Sabtu, 07 Mei 2016

Kumpulan Cerpen DdR


DANDELION DALAM RINDU
Karya Arie Rachmawati



Syira bangun tidur. Bola matanya belum penuh berpijar. Ia masih mengucek- ucek kedua matanya. Rambutnya pun acak-acakan. Seperti biasa, tangan kirinya membawa boneka kelinci berwarna abu-abu, kumal dan bau pesing. Sedang tangan kanannya memegang botol susu. Pemandangan rutin yang biasa dilihat Widya sepulang sekolah.
“Kakak...kakak Dya!” Panggil Syira manja, menghampiri Widya. Segera Widya berlari menghindar menuju kamarnya. Ia paling tak suka bila sepulang sekolah, adik satu-satunya itu selalu bergelayut manja. Apalagi dalam keadaan bau. Gadis remaja kelas dua SMP itu memasang wajah tak bersahabat, hingga adiknya merasa ketakutan.
“Huuhhh..sebeel!” keluh Widya membanting tubuhnya di atas spring bed.
“Kakak...kakak Dya!” Tangis Syira pecah. Keadaan seperti itu biasanya diatasi oleh Bibi, pengasuh Syira. Gadis kecil berpipi tembem itu akan diam bila digendong Bibi dan diajak bermain. Namun kali ini, raungan tangis itu ternyata tak berhenti, malah semakin menjadi. Dalam kamarnya, Widya mendengar jerit tangisan adiknya. Meski dalam hati Widya merasa iba, namun jadwal ulangan dan setumpuk pe-er membuat kepalanya terasa berat.
“Ah...andai Mama masih ada,” desahnya. Lalu, tiba-tiba sudut matanya berair. Cairan bening itu mengalir perlahan membasahi kedua pipinya. Menangis.
Malam semakin larut, tetapi pe-er belum kelar. Perasaan malas menyelimuti hati Widya. Sudah dua hari ini Widya lost contact dengan Aryo teman facebook yang baru sebulan dikenalnya. Beberapa hari terakhir ini Aryo menghilang, akunnya tertutup. E-mail dan nomor HP-nya pun belum sempat ditanyakan. Kehadiran Aryo jelas-jelas membuatnya kepincut bukan karena sosok foto profilnya berukuran close- up terpampang dengan senyum memikat, bukan karena itu. Justru karena terakhir chatting, Widya menemukan titik chemistry dengan Aryo, yaitu tentang dandelion, si bunga rumput kering yang biasanya tumbuh di padang ilalang atau semak belukar. Benar-benar bunga yang terlantar. Widya tidak suka bunga itu, baginya tak menarik.
Tapi anehnya Papa dan adiknya Syira, bahkan almarhum mamanya sangat menyukai.
Awal kisah perkenalan almarhumah Mama dan Papanya berawal dari dandelion itu. Widya pernah mendengar cerita itu dari Tante Erin, adik papanya. Dan biasanya dalam sebulan Papanya pasti akan mengajaknya ke padang ilalang berada di sebuah lahan yang luas berada di pinggiran kota.
Menjelang sore, hujan menguyur kota. Terasa dingin menyejukkan bumi, meski diawali cuaca yang terik. Aroma khas tanah basah naik di permukaan. Beberapa hari terakhir ini, udara gerah membuat Syira semakin rewel karena biang keringatnya mulai memenuhi dahi dan sekitar dadanya. Hujan menjadi alasan menunda jadwal mengunjungi serumpun dandelion, tergeser dengan kegiatan bermain dengan teman-teman Syira. Kemudian Widya kembali menikmati akhir pekan dengan facebook atau twitter-nya. Sementara Pak Basuki, Papa mereka duduk di ruang tengah tak jauh dari Syira bermain di lantai.
“Hujan turun lagi,” gumam Widya. Ia melempar bantal berwajah Snoopy ke udara. Riang hatinya seraya berujar, “Hip hip huraaaa.”
“Papaaaaa....ayuk kita ke Gramedia ! Ada yang mau dibeli...ayuuk dong, Pa,” ajak Widya menarik tangan papanya yang tengah menikmati selembar koran.
“Huussh...ini apa-apaan sih?” balas Papa setengah terkejut.
“Anterin Kakak ya, Pa...please,” rajuknya. Mata Papa menuju pada Syira yang tengah asyik bermain dengan Faya, Raisa, dan Kirani. Mereka adalah empat sekawan masih balita. Hanya Faya yang sudah bersekolah TK-B. Gadis berambut panjang dan berponi itu lebih tua di antara Raisa, Kirani, dan Syira. Faya berperan seperti kakak mereka. Sedang Raisa dan Kirani seumur dengan Syira. Mata Widya memandang penuh iri. Meski ketiganya belum bersekolah, keakraban sudah terjalin. Setiap berkumpul dan berpisah selalu diawali dengan hug and kiss, seperti anak- anak ABG dalam sinetron. Bahasa mereka seperti bahasa Planet Pluto, cadel dan banyak istilah aneh. Ajaibnya, mereka saling mengerti ucapan masing-masing. Itu yang membuat Widya semakin cemburu dan iri, selain semua orang sayang dan gemas pada Syira.
Mata Widya berbicara lagi, “Lihatlah mereka bersahabat. Bagaimana dengan kamu ? Tak satu pun teman sekolahmu bermain ke sini. Mana?” Suara-suara gaib itu seakan mengejeknya.
“Ke Gramedianya entar aja ya, Kak. Lihat adik lagi asyik bermain, kasihan kalau waktu bermainnya dihentikan tiba-tiba,” ucap Papa.
“Iya deh. Kakak mengalah lagi, selalu mengalah teruuuus,” balas Widya cemberut. Widya masih merajuk pada Papanya dengan mimik merengek menahan rasa kecewa.
“Kakaaak, nggak boleh begitu. Adikmu masih kecil dan belum merasakan kasih sayang Mamamu. Biarkan ia menemukan dunianya, karena itu kebahagiaannya saat ini. Anak Papa harus jadi Kakak yang baik untuk adiknya ya, sayang.”
Widya beranjak meninggalkan ruang tengah kembali ke kamarnya. Warna violet berkombinasi baby pink menyejukan suasana kamar namun tidak untuk hati Widya saat ini. “Syira..Syira..Syira melulu,” umpatnya dalam-dalam.
Klik..klik..klik bunyi pintu terkunci. Widya duduk merosot di bawah pintu. Hatinya bergerumuh, dadanya naik turun, air matanya tumpah. Hanya itu satu-satunya pelampiasan kemarahannya.

Dekstop notebook milik Widya penuh serumpun dandelion. Itu picture kiriman dari Aryo. Layar monitor itu seperti mengajaknya untuk segera beranjak meninggalkan rasa iri dan cemburu yang tak berkesudahan. ID dan password Yahoo Messeger berproses. Sesaat beberapa pesan dalam offlines memenuhi layar monitor, di antaranya ada pesan dari Aryo, menanyakan tentang cerita dandelion yang pernah dijanjikan. Aryo suka bunga rumput kering itu. Aryo juga bilang suatu saat nanti akan mendapati sebuah kenikmatan saat melihat bulu-bulu dandelion itu berterbangan ditiup angin. Ia menceritakan seribu cerita tentang dandelion, saat berada di sebuah taman Kinryu, Saga. Ketika dulu bersama kedua orang tuanya yang bertugas di negeri matahari terbit. Widya melupakan marahnya dan kembali berselancar chatting dengan Aryo. Ia berharap Aryo online.
“Sore..Dya,” sapa Aryo disusul ikon <ding> “Sore juga..apa kabar?” Balas Widya.
“Kabar baik....kamu?. Gimana kamu jadi ke padang ilalang dan mendapatkan dandelion itu.”
“Nggak..!!!”
“Lho kok, nggak?!! Kemarin ceritamu begitu semangat banget.”
“Ohya...aku cerita seperti itu, kapan?”
“Hmm..terakhir kita chatt, kira-kira sebulan lalu.”
“Oooohhh....lama juga. Masih ingat?“
“Iya dong, obrolan kita tentang dandelion pasti aku ingat.“
“Iya tentang dandelion...aku ingat,“ tulis Widya pura-pura ingat.
“Truuuuus....ceritanya mana?“
“Aryo, aku nggak suka dandelion.”
“Nggak suka? Tapi ceritamu seolah kamu suka dandelion,” goda Aryo.
“Maaf..!”
“Tadinya rencana sih hari ini pergi, tapi batal.”
“Kenapaaaa....?”
“Disini lagi hujaaaaaaan gede...be-te.”
“Hujan..? Be-te?”
“Iya, tapi aku lagi bener-bener be-te”
“Haaa haaa..be-te kok dipelihara sih, sana buruan pergi”
“Pergi kemana?“
“Kemana aja...buang rasa be-te-mu itu.“
“Emang di tempatmu nggak hujan?“
“Oh?! Di tempatku terang benderang...“
“....terang benderang...iri aku, Aryo“
“Terang benderang maupun hujan bisa buat kita semangat diri, Dya.“
“Maksudmu?“
“Ya kamu jangan jadikan alasan hujan lalu be-te, buatlah saat hujan turun kamu bisa menikmati. Saat terik pun bisa kita nikmati.“
“Ya, tadinya mau ke padang ilalang, lalu hujan. Aku mengajak Papa ke Gramedia, tetapi...“
“Tetapiiii...kenapa?“
“Adikku lagi asyik main dengan geng-nya.“
“Lho apa hubungannya?“
“Papa nggak mau mengusik adik, Papa terlalu sayang sama Syira“
“Syira? Adikmu..? Iri sama adik sendiri ?“
“Berapa sih umur adikmu, Dya?“
“Tiga tahun lebih deh..kenapa?“
“Ha ha ha...“
“Kenapa tertawa...?“
“Nggak apa-apa cuma geli aja, iri tanpa alasan kuat.“
“Mungkin karena Syira lebih mirip almarhumah Mama dan suka dandelion,“ tulis Widya menjelaskan alasan irinya.
“Almarhumah? Mamamu sudah meninggal dunia? Mamamu suka dandelion?“
“Yup!“
“Oh! Sama seperti adikku...dia juga sudah tiadaL
“Oh!”
“Widya, maaf aku mau cabut kuliah dulu yaa. Thanks cu next time dear.”
“Sebentar...Kak!”
“Ya..!!”
“Aku janji akan membawakan cerita dandelion lebih seru dari ceritamu.”
Good !! Aku tunggu ya dear. Wokeeey...cu,” pamit Aryo dengan ikon goodbye.
“Ok deh..cu too!” Balas Widya dengan ikon yang sama. Tak lama kemudian ID Aryo offline dan Widya tak berniat membalas chatt teman sekelasnya yang rata-rata mempunyai geng. Ia klik close lalu segera sign out, menutup layar monitornya.

Beda dengan Syira, adiknya yang balita itu selalu ceria dengan celotehnya dan ia suka mewarnai buku-buku gambar berbagai karakter kartun Disney. Mungkin karena itu Syira lebih riang meski belum merasakan dekapan seorang ibu. Warna hatinya seperti warna langit dan pelangi, penuh seribu warna-warni. Widya keluar dari kamarnya dan menuju beranda depan. Hujan masih turun meski derasnya tak seperti awal permulaan jatuhnya dari langit. Jatuhnya hujan ia amati dengan saksama seperti ketukan birama beraturan. Dan Widya yang awalnya tidak menyukai hobi Papa dan adiknya itu, kini malah menunggu kesempatan itu. Ia ingin mendapatkan kenikmatan seperti yang digambarkan Aryo, teman maya-nya yang terpaut jauh usianya. Aryo yang mengaku mahasiswa semester dua Teknik Kimia UGM, telah banyak membuka pikirannya.
Rinai hujan itu membawa lamunan ke masa kecil, sesekali mamanya membolehkan ia bermandi air hujan dan setelah itu ia akan mandi air hangat lalu diberinya obat demam sebagai pencegahan jatuh sakit. Bermain air hujan adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu, walau tidak setiap saat turun hujan, Widya diperbolehkan mandi air hujan. Mamanya tahu kondisi terbaik Widya untuk bermain air hujan. Usai itu biasanya Mamanya akan mendekapnya dalam balutan kasih sayang, menghiburnya dengan beberapa dongeng anak-anak hingga terlelap. Terkadang Mama akan menyuguhkan sop bola-bola tahu dan secangkir susu cokelat untuk menghangatkan tubuh. Benar-benar seperti dalam dongeng anak-anak yang penuh keceriaan dan kasih sayang. Widya merasakan kasih sayang yang utuh. Meski Papanya tidak berada bersama mereka. Mama merangkap tugas sebagai Papa yang sedang menyelesaikan pendidikan S3 di Universitas Saga, Jepang.
Kini keadaan berbalik, Syira merasakan penuh kasih sayang Papanya, saat dulu keadaan seperti itu sangat dinantikan oleh Widya. Dilihatnya Syira masih bermain dengan Kirani, sepupunya, putri Tante Erin. Sedang Faya dan Raisa sudah pulang. Mungkin karena keduanya seumuran kadang tidak ada yang mau mengalah bila berebut sesuatu. Namun itu menjadi penyemarak suasana di rumahnya yang berpenghuni empat orang. Kedatangan Tante Erin dan keluargnya adalah penghibur Widya, lebih-lebih kelucuan Kirani dengan bibir tipisnya, mencuri perhatian Widya.

Seminggu berlalu, Widya sangat menunggu akhir pekan untuk turut Papa dan adiknya mengunjungi lahan luas di pinggir kota yang di penuhi ilalang dan dandelion. Selintas seraut wajah Aryo tersenyum dan nanti akan dibawanya cerita tentang dandelion. Wajah Widya pun secerah langit pagi. Sarapan pagi semangkuk bubur ayam dan segelas susu telah menjadi energi untuk menjelajahi ladang ilalang. Justru Syira masih terlelap tidur, dan Papanya enggan untuk membangunkan. Bubur cokelat milik Syira sudah lebur bersama angin dan menjadi dingin. Susu satu botol tersaji di dalam rendaman air hangat. Papa masih duduk di samping Syira tidur. Papa asyik berkutik dengan notebook-nya, saat Syira mulai terjaga dari mimpinya.
“Adik sudah bangun, pipis dulu ya, sayang,” ajak Papa lembut. Syira hanya mengangguk dan digendong di belakang pundak Papa. Widya melihat pemandangan itu dengan sudut matanya. Ia sudah bisa berdamai dengan hatinya. Aneh dan ajaib, apa yang disarankan oleh Aryo itu tiba-tiba menjadi kalimat-kalimat yang mampu mengubahnya dalam bersikap. Ia mulai memperhatikan saat Papanya menyuapin Syira. Penuh perhatian tetapi sentuhan tangannya berbeda dengan sentuhan tangan Mama yang belum dirasakan Syira. Rasa iba menyeruak memenuhi hati Widya, seakan menuntunnya menuju Syira yang duduk manja di sofa biru. Tangan Widya meraih mangkuk yang dari tangan Papanya. Sendok melamine itu menyentuh bibir mungil Syira. Rambutnya yang tipis jatuh bergerai masih acak- acakan. Poni rambutnya sesekali jatuh menutupi kelopak mata Syira bila ia menunduk memainkan boneka kelinci abu-abu itu. Tangan Widya merapikan, sentuhan itu membuat mata indah Syira menjadi bulat penuh. Mata itu tersenyum seiring dengan senyum yang tersungging di bibir tipisnya.
“Kakak...,” ucapnya riang. Widya membalas dengan senyuman manis. Ada rasa menyayangi yang memenuhi hatinya. Hari itu Widya turun tangan mengurusi Syira dan mereka berbagi dalam suka. Tampak Papa bahagia.

Padang ilalang semakin penuh semak belukar. Beberapa batang pepohonan tertutup ilalang yang tumbuh menjulang tinggi menggapai ranting terendah. Dua gadis kecil berhamburan keluar dari pintu mobil belakang. Sedang Pak Basuki dan Widya membawa peralatan piknik, segulung tikar, dan satu keranjang makanan yang telah disiapkan Tante Erin untuk bekal. Syira dan Kirani berlomba lari. Keduanya sambil tertawa riang. Langit biru terang, dan awan putih berarak-arak membentuk beberapa rupa. Syira dan Kirani berebut memetik dandelion, pemandangan biasa yang kerap dilihat Widya sepulang sekolah. Mereka tak ada yang mau mengalah hingga Pak Basuki dan Widya melerainya. Sesaat dalam diam lalu membaur lagi dalam canda. Hal seperti itu yang tak pernah dialami Widya ketika seusia Syira. Kemudian Widya seperti dibawa ke dalam alam yang telah mengakrabkan dengan cerita-cerita masa kecilnya. Bohong bila ia tidak suka dandelion, bunga rumput kering yang memiliki bulu-bulu halus dan berterbangan saat angin meniupnya. Bulu- bulu mengikuti angin terbang, menari di udara. Sedang yang tertinggal sebuah tangkai dengan putik bunga. Ia ingat benar saat kecilnya berlari-lari memetik lagi lalu meniupnya bila angin tak segera meniupnya. Cerita itu dulu mungkin seumur Syira saat ini. Kemudian Mama tak lagi datang ke padang ilalang itu sejak Papa tinggal di Saga, Jepang. Kini cerita masa kecil itu terulang lagi pada Syira, hanya Syira tak mengalami masa ceria bersama Mamanya yang cantik. Masa kecil yang berbeda. Widya dalam dekapan penuh seorang Mama, tanpa kehadiran Papanya untuk sementara waktu. Sedang Syira dalam dekapan penuh seorang Papa, tanpa kehadiran Mama untuk selamanya. Namun pada tempat yang sama, yaitu sebuah padang ilalang yang tumbuh subur dandelion.
Tiba-tiba Widya memeluk Papanya yang duduk di bawah pohon rindang berdaun orange kekuning-kuningan. Widya menangis dalam pelukan Papanya. Di antara senggukannya ia merasakan kehadiran Mamanya. Papanya memeluk erat gadis sulungnya yang tengah bergejolak.
“Jangan menangis, Sayang. Entar dilihat Syira dan Kirani, malu dong, Kak,“ ujar Papa mengelus rambut Widya sebatas pinggang.
“Kakak ingat Mama, Pa.“
“Mamamu ada dalam diri Syira, lihatlah...!“ Widya menuju arah telunjuk papanya saat Syira berlari-larian memetik dandelion lalu membuangnya ke udara. Wajahnya ceria sekali. Sesekali Syira jatuh namun tak menangis, ia langsung berdiri lagi meski Kirani menertawakan. Syira berbeda dengan Widya kecil, yang manja dan kolokan. Widya mulai teliti melihat perbedaan dirinya dengan Syira, adik semata mayang itu. Ia menghapus sisa air matanya yang menempel di kedua pipinya. Kata- kata Papanya meneduhkan hatinya dan kini ia yakin tak akan kehilangan kasih sayang Papanya.
“Wajah adik mirip Mama, wajah kakak mirip Papa. Kalian adalah kedua permata hati Papa yang paling berharga. Papa sayang kalian,” ucap Pak Basuki mendekap Widya, si sulung yang lebih perasa.
“Iya, Pa, maafin Kakak kalau selama ini cemburu.”
“Iya, Papa mengerti dan hari ini adalah hari terindah, Sayang,”
“Oya? Kenapa, Pa?”
“Hari ini, tanggal ini adalah tanggal saat pertama Papa melamar Mamamu jadi istri Papa dan di tempat ini pula,” ucap Pak Basuki haru. Dan kini dari satu hati melahirkan dua hati, buah hati terindahnya, Widya dan Syira. Ia tidak membedakan kedua putrinya. Ia tahu saat ini Widya belum bisa menerima kehilangan Mamanya saat melahirkan Syira ke dunia. Widya menganggap Syira pembawa sial dan merenggut kasih sayang semua orang terdekat. Itu sebabnya Widya lebih dekat dengan sepupunya, Kirani. Putri tunggal Tante Erin itu mirip dirinya sewaktu kecil. Widya semakin memeluk papanya larut dalam senyum bahagia.

Sejuknya angin berembus telah meredam segala kecemburuan yang tumbuh subur di hatinya. Belaian dan dekapan Papanya membuat mata hati Widya terbuka. Pandangan matanya tak lepas dari semua gerakan gemulai Syira dan Kirani yang tak mengenal lelah. Kata hatinya menuntunnya untuk bergabung dengan dua gadis kecil itu di tengah padang ilalang. Bertiga menari meliuk-liuk mengikuti irama angin bertiup, segemulai dandelion dan serumpun ilalang. Sedang Pak Basuki berteman dengan notebook-nya dan menulis sebuah e-mail untuk seorang gadis remaja yang kini dirasa telah menemukan keceriaan hatinya.
“Dear Widya, aku tunggu cerita dandelionmu ya...salam Aryo”
Kemudian setelah menekan klik send, dan ia menutup notebook-nya. Disimpan rapi dalam tas ranselnya. Dan Pak Basuki menyuruh untuk berhenti bermain dan menikmati sajian bekal macaroni panggang bertabur keju khas buatan Tante Erin. Aroma keju parut terbakar seakan menyeruak memenuhi padang ilalang itu. Di atas pundak papanya, Syira bergelayut manja sambil menikmati isapan susu botolnya. Sedang Kirani berbaring pada paha Widya bermain manja seperti biasanya. Widya duduk berselonjor dan bersandar pada pohon rindang itu. Kedua gadis kecil dan imut itu kini menjadi warna dalam hatinya. Widya bersyukur telah bertemu Aryo, teman maya-nya yang memberi pandangan indahnya dunia dengan memiliki hati lepas dari rasa iri. Dan satu yang menautkan semuanya, yaitu dandelion. Di bawah pohon rindang terlihat serumpun dandelion menari bersama embusan angin, menyembul di antara ilalang-ilalang kering terbakar matahari. Terselip senyum-senyum manis menyuguhkan rindu yang tak berkesudahan. Dandelion dalam rindu....


Medio : Amarilis, 27 Januari 2011
(Buat teman kecilku Achmad Basuki bersama dua putrinya Widya & Syira seperti dandelion-dandelion pada taman Kinryu - Saga)
Dimuat di Story Teenlit Magzine, edisi 22/Th.II/25 Mei-24 Juni 2011