Namanya Keith.
Aku tak kenal dia, tapi teman sebangkuku sering menyebutkan nama itu. ''Lihat
Keith, baru aja lewat, cool banget. Senyumnya itu lho....Gilaaa!'' seru
Rania sambil mencubiti pipiku sebagai pelampiasan rasa gemasnya. Aku meringis
kesakitan. Hampir sebulan nama itu menjadi topik pembicaraan di sekolah bahkan
di kelasku. Lagi-lagi nama Keith, disebut anak XI-IPA-3 saat itu aku melintasi
mereka di pojok kantin. ''Keith?'' gumamku sendiri.
Nama itu tiba-tiba merebak di
hatiku. Aku tersenyum-senyum sendiri, padahal aku tak tahu cowok yang bernama
Keith itu. Rania mulai bercerita bahwa Keith anak baru pindahan dari Bandung.
Yang menarik dari Keith adalah anak band. Piawai memainkan beberapa alat musik.
Dan kata Rania lagi, dia dengan Keith pernah satu panggung saat festival musik
Indie antar pelajar se-Jawa yang diadakan di Bandung. Grup band Keith, “Moulin
Rouge” menjadi band favorit dan grup band Rania keluar sebagai pemenang
harapan pertama. Pertautan itu terjalin setahun lalu. Kini Keith dan Rania
bertemu lagi dalam satu halaman sekolah. Mereka seperti teman lama yang
berjumpa kembali. Dan Rania bangga banget menjadi orang pertama yang dikenal
Keith di lingkungan barunya.
''Aku naksir dia udah lama, Rie.
Tahu nggak kamu, Keith itu baiiiiik banget. Dia mau ngajarin aku main musik,''
cerita Rania panjang lebar.
“Oh ya?” balasku singkat,
“Aku jadi bosan dengar tiap hari
cerita tentang Keith melulu!!” jawabku dengan wajah cemberut.
''Eh, kamu kok nggak tertarik
sih?'' tanya Rania menyelidik.
''Bener..nggak, ah! Ngapain berebut
satu cowok, kayak bola aja..hahaha,'' candaku. Rania merengut, lalu
membolak-balikkan buku bahasa Jerman. Sedang hatiku tiba-tiba mulai tergoda,
siapakah Keith itu. Anak baru yang jago musik yang menjadi pembicaraan di
sekolah. “Keith?” tanyaku dalam hati.
Hari itu bu Anne guru bahasa Jerman
berhalangan masuk. Spontan saja anak-anak sekelas jingkrak-jingkrak kegirangan,
berarti ulangan ditunda.
''Cihuuuuy!!'' teriak
Rania memekakkan telingaku. Rania mulai merayuku, seperti biasanya minta
dibuatkan puisi.
''Rie, bikin dong satu aja yang
puitis, yang romantis, yang bikin Keith klepek- klepek...waaakss!!''
pintanya manja.
''Iya ntar aja, aku lagi nggak mood.
Lagi pingin sendiri,'' kataku datar.
''Kenapa?''
''Nggak kenapa-napa,'' sahutku
malas.
“Duh! Lagi-lagi dia
lagiiii...Rania, padahal tadi kita sepakat nggak usah ngomongin dia!“
“Aku tuh lagi be-te. Please dong
Ran!“
''Sorry ya Rie. Aku nggak tahu kamu
lagi be-te. Pasti gara-gara dia deh, temen ef-be-mu. Siapa namanya?'' tanya
Rania antusias.
''Udah aku remove!'' jawabku
singkat.
''Good! Sip? Jangan sedih,
kita berpelukan dong, Say,'' ucap Rania menghibur. Kami sering melakukan itu
berpelukan : seperti adik Rania menirukan gaya teletubbies.
Sore itu hujan turun
deras, padahal sebelumnya cuaca terang
benderang dan terasa terik sekali . Aku masih setia menanti hingga hujan reda,
di dalam toko cokelat The Harvest, belakang Sarinah, Thamrin. Ojek payung
menawarkan jasanya. Payung-payung itu menari-nari di antara rinai hujan.
Sekelebat seperti jamur berwarna-warni yang tumbuh subur di musim penghujan.
''Hmm...''gumamku dalam hati. Lalu pintu terbuka, seorang cowok berkacamata
minus masuk, dekat dengan tempatku berdiri. Ditutup rapat payung basah itu,dan
ditegakkan. Tetesan air jatuh membasahi lantai toko. Sore itu di toko itu hanya
ada aku dan dia sebagai pengunjung toko. Jadi sewaktu kasir mengulang-sebut
kue-kue yang dibelinya atas nama Keith, aku mendengarnya dengan jelas. Saat
nama itu disebut aku memutar balik ke arahnya.
''Keith...'' gumamku pelan. ''Ah, pasti
banyak cowok bernama Keith,'' sahutku sendiri.
Rupanya hujan bukan reda malah
semakin deras. Suhu ruangan terasa dingin. Kini aku berdiri berjajar dengannya.
Sesekali aku mencuri pandang, tapi kali ini ah, sialnya tertangkap basah.
Untung dering hapeku menyelamatkan aku dari tatapan matanya yg tajam. ''Beeppzz...,''
bunyi hapeku dalam keadaan silent hanya getaran saja.
''Iya. Masih di Harvest, hujannya
deras banget,'' ucapku menjelaskan. Rania menelpon, bercerita bahwa puisinya
sudah dikirim lewat SMS ke Keith. Kini ia menantikan balasan. Selang beberapa
menit dering telepon dari hape sebelah, namun si pemiliknya lagi asyik
menikmati musik dari dalam kantong jaketnya. Nada dering yang akrab kudengar “Love
Is Forever”-nya Muse, sangat mengganggu dan terpaksa aku menyentuh
tangannya dan memberi kode bahwa ada telepon masuk. Matanya melotot setelah
tadi terpejam.
''Thanks..,'' jawabnya
singkat.
''Hai Rania, belum. Belum aku
lihat, nggak dengar ada sms masuk. Thanks Ran. Iya aku lagi di Harvest,
hujan nih,'' katanya. Cowok itu sambil menelpon matanya tertuju padaku tanpa
kedip. Bahkan seperti melihatku sebagai makhluk aneh. Dan aku segera
menghindari tatapan matanya.
''Rania?'' kataku keceplosan.
“Berarti cowok di sebelahku ini
adalah si Keith itu,“ gumamku. Keyakinanku semakin masuk akal dari arah
pembicaraan mereka membahas puisi. Puisi? Jangan-jangan itu puisi yang kubuat
kemarin atas permintaan Rania.
Telepon selesai. Dan..
“Hai kamu kenapa bengong gitu?“
sapanya tiba-tiba.
“Aku?“ jawabku balik.
“Iya. Kamu tadi sebut Rania?
Kenal?“
“Rania yang mana? Kan yang namanya
Rania banyak!”
“Rania anak SMA 3 XI IPS 1. Kenal?”
tanyanya ulang. Aku tetap menggelengkan kepala. Bertahan pada pendirian.
“Seragam batik kita sama...,“
jawabnya meyakinkan.
“Tapi tadi dia bilang, kamu adalah
teman sebangkunya. Dan ia menyebutkan The Harvest ini. Aneh?“
“Maaf, aku nggak kenal,“ ucapku
segera pergi meninggalkan dirinya. Menerobos rinai hujan tanpa harus berpayung.
Dengan langkah seribu menuju tikungan jalan Sabang, melewati penjaja kaki lima
yang berjajar sepanjang trotoar menuju gang kecil dibalik rimbunnya pertokoan,
dan tiba di rumah.
Kuletakkan kotak kue The Harvest,
di atas meja makan. Rambutku basah oleh rintikan hujan. Degup di dadaku masih
berasa saat kupandangi wajah itu, Keith. Benar itu Keith yang ramai dibicarakan
di sekolah. Kini aku harus mengakui ia benar- benar menarik. Ia sederhana tapi
mempunyai daya tarik seperti kutub magnet saat matanya menatapku dari balik
kacamata minusnya. Mungkin aku harus menelan lagi kata-kataku kemarin. “Oh
My Gooooodd!” desahku pelan.
Aku teringat tentang puisi yang aku
buat kemarin atas permintaan Rania, seperti intuisi saja aku merasa
mengenalnya. Kemarin aku membuat puisi berdasarkan cerita Rania, saat ia
menggambarkan sosok Keith. Seandainya Rania mengerti bahwa membuat puisi
berdasarkan pesanan adalah tidak nyaman, meski tawaran imbalannya menggoda:
sebuah novel Eclipse terbaru. Puisi adalah wakil dari suara hati melalui
tulisan. Itu sebabnya aku agak malas kalau bukan teman-teman terdekat memintaku
membuat puisi buat gebetan baru mereka. Bila aku menyerah, biasanya aku meminta
mereka menggambarkan seperti apa orang yang akan kubuatkan puisi agar aku bisa
berimajinasi tentang sosok itu. Dan ternyata apa yang aku gambarkan mengenai
sosok Keith adalah benar. Ia seakan menari-nari dalam anganku. Seperti ada yang
menuntunku.
Dua hari Rania absen
karena sakit. Katanya hanya demam
biasa, tetapi berita baru yang beredar, ia dirawat karena demam berdarah. Kini
aku baru merasakan kehilangan dirinya, yang selalu ceriwis dan ceria. Aku
merindukan cerita-cerita serunya terutama tentang Keith. Tentang dia. Hanya
Rania yang mau berteman denganku, dan sabar menghadapiku yang agak aneh menurut
mereka.
Aku bukan seperti mereka, remaja
pada umumnya. Aku lebih suka sendiri. Sendiri membuat aku akrab dengan diriku
sendiri.
“Aku tahu kamu memikirkan Rania,
ya?“ Tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunanku.
“Keith?“ tanyaku terkejut. Ia
mengangguk dan duduk di dekatku.
“Kamu tahu namaku?“ tanyanya tanpa
ragu. Aku beranjak tapi tangan itu menarikku untuk duduk kembali.
“Ada apa denganmu? Kenapa waktu
kita bertemu di The Harvest, kamu berbohong? Lalu pergi!“ tanyanya
bertubi-tubi.
“Maaf waktu itu aku terkejut dan
tak yakin kamu adalah Keith yang sering Rania ceritakan....Maaf ya,“ pintaku
melemah.
“Emangnya dia cerita apaan?“
“Banyaaak....Dan yang jelas kamu
jago main musik.“
“Hehehehe, bisa aja tuh dia.“
“Tapi benar, kan?“
“Iya, cuma bisa aja, mahir nggak
juga. Apalagi jago....Halaaaah!”
“Rania bilang kamu akan mengajarinya
bermain musik....“
“Kenapa kita bicarakan Rania,
kenapa nggak bicara tentang kita?“
“Kita?“
“Ya, kamu dan aku saja...Kita?“
“Aku udah tahu puisi dari Rania,
kamu yang bikin. Ngaku aja kenapa?”
Seribu alasan tak akan bisa
memenangkan keadaan terjepit, kecuali bunyi bel tanda istirahat berakhir.
Dan....Treeeeeettt bel itu akhirnya menyelamatkanku. Huuuufft!!
Sejak itu hampir setiap jam
istirahat aku bertemu Keith di bawah pohon akasia yang terletak di belakang
sekolah. Tempat itu dulu tempatku berbagi dengan diriku sendiri saat aku tak
ingin siapa-siapa menemaniku, meski Rania sahabatku sekalipun. Pohon itu seakan
tak ingin berbagi dengan siapa pun. Bila ada sekumpulan anak- anak kelas lain
duduk di bawah pohon itu, selalu ada sesuatu yang jatuh menimpa
salah satu dari mereka dan akhirnya
mereka segera pergi meninggalkan tempat itu. Namun aneh, saat aku duduk bersama
Keith, segalanya berlangsung
aman-aman saja.
Keith mulai rajin menemaniku pada
jam istirahat pertama atau kedua. Bila ia tak bisa hadir, ia akan menitipkan
secarik kertas mungil yang diselipkan di antara batang pohon yang berlubang
tertutup rimbunan lumut. Waktu itu ia yang menemukan dan aku yang mengusulkan
ide itu. Proses pertemanan yang singkat dan menjadi akrab. Aku suka Keith. Ia
humoris, sering membuatku tertawa. Keith membuatku berbeda dari biasanya. Yang
paling mengakrabkan kami adalah kegemarannya makan toge. Semua yang berhubungan
dengan toge, ia antusias banget bercerita. Juga makanan ala warteg, itu yang
membuatku kagum. Aku pikir ia akan bercerita tentang musik dan grup band-nya,
seperti yang Rania ceritakan. Musik membuatku iri, karena aku tak bisa bermain
musik seperti kakakku, Rara. Andai dulu aku tekun pasti satu alat musik bisa
kukuasai.
“Kenapa kamu nggak memulainya
lagi?“ tanyanya.
“Memulai?“ tanyaku balik.
“Ya lebih baik terlambat dari pada
tidak sama sekali,“ itu jawabannya saat aku bercerita ingin berlatih musik. Aku
berpikir dan boleh juga usulnya itu. Tiba-tiba ia menyodorkan padaku dua buah
kue comro, tepat di hidungku, hingga aroma oncom baru digoreng masih tercium
hangat.
“Comro?“ tanyaku kaget.
“Kamu nggak mau?“
“Anak sebeken kamu mau makan
comro?“
“Emang kenapa? Ya udah buat aku
aja,“ serunya. Namun segera aku meraih comro itu sebelum hilang dalam
genggamannya.
“Bukan....Aku mau, Keith!“ Saat itu
wajahnya dekat dengan wajahku, degup jantungku berdetak kencang. Empat mata
tanpa kedip hingga tanpa sadar, hidungnya menyentuh ujung hidungku. Mataku
terpejam lalu kupalingkan wajahku. Dan comro di tangannya lepas menggelinding
ke tanah. Duh! Bersamaan itu Rania sudah berada di depanku dan tanpa sempat
menghindar tiba-tiba tangannya mendarat di wajahku. “Plaaak..“
“Munafik kamu, Ri! Katanya nggak
suka, malah diam-diam pacaran dengan Keith. Sebeeelll.... Sahabat macam apa
kamu, Rie?!“ Keith melerai dan membiarkan Rania meninggalkan kami dengan amarah
yang meluap. Keith tak menyusul Rania namun tetap berdiri di dekatku dengan
salah tingkah.
“Keith, pergilah!. Biarkan aku
sendiri, susul dia aja.“
“Rie, aku nggak ada hubungan
apa-apa dengannya. Jadi buat apa aku menyusul dia?”
“Tapi Rania sangat suka kamu, dan
berharap kamu jadi pacarnya,” ucapku beranjak meninggalkan Keith yang masih
bersandar pada pohon. Aku ingin menjelaskan pada Rania, tapi aku rasa
pembelaanku sia-sia belaka. Hingga kuputuskan segala bentuk marahnya aku terima
tanpa melawan sedikit pun.
Sejak itu aku menghindari bertemu
Keith di bawah pohon itu. Saat aku mengunjungi pohon itu, aku menemukan
beberapa pesan singkat yang ditulis dari secarik kertas, dengan isi yang sama.
”Maafin aku, Rie. Besok kita
bertemu di sini, ya?. Aku beli comro untukmu.” Namun, aku sengaja tak mau
menemuinya lagi. Sekelebat ia sering melintas di depan kelas, dan mencuri
pandang. Aku tak mau membuat Rania semakin marah, lebih-lebih Keith hanya
menganggap sebagai teman biasa saja. Rania tak seriang dulu, kini ia pendiam.
Hal ini membuatku semakin tersudut. Hari-hari penuh kebisuanku kini menjadi
santapan biasa. Suatu hari aku tak menemukan pesan- pesan Keith, pada lubang
pohon itu. Langit serasa runtuh. Hatiku meringis. Keceriaan Keith hanya
kunikmati dari pesan-pesan singkatnya itu. Janjinya tetap sama, ingin menikmati
makan comro berdua denganku di bawah pohon. Dan itu tak pernah kupenuhi. Hape?
SMS? Kami tak pernah membahas. Aku lebih suka dengan cara unik ini walau harus
menunggu jam sekolah selesai dan sepi.
Bubaran sekolah, tiba-tiba ada
sebuah tangan menarikku. Ternyata Keith. Kacamatanya hampir jatuh saat aku
berusaha melepaskan tarikan tangannya itu.
Beberapa pasang mata memandangku
penuh tanya. Keith menarikku memaksa dan kami berjalan menuju pohon akasia
tempat biasa bertemu.
“Rie, aku capek dengan hubungan
kita,“ katanya menahan emosi.
“Aku nggak pernah menganggap kita
berhubungan,“ jawabku ketus.
“Kamu pikir aku menemanimu di sini
itu hanya iseng doang?”
“Aku tak pernah memintamu datang ke
sini.“
Ia diam membalikkan badannya. Dan
nada dering dari Muse memecahkan bisu. Ia tak mengangkatnya malah me- reject-nya.
Ia tahu lagu itu kesukaanku dan Rania. Sejak menonton Twilight, aku
menyukai lagu-lagu soundtrack-nya yang dipercayakan pada Matt Bellamy dkk. Justru bukan
suka pada sosok si Vampire ganteng, Robert Pattison. Langit masih terang tetapi
tiba-tiba butiran air jauh dari langit. Gerimis. Rimbunan dedaunan mampu
melindungi dari gerimis tak diundang. Keith merapatkan tubuhnya tanpa jarak ke
arahku. Kami masih bertahan diam, hanya hati yang bicara. Lalu, Keith
mengeluarkan dua surat untukku, satu dari Rania dan satunya lagi darinya.
“Rie, ntar aja baca di rumah. Nggak
perlu kamu balas kalau emang nggak perlu dibalas, cukup dibaca doang,” ucapnya
kalem.
“Iya thanks, Keith,” balasku
menimang-nimang dua surat itu.
“Oya, ini kubawakan comro yang dulu
belum sempat kamu makan. Makanlah! Aku tadi sudah makan saat menunggumu.”
“Makasih ya, Keith. Kamu baik
sekali!”
Aku hanya mematuhi semua yang ia
saranku, aku seperti robot yang sudah diprogram. Perlahan kugigit comro yang
dingin itu. Sekilas ia menatapku lalu dipalingkan wajahnya. Sebenarnya aku
ingin bicara, hanya tak tahu harus memulai dari mana. Kemudian, larut dalam
keheningan hingga gerimis reda. Langkah- langkah itu terpisah pada ujung pintu
gerbang sekolah, menuju jalan pulang yang berbeda.
Dua surat kubaca dengan
saksama terutama dari Rania, yang menyatakan penyesalannya karena tak mendengar
penjelasanku. Dan mengakui kekalahannya mendapatkan hati Keith. Ternyata Rania
masih ada ikatan darah keluarga dari pihak mamanya. “Dunia ini sempit, Rie.
Keith masih sepupuku dan ia sebenarnya sudah menjadi teman ef-be-mu, sejak aku suggest
pertemanan denganmu. Sayang kalian tidak pernah interaksi.“ Itu kalimat
terakhir di surat dari Rania. Sedang dari Keith, hanya pesan singkat : “Besok,
temui aku di bawah pohon kita, sebelum jam 4 sore, aku menunggu-mu, Keith.“
Sabtu sore aku menuju halaman
sekolah yang masih ramai, banyak teman-teman baru kelar ekskul. Langkahku
langsung tertuju pada halaman belakang sekolah tempat pohon akasia yang entah
beberapa tahun tegak berdiri di sana.
Namanya Keith. Sekarang aku tahu
dia yang bernama Keith. Aku mengenalnya jauh sebelum mereka, teman-temanku,
mengenalnya. Tanpa interaksi, tanpa bertemu, hanya instuisi yang menuntunku.
Senyum sumringah menghias wajahku secerah lukisan sore. Saat cakrawala senja
jatuh di ujung kaki langit sisi kota Jakarta yang riuh. “Keith..Keith..Keith,
aku suka kamu,“ gumamku sendiri sambil berlalu, meninggalkan sepucuk surat
buatnya, di lubang pohon kita. Dalam surat kutulis, “Tunggu aku ya, Keith. Aku
pergi membeli comro. Kita makan bersama, walau di bawah pohon toge sekalipun,
seperti imajinasimu saat itu. Please waiting for me, Keith. - Ririe.“
SELESAI
NB : Cerpen ini untuk sahabatku
musisi/gitaris Keith Rustam.