Wajah Dibalik Kerudung
Karya Arie Rachmawati
Ia duduk santun. Wajahnya menunduk,
sebagian kerudung putih berbahan satin jatuh bergerai menutup sebagian
wajahnya. Hanya tampak sebagian hidung bangirnya. “Subhanallahu, cantik
sekali makhluk ciptaan-Mu Ya Rabb,” gumamku dalam hati .Tanpa make-up bahkan
polesan lipstik pun auranya sudah tampak.
Hanya tinggal beberapa laki-laki
berumur dalam masjid, ba’da sholat jum’atan. Aku masih tak beranjak dari tempat
bersilaku. Nikmat dzikir masih enggan aku akhiri. Ia berkata lirih hingga aku
yang berada didekatnya pun nyaris tak mendengar percakapannya dengan
bapak tua yang memakai kain sorban itu. Sepertinya lelaki itu yang dituakan
dalam majelis itu. Lalu aku memperhatikan dengan seksama proses singkat yang
terjadi siang itu. “Asy-hadu Anlaa IlaahaIllalah, Wa-Asyhadu Anna Muhammadan
Rasullah.“ Dua kalimat syahadat itu diucapkan dengan pelan dan khusuk
sekali. Ia menyeka air mata yang menetes di kedua pipinya. Langit biru jernih
dan bertasbih.
Siang yang terik seketika redup,
semilir angin berhembus melalui tiang- tiang masjid terasa menyejukkan. Hari
itu aku merasakan hari Jum’at yang berbeda. Ini hari Jum’at-ku yang kedua
selama di kota Jambi, Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Masjid Agung seribu tiang
itu menjadi saksi bisu satu lagi umat-Nya menjadi mualaf. Ia mualaf yang
terindah menurutku. Sejak itu tiba-tiba ia, perempuan mualaf itu memenuhi
pikiranku. Aku tak mengenalnya tetapi hampir setiap aku berada di suatu tempat
sekelebat aku melihat bayangnya. Beberapa hari yang lalu aku melihatnya di toko
buku. Di rak buku khusus agama Islam, aku melihatnya. Ia duduk memilih beberapa
buku tentang Islam. Kemudian hari ini aku melihatnya duduk di sebuah kedai
kopi, depan pangkalan taksi. Ia duduk tak jauh dariku, hingga aku bisa melihat
seraut wajahnya dengan jelas dari arah depan, meski kadang ia suka menunduk
untuk membaca buku. Sepertinya buku itu yang dibelinya tempo hari. Benar-benar
sebuah pemandangan yang tak boleh dibiarkan begitu saja. “Subhanallahu, cantik
nian,“ gumamku. Tanpa terasa sebuah cabe tertelan masuk tanpa permisi
menyangkut diteggorokan.
Gleeek...,segelas
air putih mengguyur masuk untuk segera digiling. Suara sendawaku, tiba-tiba
menarik perhatiannya. Diletakkan buku itu. Seluruh pandang matanya tertuju
padaku. Sepertinya ia menahan tawa, saat melihat reaksi spontanitasku akibat
suara aneh tak diundang itu. Lalu ditutupnya wajahnya dengan buku itu,
“Tuntunan Shalat Lengkap.“
Seperti busur anak panah langsung
tepat mengena jantungku. Serasa ditampar tangan bapak. “Astaqfirullahalladzim...,”
desahku malu. Aku yang mengaku Islam sejak lahir namun sholatku hanya
seingatnya saja. Bahkan sholat Jum’at pun sering aku lalaikan. Baru dalam
kunjungan tugas ini, tiba-tiba ada panggilan yang mengantarkan aku luruh dalam
ampunan dosa. Dosaku menggeliat. Aku duduk melepas kaos kaki dan memasukkan
dalam lubang sepatu. Saat menaruh di tempat penitipan sepatu dan sandal, aku
melihat perempuan mualaf itu. Adzan magrib berkumandang. “Allaahu
Akbar...Allaahu Akbar “ Muazin bertubuh kurus itu ternyata bersuara
lantang. Aku menyimak dan membalas seruan adzan itu dalam hati. “Ya Allah,
lagi-lagi perempuan itu menarik perhatianku,“ gumamku sendiri. Begitu indah
pemandangan itu, saat ia membaca doa setelah berwudhu dengan bantuan buku itu.
Buku yang kemarin menutupi wajahnya. “Subhanallahu...“
Usai
shalat berjama’ah aku beranjak, kali ini
dzikir sengaja aku tunda. Aku melihat sekeliling dan ia pun tak tampak di
barisan shaf kedua. Aku gelisah. Bergegas menuju halaman masjid penuh
pepohonan. Aku meninggalkan masjid menuju tempat penginapan tak jauh dari
tempatku berdinas. Kulewati motel itu, aku berharap ia duduk di kedai kopi
depan pangkalan taksi, seperti kemarin. “Nasi goreng ikan asin, satu,“ pintaku
pada pelayan kedai kopi itu. Sebuah teh manis hangat dengan alas tatakan piring
kecil hadir dengan kepulan asap tepat di depanku. Menunggu nasi goreng, aku
membalas beberapa SMS dari rekan kerjaku.
“Nasi goreng ikan asin, satu,
Bang,“ ucap seseorang tak lain adalah ia perempuan mualaf.
Dadaku tiba-tiba bergemuruh.
Sekilas mata kami bertemu dan segera mengalihkan pandangan. Sajian nasi goreng
ikan asin itu belum kusentuh. “Ya Allah, penyakit apakah ini tiba-tiba merajam
seluruh tubuhku,” desahku. Kini giliran mataku sengaja tak kuperlihatkan bahwa
aku mulai tertarik padanya.
“Assalamualaikum...tempat
ini kosong, Bang?” katanya menyapa. Aku mengangguk tanpa bersuara, bahkan
menjawab salam pun suara tertahan di dahan kerongkongan. Ia kembali menekuni
buku yang lain. Aku duduk berhadapan dengannya. Kuperhatikan alisnya yang
lebat, hidungnya yang bangir. Namun aku melihat kejanggalan, seperti sebaris kumis
tipis nan lembut. Mirip adik perempuanku yang memiliki kelebihan seperti itu.
Kutepis ragu itu. Lalu ia melahap dengan pelan-pelan nasi goreng ikan asin itu.
Aku pura-pura membalas SMS dan browsing internet dari handphone-ku. Dan
akhirnya ia selesai duluan. Sengaja aku menyusulnya. Ia menoleh kebelakang saat
bayanganku menyamai langkahnya.
“Boleh aku berkenalan denganmu?“
ucapku mengulurkan tangan. Ia membalas dengan satu anggukan.
“Siapa namamu? Aku Musliman,“
jawabku singkat.
“Lia,“ jawabnya menunduk.
“Duh..., kenapa ia sering banget
menunduk mirip gadis-gadis tempo dulu,“ gumamku semakin penasaran. Langkah kami
berdua mengarah ke terminal angkot yang terletak di tengah kota. Terminal
Rawasari.
“Abang ndak mau kemano? Kami
hendak ke Thehok,“ tanyanya dengan dialek Jambi.
“Ya ya sama...,” ucapku gagap.
Dalam hati aku bertanya daerah mana itu. Aku membiarkan langkahku selaras
dengannya. Dalam angkot berisik sekali musik berirama khas Padang disco remix
benar-benar membuatku jengah. Ia tersenyum manis. “Abang bukan orang sini, yo?”
tanyanya tersenyum. Aku mengangguk, malu. Untung saja aku sendirian. Apabila
teman-temanku mengetahui bakalan aku dibuat bulan-bulanan. Seorang playboy
sepertiku bisa luluh pada seorang perempuan biasa mengalahkan Angie desainer
interior yang seksi itu, atau gemulainya penari latar April atau si imut Esti
yang terakhir telah membuatku klepar-klepar. Menurutku Lia, perempuan
mualaf itu lebih memikat dengan kerudungnya.
Langkah kami berhenti pada rumahnya
sederhana hanya terbuat dari papan tua. Berdempetan dengan tetangganya. Mereka
menyebutnya rumah bedeng. Begitu masuk ruang tamu yang sempit tanda salip sudah
terpampang di dinding. Rupanya ia sebelum mualaf adalah pemeluk agama yang
taat. Tak pelak lagi kini ia menjadi mualaf begitu semangat mempelajari agama
tauhid. Kagumku kian beralasan. Aku hanya mampir dan menghargainya saat
menyuguhkan segelas air putih dingin. Malam kian menjelang dan aku berpamitan.
Kami bertukar nomor handphone. Yang aku ingat saat ia menemani menunggu angkot
yang akan membawaku kembali ke terminal angkot Rawasari, “Bang, terima kasih
mau berkenalan dengan kami. Nanti ajari kami tentang Islam yo?” ucapnya ramah.
Aku hanya mengangguk saja lalu aku masuk angkot dan keesokan harinya aku sudah
meninggalkan Jambi. Dua minggu di Jambi aku menemukan sesuatu yang tak pernah
aku rasakan sebelumnya. Aku jatuh cinta padanya.
Jakarta
masih bergemul macet dan polusi. Demo
di Bundaran Hotel Indonesia adalah pernak-pernik kehidupan di Jakarta menambah
keruwetan lalu lintas. Seperti itu gambaran suasana hatiku, hati seorang
penabur pesona yang kini hilang gairahnya untuk berkencan dengan siapa pun.
Setiap ada waktu luang aku jelajahi toko buku. Aku mencari bermacam-macam buku
agama. Hal itu tentu membuat sebagian rekan kerjaku terbengong-bengong. “Kenapa
lu, Man? Aneh!“ tanya Remmy mengacak-acak kantong plastik berisi buku-buku
agama. “Tadi si Esti bolak-balik nelpon nanyain kenapa handphone lu nggak
aktif, emang kenapa sih?“ tanya Henri bertubi-tubi. Dan aku malas menjelaskan
meski mereka tak hanya Henri terbengong-bengong atas sikapku.
“Nggak kenapa-kenapa, biasa aja.
Cuma pingin belajar agama doang, ada yang salah?“ jawabku sekenanya.
Aku tiba-tiba ingin mendalami Islam
secara sadar diri sebagai seorang yang dilahirkan oleh orang tua muslim dan
mereka memberiku nama Musliman. Jadi kini sepatutnya aku menjadi seorang muslim
sejati. Sekelebat senyum Lia terlintas dalam halaman buku yang aku baca.
Menelpon? Berkirim SMS? “Ah..., kenapa tak kulakukan untuk menanyakan kabar,”
gumamku menemukan ide. Aku tulis pesan pendek hanya menanyakan kabar, namun
detik berlalu tanpa balasan. Aku check report, ternyata terkirim. Aku
menunggu, serasa resah dan sepertinya awan di langit ikutan gelisah. Layar
handphone-ku kosong, bukan darinya yang memenuhi inbox- ku. Baru kali ini aku
merasa ditelanjangi oleh seorang perempuan. Perempuan mualaf itu.
Ini hari kedua aku menanti balasan
SMS-nya, nyaris aku dibuatnya gila. Ketika sore sepulang kantor,
menunggu Commuter Lines di stasiun Sudirman, ada panggilan tak terjawab. “Subhanallahu...dia,“
seruku bahagia. Aku menelpon balik. Obrolan singkat itu terputus karena kereta
dari arah Stasiun Tanah Abang datang membawaku ke gelombang arus manusia
berebut tempat duduk. Biasa, tapi kali ini tidak biasa karena handphone-ku
lepas dari genggaman tanganku akibat terdorong tangan-tangan jahil hingga
terinjak kaki-kaki tak bertanggung jawab. Handphone-ku remuk...kreeek,
byaaar !! “Astaqfirullahu...,“ desahku pias.
Sejak aku mengenal Lia, tiba-tiba
kalimat menyebut nama Allah itu menjadi bagian dari keseharianku. Rasa sabar
dan pasrah menyelinap menjadi bagian dari kehidupan masa lalu yang telah lama
aku tinggalkan, kini hadir kembali menyapa diri. Masa saat menjadi murid
kesayangan Ustadz Daffi. Aku sudah lama tak melafadzkan kalimat-kalimat suci
itu kini menjadi bagian penutup dari serangkaian doa-doa yang kumunajahkan. Lia
dan Lia memenuhi pikiranku. Setiap memikirkannya aku semakin dekat berdialog
dengan-Nya.
“Apa ini tanda dari pertanyaanku
selama ini, siapa jodohku?“ tanyaku dalam hati sebelum kututup doa dengan amin.
Mungkin sudah saatnya aku melabuhkan hatiku kepada satu hati perempuan, dan
sepertinya aku terlalu banyak berharap pada perempuan mualaf itu. Kuhubungi
nomornya dengan memakai handphone pinjaman, ternyata ia pun bertanya kenapa
pembicaraan itu terputus. Begitu terperanjatnya aku, saat ia mengatakan sedang
berada di Jakarta hingga akhir pekan. Tentu aku meluangkan waktu untuk menemani
dan jadwal kencan dengan April aku tunda bahkan kalau perlu semua jadwal itu
terhapus dari agendaku. Waktuku untuk Lia. Pucuk di cinta ulam tiba, mungkin
pepatah lama itu yang kini berlaku untukku. Sore itu sepulang jam kantor, aku
menemui Lia. Ia nampak beda sekali, dimataku kian menarik hati. Sore nan indah.
Cinta
datang tak pernah diundang, pertautan hati
kian merekah. Aku yakin Lia-lah pelabuhan hatiku yang terakhir. Walau pun
hubunganku ini tanpa sepengetahuan sahabat terdekatku, tentunya membuat mereka
semakin bertanya, ada apa denganku? Aku sengaja merahasiakan dan akan membuat surprise
buat keluarga dan mereka, setelah semuanya dalam genggaman tanganku.
Merajut jalinan asmara dengan berdiskusi agama, sungguh nikmat. Hingga suatu
malam di cafe, sementara malam
beranjak tenggelam dalam keheningan. Percakapan semakin serius, terlebih saat
Lia menceritakan proses kemualafannya. Aku kagum. Namun kemudian, aku
terperanjat saat Lia menceritakan siapa dirinya. Tiba-tiba kepalaku menjadi
pusing bertaburan bintang-bintang kecil memutari kepalaku. Pandang mataku pun
menjadi gelap dan......gubraaakk! Dunia seakan menertawakan diriku saat
aku siluman dan Lia berada dekat didekatku. Tangannya menggenggam tanganku
sangat erat. Serasa aku merasakan sesuatu yang aneh menjalari tubuhku. Aku
menarik tanganku itu. Lia merasakan sikap aneh tingkahku. Sungguh suatu keadaan
yang pelik, aku pun tak bisa memungkiri kata hatiku.
Jujur sejak mengenal dia, aku
semakin rajin mengenal dan mempelajari tentang Islam. Namun aku tak bisa
meneruskan hubungan ini walau semula aku yakin inilah pelabuhan terakhirku.
“Lia, maafkan aku, aku tak bisa menerima cintamu kepadaku, kita berteman saja.
Aku masih normal, dan mencari calon pendamping hidup yang semestinya. Maafkan
aku bila kata-kataku menjadi kacau begini...,” ucapku terbata- bata. Sebelum
kata-kata itu berakhir, Lia sudah meninggalkan ruang sempit ini dan aku
termanggu seorang diri. Sementara malam berjalan menuju pergantian waktu. Air
mataku menetes perlahan, ini sebuah hidayah-Nya mungkin juga teguran-Nya atas
tingkah lakuku selama ini. “Wajah dibalik kerudung itu akan kusimpan dalam
kenangan batinku. Terima kasih ya Allah SWT,“ gumamku pelan.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar