Hanya tinggal beberapa laki-laki berumur dalam masjid, ba’da sholat jum’atan. Aku masih tak beranjak dari tempat bersilaku. Nikmat dzikir masih enggan aku akhiri. Ia berkata lirih hingga aku yang berada didekatnya pun nyaris tak mendengar percakapannya dengan bapak tua yang memakai kain sorban itu. Sepertinya lelaki itu yang dituakan dalam majelis itu. Lalu aku memperhatikan dengan seksama proses singkat yang terjadi siang itu. “Asy-hadu Anlaa IlaahaIllalah, Wa-Asyhadu Anna Muhammadan Rasullah.“ Dua kalimat syahadat itu diucapkan dengan pelan dan khusuk sekali. Ia menyeka air mata yang menetes di kedua pipinya. Langit biru jernih dan bertasbih.
Siang yang terik seketika redup, semilir angin berhembus melalui tiang- tiang masjid terasa menyejukkan. Hari itu aku merasakan hari Jum’at yang berbeda. Ini hari Jum’at-ku yang kedua selama di kota Jambi, Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Masjid Agung seribu tiang itu menjadi saksi bisu satu lagi umat-Nya menjadi mualaf. Ia mualaf yang terindah menurutku. Sejak itu tiba-tiba ia, perempuan mualaf itu memenuhi pikiranku. Aku tak mengenalnya tetapi hampir setiap aku berada di suatu tempat sekelebat aku melihat bayangnya. Beberapa hari yang lalu aku melihatnya di toko buku. Di rak buku khusus agama Islam, aku melihatnya. Ia duduk memilih beberapa buku tentang Islam. Kemudian hari ini aku melihatnya duduk di sebuah kedai kopi, depan pangkalan taksi. Ia duduk tak jauh dariku, hingga aku bisa melihat seraut wajahnya dengan jelas dari arah depan, meski kadang ia suka menunduk untuk membaca buku. Sepertinya buku itu yang dibelinya tempo hari. Benar-benar sebuah pemandangan yang tak boleh dibiarkan begitu saja. “Subhanallahu, cantik nian,“ gumamku. Tanpa terasa sebuah cabe tertelan masuk tanpa permisi menyangkut diteggorokan.
Gleeek...,segelas air putih mengguyur masuk untuk segera digiling. Suara sendawaku, tiba-tiba menarik perhatiannya. Diletakkan buku itu. Seluruh pandang matanya tertuju padaku. Sepertinya ia menahan tawa, saat melihat reaksi spontanitasku akibat suara aneh tak diundang itu. Lalu ditutupnya wajahnya dengan buku itu, “Tuntunan Shalat Lengkap.“
Seperti busur anak panah langsung tepat mengena jantungku. Serasa ditampar tangan bapak. “Astaqfirullahalladzim...,” desahku malu. Aku yang mengaku Islam sejak lahir namun sholatku hanya seingatnya saja. Bahkan sholat Jum’at pun sering aku lalaikan. Baru dalam kunjungan tugas ini, tiba-tiba ada panggilan yang mengantarkan aku luruh dalam ampunan dosa. Dosaku menggeliat. Aku duduk melepas kaos kaki dan memasukkan dalam lubang sepatu. Saat menaruh di tempat penitipan sepatu dan sandal, aku melihat perempuan mualaf itu. Adzan magrib berkumandang. “Allaahu Akbar...Allaahu Akbar “ Muazin bertubuh kurus itu ternyata bersuara lantang. Aku menyimak dan membalas seruan adzan itu dalam hati. “Ya Allah, lagi-lagi perempuan itu menarik perhatianku,“ gumamku sendiri. Begitu indah pemandangan itu, saat ia membaca doa setelah berwudhu dengan bantuan buku itu. Buku yang kemarin menutupi wajahnya. “Subhanallahu...“

Usai shalat berjama’ah aku beranjak, kali ini dzikir sengaja aku tunda. Aku melihat sekeliling dan ia pun tak tampak di barisan shaf kedua. Aku gelisah. Bergegas menuju halaman masjid penuh pepohonan. Aku meninggalkan masjid menuju tempat penginapan tak jauh dari tempatku berdinas. Kulewati motel itu, aku berharap ia duduk di kedai kopi depan pangkalan taksi, seperti kemarin. “Nasi goreng ikan asin, satu,“ pintaku pada pelayan kedai kopi itu. Sebuah teh manis hangat dengan alas tatakan piring kecil hadir dengan kepulan asap tepat di depanku. Menunggu nasi goreng, aku membalas beberapa SMS dari rekan kerjaku.
“Nasi goreng ikan asin, satu, Bang,“ ucap seseorang tak lain adalah ia perempuan mualaf.
Dadaku tiba-tiba bergemuruh. Sekilas mata kami bertemu dan segera mengalihkan pandangan. Sajian nasi goreng ikan asin itu belum kusentuh. “Ya Allah, penyakit apakah ini tiba-tiba merajam seluruh tubuhku,” desahku. Kini giliran mataku sengaja tak kuperlihatkan bahwa aku mulai tertarik padanya.
“Assalamualaikum...tempat ini kosong, Bang?” katanya menyapa. Aku mengangguk tanpa bersuara, bahkan menjawab salam pun suara tertahan di dahan kerongkongan. Ia kembali menekuni buku yang lain. Aku duduk berhadapan dengannya. Kuperhatikan alisnya yang lebat, hidungnya yang bangir. Namun aku melihat kejanggalan, seperti sebaris kumis tipis nan lembut. Mirip adik perempuanku yang memiliki kelebihan seperti itu. Kutepis ragu itu. Lalu ia melahap dengan pelan-pelan nasi goreng ikan asin itu. Aku pura-pura membalas SMS dan browsing internet dari handphone-ku. Dan akhirnya ia selesai duluan. Sengaja aku menyusulnya. Ia menoleh kebelakang saat bayanganku menyamai langkahnya.
“Boleh aku berkenalan denganmu?“ ucapku mengulurkan tangan. Ia membalas dengan satu anggukan.
“Siapa namamu? Aku Musliman,“ jawabku singkat.
“Lia,“ jawabnya menunduk.
“Duh..., kenapa ia sering banget menunduk mirip gadis-gadis tempo dulu,“ gumamku semakin penasaran. Langkah kami berdua mengarah ke terminal angkot yang terletak di tengah kota. Terminal Rawasari.
“Abang ndak mau kemano? Kami hendak ke Thehok,“ tanyanya dengan dialek Jambi.
“Ya ya sama...,” ucapku gagap. Dalam hati aku bertanya daerah mana itu. Aku membiarkan langkahku selaras dengannya. Dalam angkot berisik sekali musik berirama khas Padang disco remix benar-benar membuatku jengah. Ia tersenyum manis. “Abang bukan orang sini, yo?” tanyanya tersenyum. Aku mengangguk, malu. Untung saja aku sendirian. Apabila teman-temanku mengetahui bakalan aku dibuat bulan-bulanan. Seorang playboy sepertiku bisa luluh pada seorang perempuan biasa mengalahkan Angie desainer interior yang seksi itu, atau gemulainya penari latar April atau si imut Esti yang terakhir telah membuatku klepar-klepar. Menurutku Lia, perempuan mualaf itu lebih memikat dengan kerudungnya.
Langkah kami berhenti pada rumahnya sederhana hanya terbuat dari papan tua. Berdempetan dengan tetangganya. Mereka menyebutnya rumah bedeng. Begitu masuk ruang tamu yang sempit tanda salip sudah terpampang di dinding. Rupanya ia sebelum mualaf adalah pemeluk agama yang taat. Tak pelak lagi kini ia menjadi mualaf begitu semangat mempelajari agama tauhid. Kagumku kian beralasan. Aku hanya mampir dan menghargainya saat menyuguhkan segelas air putih dingin. Malam kian menjelang dan aku berpamitan. Kami bertukar nomor handphone. Yang aku ingat saat ia menemani menunggu angkot yang akan membawaku kembali ke terminal angkot Rawasari, “Bang, terima kasih mau berkenalan dengan kami. Nanti ajari kami tentang Islam yo?” ucapnya ramah. Aku hanya mengangguk saja lalu aku masuk angkot dan keesokan harinya aku sudah meninggalkan Jambi. Dua minggu di Jambi aku menemukan sesuatu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku jatuh cinta padanya.

Jakarta masih bergemul macet dan polusi. Demo di Bundaran Hotel Indonesia adalah pernak-pernik kehidupan di Jakarta menambah keruwetan lalu lintas. Seperti itu gambaran suasana hatiku, hati seorang penabur pesona yang kini hilang gairahnya untuk berkencan dengan siapa pun. Setiap ada waktu luang aku jelajahi toko buku. Aku mencari bermacam-macam buku agama. Hal itu tentu membuat sebagian rekan kerjaku terbengong-bengong. “Kenapa lu, Man? Aneh!“ tanya Remmy mengacak-acak kantong plastik berisi buku-buku agama. “Tadi si Esti bolak-balik nelpon nanyain kenapa handphone lu nggak aktif, emang kenapa sih?“ tanya Henri bertubi-tubi. Dan aku malas menjelaskan meski mereka tak hanya Henri terbengong-bengong atas sikapku.
“Nggak kenapa-kenapa, biasa aja. Cuma pingin belajar agama doang, ada yang salah?“ jawabku sekenanya.
Aku tiba-tiba ingin mendalami Islam secara sadar diri sebagai seorang yang dilahirkan oleh orang tua muslim dan mereka memberiku nama Musliman. Jadi kini sepatutnya aku menjadi seorang muslim sejati. Sekelebat senyum Lia terlintas dalam halaman buku yang aku baca. Menelpon? Berkirim SMS? “Ah..., kenapa tak kulakukan untuk menanyakan kabar,” gumamku menemukan ide. Aku tulis pesan pendek hanya menanyakan kabar, namun detik berlalu tanpa balasan. Aku check report, ternyata terkirim. Aku menunggu, serasa resah dan sepertinya awan di langit ikutan gelisah. Layar handphone-ku kosong, bukan darinya yang memenuhi inbox- ku. Baru kali ini aku merasa ditelanjangi oleh seorang perempuan. Perempuan mualaf itu.
Ini hari kedua aku menanti balasan SMS-nya, nyaris aku dibuatnya gila. Ketika sore sepulang kantor, menunggu Commuter Lines di stasiun Sudirman, ada panggilan tak terjawab. “Subhanallahu...dia,“ seruku bahagia. Aku menelpon balik. Obrolan singkat itu terputus karena kereta dari arah Stasiun Tanah Abang datang membawaku ke gelombang arus manusia berebut tempat duduk. Biasa, tapi kali ini tidak biasa karena handphone-ku lepas dari genggaman tanganku akibat terdorong tangan-tangan jahil hingga terinjak kaki-kaki tak bertanggung jawab. Handphone-ku remuk...kreeek, byaaar !! “Astaqfirullahu...,“ desahku pias.
Sejak aku mengenal Lia, tiba-tiba kalimat menyebut nama Allah itu menjadi bagian dari keseharianku. Rasa sabar dan pasrah menyelinap menjadi bagian dari kehidupan masa lalu yang telah lama aku tinggalkan, kini hadir kembali menyapa diri. Masa saat menjadi murid kesayangan Ustadz Daffi. Aku sudah lama tak melafadzkan kalimat-kalimat suci itu kini menjadi bagian penutup dari serangkaian doa-doa yang kumunajahkan. Lia dan Lia memenuhi pikiranku. Setiap memikirkannya aku semakin dekat berdialog dengan-Nya.
“Apa ini tanda dari pertanyaanku selama ini, siapa jodohku?“ tanyaku dalam hati sebelum kututup doa dengan amin. Mungkin sudah saatnya aku melabuhkan hatiku kepada satu hati perempuan, dan sepertinya aku terlalu banyak berharap pada perempuan mualaf itu. Kuhubungi nomornya dengan memakai handphone pinjaman, ternyata ia pun bertanya kenapa pembicaraan itu terputus. Begitu terperanjatnya aku, saat ia mengatakan sedang berada di Jakarta hingga akhir pekan. Tentu aku meluangkan waktu untuk menemani dan jadwal kencan dengan April aku tunda bahkan kalau perlu semua jadwal itu terhapus dari agendaku. Waktuku untuk Lia. Pucuk di cinta ulam tiba, mungkin pepatah lama itu yang kini berlaku untukku. Sore itu sepulang jam kantor, aku menemui Lia. Ia nampak beda sekali, dimataku kian menarik hati. Sore nan indah.

Cinta datang tak pernah diundang, pertautan hati kian merekah. Aku yakin Lia-lah pelabuhan hatiku yang terakhir. Walau pun hubunganku ini tanpa sepengetahuan sahabat terdekatku, tentunya membuat mereka semakin bertanya, ada apa denganku? Aku sengaja merahasiakan dan akan membuat surprise buat keluarga dan mereka, setelah semuanya dalam genggaman tanganku. Merajut jalinan asmara dengan berdiskusi agama, sungguh nikmat. Hingga suatu malam di cafe, sementara malam beranjak tenggelam dalam keheningan. Percakapan semakin serius, terlebih saat Lia menceritakan proses kemualafannya. Aku kagum. Namun kemudian, aku terperanjat saat Lia menceritakan siapa dirinya. Tiba-tiba kepalaku menjadi pusing bertaburan bintang-bintang kecil memutari kepalaku. Pandang mataku pun menjadi gelap dan......gubraaakk! Dunia seakan menertawakan diriku saat aku siluman dan Lia berada dekat didekatku. Tangannya menggenggam tanganku sangat erat. Serasa aku merasakan sesuatu yang aneh menjalari tubuhku. Aku menarik tanganku itu. Lia merasakan sikap aneh tingkahku. Sungguh suatu keadaan yang pelik, aku pun tak bisa memungkiri kata hatiku.
Jujur sejak mengenal dia, aku semakin rajin mengenal dan mempelajari tentang Islam. Namun aku tak bisa meneruskan hubungan ini walau semula aku yakin inilah pelabuhan terakhirku. “Lia, maafkan aku, aku tak bisa menerima cintamu kepadaku, kita berteman saja. Aku masih normal, dan mencari calon pendamping hidup yang semestinya. Maafkan aku bila kata-kataku menjadi kacau begini...,” ucapku terbata- bata. Sebelum kata-kata itu berakhir, Lia sudah meninggalkan ruang sempit ini dan aku termanggu seorang diri. Sementara malam berjalan menuju pergantian waktu. Air mataku menetes perlahan, ini sebuah hidayah-Nya mungkin juga teguran-Nya atas tingkah lakuku selama ini. “Wajah dibalik kerudung itu akan kusimpan dalam kenangan batinku. Terima kasih ya Allah SWT,“ gumamku pelan.

SELESAI

Tidak ada komentar: