DANDELION
DALAM RINDU
Syira bangun tidur. Bola
matanya belum penuh berpijar. Ia masih mengucek- ucek kedua matanya. Rambutnya
pun acak-acakan. Seperti biasa, tangan kirinya membawa boneka kelinci berwarna
abu-abu, kumal dan bau pesing. Sedang tangan kanannya memegang botol susu.
Pemandangan rutin yang biasa dilihat Widya sepulang sekolah.
“Kakak...kakak Dya!” Panggil Syira
manja, menghampiri Widya. Segera Widya berlari menghindar menuju kamarnya. Ia
paling tak suka bila sepulang sekolah, adik satu-satunya itu selalu bergelayut
manja. Apalagi dalam keadaan bau. Gadis remaja kelas dua SMP itu memasang wajah
tak bersahabat, hingga adiknya merasa ketakutan.
“Huuhhh..sebeel!” keluh Widya
membanting tubuhnya di atas spring bed.
“Kakak...kakak Dya!” Tangis Syira
pecah. Keadaan seperti itu biasanya diatasi oleh Bibi, pengasuh Syira. Gadis
kecil berpipi tembem itu akan diam bila digendong Bibi dan diajak bermain.
Namun kali ini, raungan tangis itu ternyata tak berhenti, malah semakin
menjadi. Dalam kamarnya, Widya mendengar jerit tangisan adiknya. Meski dalam
hati Widya merasa iba, namun jadwal ulangan dan setumpuk pe-er membuat
kepalanya terasa berat.
“Ah...andai Mama masih ada,”
desahnya. Lalu, tiba-tiba sudut matanya berair. Cairan bening itu mengalir
perlahan membasahi kedua pipinya. Menangis.
Malam semakin larut, tetapi pe-er
belum kelar. Perasaan malas menyelimuti hati Widya. Sudah dua hari ini Widya lost
contact dengan Aryo teman facebook yang baru sebulan dikenalnya.
Beberapa hari terakhir ini Aryo menghilang, akunnya tertutup. E-mail dan nomor
HP-nya pun belum sempat ditanyakan. Kehadiran Aryo jelas-jelas membuatnya
kepincut bukan karena sosok foto profilnya berukuran close- up terpampang
dengan senyum memikat, bukan karena itu. Justru karena terakhir chatting,
Widya menemukan titik chemistry dengan Aryo, yaitu tentang dandelion, si
bunga rumput kering yang biasanya tumbuh di padang ilalang atau semak belukar.
Benar-benar bunga yang terlantar. Widya tidak suka bunga itu, baginya tak
menarik.
Tapi anehnya Papa dan adiknya
Syira, bahkan almarhum mamanya sangat menyukai.
Awal kisah perkenalan almarhumah
Mama dan Papanya berawal dari dandelion itu. Widya pernah mendengar cerita itu
dari Tante Erin, adik papanya. Dan biasanya dalam sebulan Papanya pasti akan
mengajaknya ke padang ilalang berada di sebuah lahan yang luas berada di
pinggiran kota.
Menjelang sore, hujan menguyur
kota. Terasa dingin menyejukkan bumi, meski diawali cuaca yang terik. Aroma
khas tanah basah naik di permukaan. Beberapa hari terakhir ini, udara gerah
membuat Syira semakin rewel karena biang keringatnya mulai memenuhi dahi dan sekitar
dadanya. Hujan menjadi alasan menunda jadwal mengunjungi serumpun dandelion,
tergeser dengan kegiatan bermain dengan teman-teman Syira. Kemudian Widya
kembali menikmati akhir pekan dengan facebook atau twitter-nya.
Sementara Pak Basuki, Papa mereka duduk di ruang tengah tak jauh dari Syira
bermain di lantai.
“Hujan turun lagi,” gumam Widya. Ia
melempar bantal berwajah Snoopy ke udara. Riang hatinya seraya berujar, “Hip
hip huraaaa.”
