Selasa, 22 Oktober 2013

My Journey Two Weeks (5)


Episode Solo - Yogyakarta

Akhirnya jalan-jalan saya sampai juga ke Solo. Perjalanan dari Surabaya - Solo ditempuh dengan kereta pagi Sancaka Pagi dengan tiket seharga seratus dua puluh lima ribu rupiah. Kereta berangkatnya pun ontime jam 07:00 wib dan keretanya bersih juga nyaman Sesampainya di stasiun Solo Balapan, saya melanjutkan ke rumah adik dengan taksi. Baru kali saya indal indil sendiri, biasanya saya dijemput Totok, adik ragil. Berhubung ybs sakit dan baru keluar dari opname, jadi semua serba mandiri.

Mungkin kunjungan kali ini tidak seperti kunjungan saat putra saya, wisuda. Sekeluarga bisa menikmati lesehan nasi liwet, di daerah Solo (ringroad) dimana akan memasuki kota mandiri itu dapat dijumpai lima patung Pandawa Lima. Sesuai urutan dari Pendawa, dibagian tengah berdiri tegak Yudistira, dan keempat adiknya mewakili letak mata angin, utara, selatan, barat dan timur, Nah, urutannya saya lupa, yang jelas putra kedua dari prabu Pandu dan Dewi Kunti, bernama Bima berhadapan dengan putra urutan ketiga yang sangat dikenal sangat pandai memanah dan berparas rupawan yaitu Arjuna. Sedang dua adik kembar Nakula dan Sadewa saling berhadapan pula. Solo kini mulai menjamur mall dan plaza seperti kebanyakan kota-kota di seluruh penjuru pulau Jawa, namun kekhasan pasar Klewer tak akan membuat para wisatan domistik melupakn untuk mampir.

Kunjungan 17-20 Oktober 2012 lalu benar-benar dalam keadaan niat menengok adik, mewakili keluarga besar terutama Mama, yang saat itu tengah berada di kota Balikpapan. Sehari-hari saya bermain dengan keponakan saya yang sudah bisa berjalan dan berlari. Selain lucu juga cantik, nggemisin namanya Shafira, usianya baru 1,5 tahun. Dan kesempatan sempit itu saya pergunakan jalan ke Yogyakarta walau pun saknyut. Bertiga saya, Ika dan Shafira lalu janjian bertemu dengan Shelly di Mirota Batik.


Me - Ika - Shafira
Mirota Batik selalu membuatku rindu kembali dan kembali, meski hanya membeli 'kartu pos' saja.
Shafira - Me - Shelly
Entahlah aku jatuh cinta sejak pertama kali mengenalnya, kira-kira 14 tahun yang lalu.

Mirota Batik, itu tokonya jumampel (he he ini bahasa keluar sendiri saat saya mengetik) artinya apa yah (sambil mikir). Duuh ! Pokoknya tokonya komplit deh! yang jelas segala keinginan kita berupa souvenir tersedia, sesuai kantong masing-masing, dan harus kuat hunting alias betah memilih. Mirota Batik, anak -anak saya paling nggak suka tuh mampir kesana, bila memang nggak ada perlunya. Maklum anak-anak sudah besar-besar, nggak seperti puluhan tahun lalu yang merengek minta pulang karena mamanya sibuk milih, :-). Asyik sih, mungkin karena saya suka pernak-pernik yang unik tapi murah (maklum sangunya pas-pasan sih). Saat kunjungan saya ke Mirota Batik tujuannya sederhana, beli kartu pos dan menjemput sebotol beras kencur, unik khan? Jauh-jauh menempuh jarak Solo-Yogyakarta hanya untuk itu. Tetapi bagi saya sangat berharga sekali. Dan ini melengkapi catatan perjalanan saya selama dua minggu kemarin. Saya dan Mirota Batik sehati deh.

Mirota Batik, saat kita akan memasuki pusat belanja khas Yogyakarta yang terletak di ujung jalan Malioboro yang fenomenal itu, para pengunjung akan disambut lantunan gending jawa dan bau dupa yang semerbak harum mewangi memenuhi langit dan tuang toko berlantai tiga itu. Nggak semua pengunjung nyaman dengan wewangian itu seperti anak-anak saya bilang seperti berada di suasana perdukunan. Hahaha....namun beda untuk masyarakat setempat itu sebagai wewangian yang sangat familiar dengan adat istiadat setempat. Mirota Batik sekarang menyediakan pula bapia pathok merek Raminten. Mungkin perbedaan dengan bapia-bapia lainnya, ada kemasan mungil berbagai rasa pula. Namun cita rasa kembali tergantung selera, enaknya buat oleh-oleh karena bentuknya mungil itu jadi nggak memberatkan barang bawaan.

Gending Jawa biasanya diputar dari sajian televisi yang memutar upacara keraton, tetapi kali ini benar-benar dilantunkan oleh penembang Jawa atau sinden (bapak) dengan menggunakan seperti kecapi (maaf belum tahu nama alat musik itu). Lha saya kira ibu-ibu disampingnya adalah pesinden perempuan, ealah ndilalah itu hanya patung. Yang saya ingat saat itu, ada lagu,"Gethuk." Seingat saya pernah dipopulerkan oleh penyanyi Nur Afni Oktavia, lagu ciptaan Manthous. Tentu lagu Gethuk itu sangat familiar disaat saya masih remaja. "Gethuk rasane soko telo, yen ora pethuk, atiku soyon gelo" artinya Gethuk nama sebuah makanan khas Jawa Tengah yang terbuat dari singkong, kalau nggak bertemu bikin hati kecewa, kurang lebih maksudnya begitu namun tembang jawa berupa parikan atau nyinden memang mempunyai irama khas dan seperti berpantun. Banyak sekali barang yang tersedia disana, dari taplak meja, daster, topi, makanan minuman khas Jawa sampai benda-benda antik lainnya, namun bagi saya cukup kartu pos yang menarik. Entah versi batik, atau barang-barang jadul, produksi Mirota Batik tiada duanya. Usai berbelanja lalu kami segera menuju stasiun kereta api dengan naik becak, mengejar jadwal sepur Pramex Yogya - Solo. Perpisahan pun langsung dan entah kapan bisa menginjakkan kaki kembali ke Mirota Batik loved one.

Setibanya di Solo, segera berbenah karena keesokan hari saya harus cabut kembali ke habitat dan memulai rutinitas. Dengan kereta api Biru Malam atau Bima, saya meninggalkan stasiun Solo Balapan dan esok subuh sudah berada di Jakarta dan melanjutkan kembali dengan commuter line menuju Bogor. Lengkap sudah perjalanan aglenon selama dua minggu kemarin, fresh melepas penat dari kegiatan yang itu-itu saja. Ini sebuah nikmat-Nya yang diluar prediksi bahwa saya akhirnya bisa lenjelenan. Barakallahu nikmat itu, semoga senantiasa menjadi hamba-Nya yang selalu bersyukur dalam keadaan apapun. Terima kasih sudah membaca tulisan ini dan sampai jumpa lagi....



Salam,
arie rachmawati