“Papaaaaa....ayuk kita ke Gramedia
! Ada yang mau dibeli...ayuuk dong, Pa,” ajak Widya menarik tangan papanya yang
tengah menikmati selembar koran.
“Huussh...ini apa-apaan sih?” balas
Papa setengah terkejut.
“Anterin Kakak ya, Pa...please,”
rajuknya. Mata Papa menuju pada Syira yang tengah asyik bermain dengan Faya,
Raisa, dan Kirani. Mereka adalah empat sekawan masih balita. Hanya Faya yang
sudah bersekolah TK-B. Gadis berambut panjang dan berponi itu lebih tua di
antara Raisa, Kirani, dan Syira. Faya berperan seperti kakak mereka. Sedang
Raisa dan Kirani seumur dengan Syira. Mata Widya memandang penuh iri. Meski
ketiganya belum bersekolah, keakraban sudah terjalin. Setiap berkumpul dan
berpisah selalu diawali dengan hug and kiss, seperti anak- anak ABG
dalam sinetron. Bahasa mereka seperti bahasa Planet Pluto, cadel dan banyak
istilah aneh. Ajaibnya, mereka saling mengerti ucapan masing-masing. Itu yang
membuat Widya semakin cemburu dan iri, selain semua orang sayang dan gemas pada
Syira.
Mata Widya berbicara lagi,
“Lihatlah mereka bersahabat. Bagaimana dengan kamu ? Tak satu pun teman
sekolahmu bermain ke sini. Mana?” Suara-suara gaib itu seakan mengejeknya.
“Ke Gramedianya entar aja ya, Kak.
Lihat adik lagi asyik bermain, kasihan kalau waktu bermainnya dihentikan
tiba-tiba,” ucap Papa.
“Iya deh. Kakak mengalah lagi, selalu
mengalah teruuuus,” balas Widya cemberut. Widya masih merajuk pada Papanya
dengan mimik merengek menahan rasa kecewa.
“Kakaaak, nggak boleh begitu.
Adikmu masih kecil dan belum merasakan kasih sayang Mamamu. Biarkan ia
menemukan dunianya, karena itu kebahagiaannya saat ini. Anak Papa harus jadi
Kakak yang baik untuk adiknya ya, sayang.”
Widya beranjak meninggalkan ruang
tengah kembali ke kamarnya. Warna violet berkombinasi baby pink menyejukan
suasana kamar namun tidak untuk hati Widya saat ini. “Syira..Syira..Syira
melulu,” umpatnya dalam-dalam.
Klik..klik..klik
bunyi pintu terkunci. Widya duduk merosot di bawah pintu. Hatinya
bergerumuh, dadanya naik turun, air matanya tumpah. Hanya itu satu-satunya
pelampiasan kemarahannya.
Dekstop
notebook milik
Widya penuh serumpun dandelion. Itu picture kiriman dari Aryo. Layar
monitor itu seperti mengajaknya untuk segera beranjak meninggalkan rasa iri dan
cemburu yang tak berkesudahan. ID dan password Yahoo Messeger berproses.
Sesaat beberapa pesan dalam offlines memenuhi layar monitor, di
antaranya ada pesan dari Aryo, menanyakan tentang cerita dandelion yang pernah
dijanjikan. Aryo suka bunga rumput kering itu. Aryo juga bilang suatu saat
nanti akan mendapati sebuah kenikmatan saat melihat bulu-bulu dandelion itu
berterbangan ditiup angin. Ia menceritakan seribu cerita tentang dandelion,
saat berada di sebuah taman Kinryu, Saga. Ketika dulu bersama kedua orang
tuanya yang bertugas di negeri matahari terbit. Widya melupakan marahnya dan
kembali berselancar chatting dengan Aryo. Ia berharap Aryo online.
“Sore..Dya,” sapa Aryo disusul ikon
<ding> “Sore juga..apa kabar?” Balas Widya.
“Kabar baik....kamu?. Gimana kamu
jadi ke padang ilalang dan mendapatkan dandelion itu.”
“Nggak..!!!”
“Lho kok, nggak?!! Kemarin ceritamu
begitu semangat banget.”
“Ohya...aku cerita seperti itu,
kapan?”
“Hmm..terakhir kita chatt,
kira-kira sebulan lalu.”
“Oooohhh....lama juga. Masih
ingat?“
“Iya dong, obrolan kita tentang
dandelion pasti aku ingat.“
“Iya tentang dandelion...aku ingat,“
tulis Widya pura-pura ingat.
“Truuuuus....ceritanya mana?“
“Aryo, aku nggak suka dandelion.”
“Nggak suka? Tapi ceritamu seolah kamu
suka dandelion,” goda Aryo.
“Maaf..!”
“Tadinya rencana sih hari ini
pergi, tapi batal.”
“Kenapaaaa....?”
“Disini lagi hujaaaaaaan
gede...be-te.”
“Hujan..? Be-te?”
“Iya, tapi aku lagi bener-bener
be-te”
“Haaa haaa..be-te kok dipelihara
sih, sana buruan pergi”
“Pergi kemana?“
“Kemana aja...buang rasa be-te-mu
itu.“
“Emang di tempatmu nggak hujan?“
“Oh?! Di tempatku terang benderang...“
“....terang benderang...iri aku,
Aryo“
“Terang benderang maupun hujan bisa
buat kita semangat diri, Dya.“
“Maksudmu?“
“Ya kamu jangan jadikan alasan
hujan lalu be-te, buatlah saat hujan turun kamu bisa menikmati. Saat terik pun
bisa kita nikmati.“
“Ya, tadinya mau ke padang ilalang,
lalu hujan. Aku mengajak Papa ke Gramedia, tetapi...“
“Tetapiiii...kenapa?“
“Adikku lagi asyik main dengan
geng-nya.“
“Lho apa hubungannya?“
“Papa nggak mau mengusik adik, Papa
terlalu sayang sama Syira“
“Syira? Adikmu..? Iri sama adik
sendiri ?“
“Berapa sih umur adikmu, Dya?“
“Tiga tahun lebih deh..kenapa?“
“Ha ha ha...“
“Kenapa tertawa...?“
“Nggak apa-apa cuma geli aja, iri
tanpa alasan kuat.“
“Mungkin karena Syira lebih mirip
almarhumah Mama dan suka dandelion,“ tulis Widya menjelaskan alasan irinya.
“Almarhumah? Mamamu sudah meninggal
dunia? Mamamu suka dandelion?“
“Yup!“
“Oh! Sama seperti adikku...dia juga
sudah tiadaL”
“Oh!”
“Widya, maaf aku mau cabut kuliah
dulu yaa. Thanks cu next time dear.”
“Sebentar...Kak!”
“Ya..!!”
“Aku janji akan membawakan cerita
dandelion lebih seru dari ceritamu.”
“Good !! Aku tunggu ya dear.
Wokeeey...cu,” pamit Aryo dengan ikon goodbye.
“Ok deh..cu too!” Balas
Widya dengan ikon yang sama. Tak lama kemudian ID Aryo offline dan Widya
tak berniat membalas chatt teman sekelasnya yang rata-rata mempunyai
geng. Ia klik close lalu segera sign out, menutup layar
monitornya.
Beda
dengan Syira, adiknya yang balita
itu selalu ceria dengan celotehnya dan ia suka mewarnai buku-buku gambar
berbagai karakter kartun Disney. Mungkin karena itu Syira lebih riang meski
belum merasakan dekapan seorang ibu. Warna hatinya seperti warna langit dan
pelangi, penuh seribu warna-warni. Widya keluar dari kamarnya dan menuju
beranda depan. Hujan masih turun meski derasnya tak seperti awal permulaan
jatuhnya dari langit. Jatuhnya hujan ia amati dengan saksama seperti ketukan
birama beraturan. Dan Widya yang awalnya tidak menyukai hobi Papa dan adiknya
itu, kini malah menunggu kesempatan itu. Ia ingin mendapatkan kenikmatan
seperti yang digambarkan Aryo, teman maya-nya yang terpaut jauh usianya. Aryo
yang mengaku mahasiswa semester dua Teknik Kimia UGM, telah banyak membuka
pikirannya.
Rinai hujan itu membawa lamunan ke
masa kecil, sesekali mamanya membolehkan ia bermandi air hujan dan setelah itu
ia akan mandi air hangat lalu diberinya obat demam sebagai pencegahan jatuh
sakit. Bermain air hujan adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu, walau tidak
setiap saat turun hujan, Widya diperbolehkan mandi air hujan. Mamanya tahu
kondisi terbaik Widya untuk bermain air hujan. Usai itu biasanya Mamanya akan
mendekapnya dalam balutan kasih sayang, menghiburnya dengan beberapa dongeng
anak-anak hingga terlelap. Terkadang Mama akan menyuguhkan sop bola-bola tahu dan
secangkir susu cokelat untuk menghangatkan tubuh. Benar-benar seperti dalam
dongeng anak-anak yang penuh keceriaan dan kasih sayang. Widya merasakan kasih
sayang yang utuh. Meski Papanya tidak berada bersama mereka. Mama merangkap
tugas sebagai Papa yang sedang menyelesaikan pendidikan S3 di Universitas Saga,
Jepang.
Kini keadaan berbalik, Syira
merasakan penuh kasih sayang Papanya, saat dulu keadaan seperti itu sangat
dinantikan oleh Widya. Dilihatnya Syira masih bermain dengan Kirani, sepupunya,
putri Tante Erin. Sedang Faya dan Raisa sudah pulang. Mungkin karena keduanya
seumuran kadang tidak ada yang mau mengalah bila berebut sesuatu. Namun itu
menjadi penyemarak suasana di rumahnya yang berpenghuni empat orang. Kedatangan
Tante Erin dan keluargnya adalah penghibur Widya, lebih-lebih kelucuan Kirani
dengan bibir tipisnya, mencuri perhatian Widya.
Seminggu
berlalu, Widya sangat menunggu akhir pekan
untuk turut Papa dan adiknya mengunjungi lahan luas di pinggir kota yang di
penuhi ilalang dan dandelion. Selintas seraut wajah Aryo tersenyum dan nanti
akan dibawanya cerita tentang dandelion. Wajah Widya pun secerah langit pagi.
Sarapan pagi semangkuk bubur ayam dan segelas susu telah menjadi energi untuk
menjelajahi ladang ilalang. Justru Syira masih terlelap tidur, dan Papanya
enggan untuk membangunkan. Bubur cokelat milik Syira sudah lebur bersama angin
dan menjadi dingin. Susu satu botol tersaji di dalam rendaman air hangat. Papa
masih duduk di samping Syira tidur. Papa asyik berkutik dengan notebook-nya,
saat Syira mulai terjaga dari mimpinya.
“Adik sudah bangun, pipis dulu ya,
sayang,” ajak Papa lembut. Syira hanya mengangguk dan digendong di belakang
pundak Papa. Widya melihat pemandangan itu dengan sudut matanya. Ia sudah bisa
berdamai dengan hatinya. Aneh dan ajaib, apa yang disarankan oleh Aryo itu
tiba-tiba menjadi kalimat-kalimat yang mampu mengubahnya dalam bersikap. Ia
mulai memperhatikan saat Papanya menyuapin Syira. Penuh perhatian tetapi
sentuhan tangannya berbeda dengan sentuhan tangan Mama yang belum dirasakan
Syira. Rasa iba menyeruak memenuhi hati Widya, seakan menuntunnya menuju Syira
yang duduk manja di sofa biru. Tangan Widya meraih mangkuk yang dari tangan
Papanya. Sendok melamine itu menyentuh bibir mungil Syira. Rambutnya yang tipis
jatuh bergerai masih acak- acakan. Poni rambutnya sesekali jatuh menutupi
kelopak mata Syira bila ia menunduk memainkan boneka kelinci abu-abu itu.
Tangan Widya merapikan, sentuhan itu membuat mata indah Syira menjadi bulat
penuh. Mata itu tersenyum seiring dengan senyum yang tersungging di bibir
tipisnya.
“Kakak...,” ucapnya riang. Widya
membalas dengan senyuman manis. Ada rasa menyayangi yang memenuhi hatinya. Hari
itu Widya turun tangan mengurusi Syira dan mereka berbagi dalam suka. Tampak
Papa bahagia.
Padang
ilalang semakin penuh semak belukar.
Beberapa batang pepohonan tertutup ilalang yang tumbuh menjulang tinggi
menggapai ranting terendah. Dua gadis kecil berhamburan keluar dari pintu mobil
belakang. Sedang Pak Basuki dan Widya membawa peralatan piknik, segulung tikar,
dan satu keranjang makanan yang telah disiapkan Tante Erin untuk bekal. Syira
dan Kirani berlomba lari. Keduanya sambil tertawa riang. Langit biru terang,
dan awan putih berarak-arak membentuk beberapa rupa. Syira dan Kirani berebut
memetik dandelion, pemandangan biasa yang kerap dilihat Widya sepulang sekolah.
Mereka tak ada yang mau mengalah hingga Pak Basuki dan Widya melerainya. Sesaat
dalam diam lalu membaur lagi dalam canda. Hal seperti itu yang tak pernah
dialami Widya ketika seusia Syira. Kemudian Widya seperti dibawa ke dalam alam
yang telah mengakrabkan dengan cerita-cerita masa kecilnya. Bohong bila ia
tidak suka dandelion, bunga rumput kering yang memiliki bulu-bulu halus dan
berterbangan saat angin meniupnya. Bulu- bulu mengikuti angin terbang, menari
di udara. Sedang yang tertinggal sebuah tangkai dengan putik bunga. Ia ingat
benar saat kecilnya berlari-lari memetik lagi lalu meniupnya bila angin tak
segera meniupnya. Cerita itu dulu mungkin seumur Syira saat ini. Kemudian Mama
tak lagi datang ke padang ilalang itu sejak Papa tinggal di Saga, Jepang. Kini
cerita masa kecil itu terulang lagi pada Syira, hanya Syira tak mengalami masa
ceria bersama Mamanya yang cantik. Masa kecil yang berbeda. Widya dalam dekapan
penuh seorang Mama, tanpa kehadiran Papanya untuk sementara waktu. Sedang Syira
dalam dekapan penuh seorang Papa, tanpa kehadiran Mama untuk selamanya. Namun
pada tempat yang sama, yaitu sebuah padang ilalang yang tumbuh subur dandelion.
Tiba-tiba Widya memeluk Papanya
yang duduk di bawah pohon rindang berdaun orange kekuning-kuningan. Widya
menangis dalam pelukan Papanya. Di antara senggukannya ia merasakan kehadiran
Mamanya. Papanya memeluk erat gadis sulungnya yang tengah bergejolak.
“Jangan menangis, Sayang. Entar
dilihat Syira dan Kirani, malu dong, Kak,“ ujar Papa mengelus rambut Widya
sebatas pinggang.
“Kakak ingat Mama, Pa.“
“Mamamu ada dalam diri Syira,
lihatlah...!“ Widya menuju arah telunjuk papanya saat Syira berlari-larian
memetik dandelion lalu membuangnya ke udara. Wajahnya ceria sekali. Sesekali
Syira jatuh namun tak menangis, ia langsung berdiri lagi meski Kirani
menertawakan. Syira berbeda dengan Widya kecil, yang manja dan kolokan. Widya
mulai teliti melihat perbedaan dirinya dengan Syira, adik semata mayang itu. Ia
menghapus sisa air matanya yang menempel di kedua pipinya. Kata- kata Papanya
meneduhkan hatinya dan kini ia yakin tak akan kehilangan kasih sayang Papanya.
“Wajah adik mirip Mama, wajah kakak
mirip Papa. Kalian adalah kedua permata hati Papa yang paling berharga. Papa
sayang kalian,” ucap Pak Basuki mendekap Widya, si sulung yang lebih perasa.
“Iya, Pa, maafin Kakak kalau selama
ini cemburu.”
“Iya, Papa mengerti dan hari ini
adalah hari terindah, Sayang,”
“Oya? Kenapa, Pa?”
“Hari ini, tanggal ini adalah
tanggal saat pertama Papa melamar Mamamu jadi istri Papa dan di tempat ini
pula,” ucap Pak Basuki haru. Dan kini dari satu hati melahirkan dua hati, buah
hati terindahnya, Widya dan Syira. Ia tidak membedakan kedua putrinya. Ia tahu
saat ini Widya belum bisa menerima kehilangan Mamanya saat melahirkan Syira ke
dunia. Widya menganggap Syira pembawa sial dan merenggut kasih sayang semua
orang terdekat. Itu sebabnya Widya lebih dekat dengan sepupunya, Kirani. Putri
tunggal Tante Erin itu mirip dirinya sewaktu kecil. Widya semakin memeluk
papanya larut dalam senyum bahagia.
Sejuknya
angin berembus telah meredam segala
kecemburuan yang tumbuh subur di hatinya. Belaian dan dekapan Papanya membuat
mata hati Widya terbuka. Pandangan matanya tak lepas dari semua gerakan gemulai
Syira dan Kirani yang tak mengenal lelah. Kata hatinya menuntunnya untuk
bergabung dengan dua gadis kecil itu di tengah padang ilalang. Bertiga menari
meliuk-liuk mengikuti irama angin bertiup, segemulai dandelion dan serumpun
ilalang. Sedang Pak Basuki berteman dengan notebook-nya dan menulis
sebuah e-mail untuk seorang gadis remaja yang kini dirasa telah
menemukan keceriaan hatinya.
“Dear Widya, aku tunggu
cerita dandelionmu ya...salam Aryo”
Kemudian setelah menekan klik send,
dan ia menutup notebook-nya. Disimpan rapi dalam tas ranselnya. Dan
Pak Basuki menyuruh untuk berhenti bermain dan menikmati sajian bekal macaroni
panggang bertabur keju khas buatan Tante Erin. Aroma keju parut terbakar seakan
menyeruak memenuhi padang ilalang itu. Di atas pundak papanya, Syira bergelayut
manja sambil menikmati isapan susu botolnya. Sedang Kirani berbaring pada paha
Widya bermain manja seperti biasanya. Widya duduk berselonjor dan bersandar
pada pohon rindang itu. Kedua gadis kecil dan imut itu kini menjadi warna dalam
hatinya. Widya bersyukur telah bertemu Aryo, teman maya-nya yang memberi
pandangan indahnya dunia dengan memiliki hati lepas dari rasa iri. Dan satu
yang menautkan semuanya, yaitu dandelion. Di bawah pohon rindang terlihat
serumpun dandelion menari bersama embusan angin, menyembul di antara
ilalang-ilalang kering terbakar matahari. Terselip senyum-senyum manis
menyuguhkan rindu yang tak berkesudahan. Dandelion dalam rindu....
Medio : Amarilis, 27 Januari 2011
(Buat teman kecilku Achmad Basuki
bersama dua putrinya Widya & Syira seperti dandelion-dandelion pada taman
Kinryu - Saga)
Dimuat di
Story Teenlit Magzine, edisi 22/Th.II/25 Mei-24 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar