P O P I C E
Oleh : Arie Rachmawati
“Krompyaaang….!” Sebuah kaleng bekas soft drink melayang mengenai wajahku.
Segerombolan anak – anak nakal yang membuatku terbirit – birit, hingga
jatuh ke selokan penuh sampah mengambang. Ada kaleng kosong bekas
makanan siap saji sempat menyentuh kuliku yang lembut. Meninggalkan
luka. Perih.
Siang itu udara gerah sekali, peluh keringat bermandi sauna. Semua manusia mulai mengeluh tentang Global Warming
benar–benar membuat dunia semakin panas. Semak belukar seperti
terbakar, tak ada tempat untuk istirahat walau menata nafas yang tak
beraturan.
Sudah
lama hujan tak turun. Aku tak suka air tapi kehadiran hujan adalah
pengusir kemarau yang panjang Bahkan jalananan yang aku lalui pun
panasnya aspal masih terasa menempel di seluruh telapak kakiku. Melepuh
karena perjalanan tanpa mengenal batas. Lelah, lidahku menjulur keluar
dan air liur itu mengering. Haus.
Hingga
aku tiba pada sebuah rumah terletak di ujung jalan ini. Aku lelah
berjalan dan aku ingin tinggal di rumah yang sederhana dan asri ini. Aku
yakin ini pelabuhanku terakhir.
Nama
jalannya aku tak tahu. Yang aku tahu pemiliknya memiliki dua anak gadis
yang cantik dan berambut panjang. Kedua orang tuanya pun memiliki wajah
sama menariknya dengan mereka berparas sama itu. Kaum manusia
menyebutnya kembar. Sepertinya mereka sebuah keluarga yang bahagia.
“Ah, andai aku memiliki keluarga seperti mereka,“ gumamku dalam hati.
“Bundaaaa…,
sini ini ada pussy. Kita pelihara ya Bun…”, pinta salah satu anak
kembar yang lebih feminin. Kedua bola matanya bulat penuh tertuju padaku
dan aku suka itu.
“Meooow…”
jawabku setuju. Aku buat seraut wajahku memelas. Sedang kembarannya
asyik bermain bola basket. Bola itu lebih menarik perhatiannya bila di
banding dengan kehadiranku, yang membutuhkan perhatian ekstra.
“Venska, ingat ini kucing kampung. Silver pasti akan merasa tak aman, sayang?“ suara Bunda, lembut sekali.
“Meooow…, kangen!“ sautku manja jadi ingat ibuku.
“Please dong Bunda, siapa tahu bisa berteman dengan Silver. Iya…, Bunda, boleh ya?“ Venska merajuk.
“Okelah…, tapi ingat, jaga kebersihan dan jangan membuat gaduh Ayah tak suka itu.“
“Thanks
Bunda. Iya Venska berjanji deh! “ ujarnya kegirangan. Aku hanya
tersenyum menang. Keinginanku terkabul. Tapi, siapakah Silver itu?
Anjingkah? Kucingkah? Bahkan saat aku datang tadi bau khas sesamaku pun
tak tercium olehku.“
“Silver…,
meooow, aku datang salam kenal dariku,“ sapaku. Gadis bernama Venska
itu membawaku pada sebuah taman kecil di samping rumah. Lalu, aku
diguyur dengan air dengan gayung berkali - kali. “ Brrrrr…, dingiiiiin!“
Girang-ku berkepanjangan. Sesekali tangan mungil gadis itu
membubuhkan cairan bening dan menggosokkan pada sekujur tubuhku, tercium
bau wangi. Hingga tersentuh luka kecil itu dan perih. Meoooow. Gadis
yang tadi kulihat asyik bermain bola basket, rupanya mengetahui jeritan
sakitku.
“Va…, coba lihat sepertinya ada luka deh !“
“Oya? “
“Benar Vi, buruan ambil Betadine dan kapas! “
“Meeooow…,” ujarku
menahan perih. Usai itu kedua gadis cantik itu bergantian memberiku
makanan berupa butiran lembut yang dituang dalam mangkok coklat
bertuliskan “Silver“. Makanan itu ternyata membuatku mual.
Aku melihat tulisan dalam kemasan “Friskes“ dengan ada gambar
sejenisku. Aku rindu sajian sederhana, cukup nasi putih terbaur dalam
urapan ikan pindang goreng. Selera itu pembangkit rasa.
“Oh…, rupanya kau tak suka ya?“
“Sebentar aku ganti susu aja ya?“
“Meeooow…,”
jawabku mengangguk. Venska berlari menuju lemari pendingin dan
menuangkan susu putih. Aku menjulurkan lidahku perlahan hingga habis,
rasa laparku telah hilang.
“Meeooow, terima kasih ya?“ balasku hormat.
“Oke deh… , sekarang kamu istirahat.”
“Hmm…, aku beri nama apa ya untukmu?“
“Yaa…, Popice aja!“ ujarnya semangat.
“Meeooow…aku punya nama cantik, Popice!“
“Meeooow…, terima kasih cantik, “ balasku senang.
*****
Malam
semakin larut dan hujan baru menyentuh bumi. Syukurlah kini aku
mendapat tempat berteduh walau harus menumpang pada keranjang Sivler.
Menurut mereka besok Silver akn pulang bersama Gio, adik bungu mereka
yang tengah berlibur ke rumah nenek. Silver…??
Bunda
dengan rambut bergerai lebih cantik parasnya dari pada rambutnya
terikat ke atas. Bunda, menyuruhku beranjak dan tempat tidurku itu
segera dibersihkan.
“Hari ini Silver datang, kau Popice baik-baik ya dengannya, “ ucapnya mengajakku berbicara.
“Meeooow… ” Silver, Silver, Silver lagi siapa dia?. Aku baru menikmati kelembutan keluarga yang hangat, haruskah terusik?
Deru
mobil berkenyit berhenti tepat di depanku. Seorang anak laki-laki
berponi tipis turun dari mobil dan menggendong seekor kucing Persia.
“ Bundaaaa…, Gio pulang!“ sapa anak laki-laki itu berlari menghampiri Bundanya.
“Oh itukah Silver?“ tanyaku dalam hati. Aku tahu ia berbeda dari golonganku.
“Meeooow…”sapaku ramah.
“Meeooow
too…,” sahutnya menatap sekilas. Mata kami sempat beradu. Silver cantik
sekali, bulu-bulunya mengundang kagum. Warna keabu-abuan beradu dengan
warna putih tulang. Tingkahnya yang anggun, membuatku salah tingkah.
Ah…, begitu jauh perbedaan kami. Sekarang aku baru menyadari arti ucapan
Bunda waktu itu.
“Venska, ingat ini kucing kampung. Silver pasti akan merasa tak aman, sayang?“ suara Bunda kembali tergiang di telingaku.
Waktu berjalan, entah
berapa lama aku tinggal di sini. Yang aku ingat saat datang pertama
kali tubuhku kurus kering dan bau. Kini aku menjelma menjadi kucing
kampung berparas Persia. Bahkan kucing-kucing tetangga pun mulai bermain
mata denganku. Terima kasih Silver telah banyak mengajariku dalam
pergaulan lingkungan elite dunia kami.
Sore
itu aku kedatangan tamu, seekor anjing betina berbulu hitam putih,
sejenis serigala, nampak gagah sekali. Silver memperkenalkan padaku,
bahwa anjing itu milik seseorang sahabat ayah si kembar. Ia menyalak
tanda perkenalan.
“Guk…guk…” sapanya ramah.
“Meeoow…,”
balasku agak segan. Silver memberi tanda kepadaku agar tidak boleh
menunjukkan itu. Silver berbisik padaku, bahwa Abigail anjing yang ramah
dan cantik. Andai Abigail seekor anjing jantan, pastilah aku jatuh
cinta pada pandangan pertama. Benar-benar menarik. Abigail telah
tertambat hatinya pada seekor anjing berbulu pudel bernama Carpone,
milik seorang perempuan yang tinggalnya di blok sebelah.
“Oh…” kataku murung.
“Guk…guk…
, kita bersahabat saja. Tak selamanya anjing dan kucing bermusuhan.“
katanya menghampiriku dan menawarkan persabahatan.
“Iya, Thanks ya Abigail!“ balasku.
“Nanti kau akan kukenalkan dengan kucing tetanggaku. Pasti kalian saling menyukai deh! “ balas Abigail.
“Terima
kasih. Aku pamit dulu ya! Venska mencariku. Kapan-kapan kita ngobrol
lagi. Senang kenal kamu. Salam buat majikanmu, sepertinya ia sangat
hangat “pamitku.
“Iya jelas. Aku bangga menjadi penjaga setianya.“
“Terima kasih kembali. Popice kamu manis sekali. “
“Meeoow…, daaag Abigail, daaag Silver“
Aku tersenyum, dan segera mencari arah suara yang memanggilku berulang kali. Venska menyambutku dengan penuh cinta.
“Popice, hari ini kamu berulang tahun. Ya setahun lalu saat kau datang ke rumah kami. Blablabla…,” ceritanya menggebu-gebu.
“Popice…, sudah wktunya kamu menikah, dan mempunyai baby yang cute. Akan kukenalkan kau pada kucing temanku. Aku sudah melihatnya…, cakep banget dia, pasti kau suka deh!“
“Ulang tahun…, meeoow?“
“Menikah…, meeoow?“
“Punya baby cute?
Meeoow?“ Banyak kata-kata baru tiba -tiba memenuhi pikiranku dan aku
tak paham. Malam semakin larut dan aku tenggelam bersama dingin.
*****
Silver duduk merenung, ekornya ditekuk di dalam selimut. Aku hanya memandangnya. Hari itu ia bertingkah aneh, sepertinya gelisah. Udara
tak bersabahat. Aku merasa kedinginan, ingin ikut berbagi kehangatan
dengannya. Wajahnya sengaja berpaling dariku saat aku menatapnya,
mencari sebuah jawaban. Sejak aku bertanya tentang ulang tahun, menikah
dan baby cute. Silver diam seribu kata. Hening, hanya terdengar hujan turun, tik…tik…
“Meeooow… , Popice sini!“ sapanya. Kepalaku yang semula dalam satu tekukan langsung melongok ke arahnya.
“Meeooow… ,” sahutku malas.
“Sudah
waktunya kau keluar dan bersosialisasi dengan kucing – kucing tetangga,
jangan bersamaku di sini. Kau seperti mereka komunitasnya lebih
semarak, sedang aku hanya kalangan terbatas. Meeooow…”
“Kenapa kau berkata demikian, Silver?“
“Apakah pertanyaanku tadi telah menyinggungmu?“
“Maafkan aku bila itu membuatmu marah. Tak akan kuulang lagi.“
“Bolehkah aku memelukmu berbagi dalam selimutmu, Silver.“
“Boleh … , silahkan Popice.“ Hari
itu aku pertama kali berada dalam satu selimut dengan Silver, kucing
Persia yang cantik dan elegan, berhati selembut salju. Silver banyak
mengajariku berbagai hal. Dan bersamanya aku merasakan nikmatnya makanan
enak dan bergizi. Tentu itu membuat kucing – kucing sejenisku
mengundang rasa jealous. Silver mendekapku dalam hangat.
Keesokan harinya aku mendapatinya dalam tubuh yang dingin. Silver telah
berpulang, meninggalkan aku sebelum aku membalas kasih sayangnya.
“Bundaaa…, Silver is deat!!!“
pekik mereka bersamaan. Aku memandang dari bawah meja tamu tempatku
untuk rehat. Aku juga menangis seperti mereka penghuni rumah ini yang
telah kuanggap sebagai keluargaku. Silver selamat jalan…hiks!
Siang
itu saat rumah mereka kedatangan tamu dalam perhelatan keluarga, aku
sengaja pergi keluar. Mereka sibuk dengan kesibukan masing-masing. Aku
bertemu kucing tetangga yang tinggalnya di blok sebelahnya, namanya
Lutu. Lutu masih satu saudara dengan Chimung,Chemong dan Chuming, kucing
kembar tiga, teman bermainku petak umpat. Mereka sedang berkumpul
bersama, lalu mereka mengenalkan padaku Eros juga Tono kucing berparas
preman berwajah penuh cakaran. “Meeooow…”
Sebulan
dari perkenalan itu aku memutuskan menjadi milik Lutu, kucing berbulu
emas yang rajin buang air seninya di kamar kecil. Lutu bercerita padaku
si pemiliknya Anny selalu mengajari hidup disiplin. Tentu itu
mengingatkan pada almarhum Silver, yang telah aku anggap sebagai ibu
asuhku.
“Meeoow…
, meeooow… ,meeoow, “ suara itu membuatku terjaga. Jerit kelaparan
ketiga anakku Snowy,Tiger dan Grumpy. Trio Mii Mii membuat rumah kian
semarak. Andai Silver masih ada tentu akan berbagi kebahagiaan lucunya
mereka saat berebut makanan.
“Owy, Ampy dan Iggy siniiiii… ,” panggil Venska dan Venski bersamaan.
“Meeooow…,”
jawab mereka serempak. Dari anak tangga aku memperhatikan ulah ketiga
anakku yang sedang tumbuh kembang. Mereka perpaduan antara Lutu dan aku.
Lutu?? Ah… , kucing jantan itu telah beranjak pindah kelain hati. Aku
dengar ia sekarang sedang mendekati kucing tetangga baru pindah, namanya
Kitty Cathy.
“Meeooow…
,” manjanya Trio Mii Mii membuat si kembar kegelian. Mereka mengajaknya
bermain bola bersama beberapa teman sekolahnya. Aku bahagia melihat
mereka bergemul bersama, suatu keadaan yang tak pernah aku dapatkan
sewaktu aku kecil.
“Owy… , nakal, entar
Va jewer ya?“ ucap Venska mulai kewalahan ulah anak bungsuku itu. Aku
jadi ikutan tertawa. Canda tawa yang membuatku seperti muda lagi hingga
Eros kucing tetangga milik Diandara mulai memainkan flirting. Lalu aku menjalin hubungan dengannya. Saat itu melintas Abaigail bersama tuannya.
“Guk! Guk! Apa kabar Popice? Apa kabar Silver? “ sapa Abigail.
“Meeooow… ,Abigail! “
“Hai, Silver sudah lama mati. Dan, aku sudah punya tiga anak yang lucu.“
“Oh… , Ikut berduka. Selamat jalan teman.“
“Jadi ketiga kucing mungil itu anak-anakmu, lucu ya?“
“Namanya?“
“Snowy, Tiger dan Grumpy.“
“Aih… , nama yang indah. Selamat ya, Popice!“
“Kenapa raut wajahmu murung?“
“Aku tak sebahagia kamu Pop. Carpone juga sudah mati. Aku merasa sendiri “
“Jangan bersedih sobat. Bukankah kita bersahabat?“
“Abigail… , boleh aku memelukmu?“
“Tentu, dengan senang hati Popice.“ Aku
menghampiri Abigail yang duduk dekat kaki tuannya tengah asyik bertukar
cerita dengan ayah si kembar. Mereka berbicara seperti nada-nada irama
mengalun indah. Aku dan Abigail memperhatikan keduanya. Aku merasakan
keakraban itu, seperti saat Abigail memelukku. Kami berdua tertawa
bersama seiringan mereka dua sahabat karib yang tak lekang oleh waktu,
begitu cerita Silver saat menceritakan satu per satu penghuni rumah ini.
“Meeooow… , meeooow, “ suara yang aku kenal.
“Ya ampun ia Eros, pasti salah paham deh!“ ujarku kaget.
“Guk… , guk biar aja akan kuhadapi, Popice“
“Eros,
sabar…, kau salah paham. Yang kau lihat tadi tak seperti kau pikirkan,
kami hanya bersahabat. Ia sahabat Silver. Bukankah kau kenal. Kami
bersahabat sudah lama seperti kedua tuan kami, lihatlah!. Kamu jangan
bikin gaduh, mereka sedang membuat lirik lagu.“
“Meeooow…”
“Oh My God… , Tono datang, kucing pembuat onar.“
“Tono?“
“Ya Abigail, please…, kamu jangan keluarkan taringmu. It’s just kidding. “
“Just calm down… , meeooow“
“Guk… , guk!“
Di
halaman luar Tono dan Eros beradu. Dari pertengkaran itu aku
menyimpulkan bahwa Eros telah diam – diam menjalin hubungan si Lexy
kucing mungil milik Okta gadis kecil teman Gio. Lexy kekasih Tono.
Sekarang aku berterima kasih kepada Tono, kucing pembuat onar telah
membuka kedok Eros yang selama ini berwajah innocent.
“Meeooow… ,sialan kau Eros!“
“Pergiii, meeooow!“
“Guk… , guk jangan bersedih Popice, kemarilah aku sahabatmu!“
“Kita saling men-support… , guk…. ,guk!”
“Thanks ya Abigail. Semoga persahabatan kita abadi.“
“Sama-sama Popice yang manis.“ pujian itu membuatku terhibur.
“Meeooow… , meeooow… , meeooow!“ sapa Trio Mii Mii menyapa kami.
“Mom… , ada berita bahagia sekaligus berita sedih,“ ujar Iggy antusias.
“Oya?“
“Iya…“ sahut Owy sedih disusul Ampy
“Guk…, guk…, ada apa?“ balas Abigail.
“Venska dan Venski akan kuliah ke luar negeri, katanya tempat yang jauh.“
“Oya, bagus itu guk… , guk!“
“Bagus? Meeoow?“ tanya mereka serempak.
“Bagus untuk mereka si kembar tapi tak baik untuk ketiga anakku.“
“Benar, tapi kalian masih memiliki anggota keluarga lainnya.“
“Tapi tak sehangat Venska dan Venski,“ sahut mereka berbarengan.
“Meeoow… , meeooow… , meeoow,“ tangis mereka meledak.
Sejak
mendengar kabar itu, ketiga anakku tak lagi ceria. Kesedihan jelas
tergambar di wajahnya. Bahkan kenakalan dan keusilan Owy tak nampak. Aku
merangkul ketiga anakku. Dan, saat perpisahan itu terjadi Trio Mii Mii
kian murung. Aku ingat saat Venska dan Venski saling bergantian memeluk
ketiga anakku juga berpamitan padaku.
“Popice…, jaga mereka ya selama kami pergi.“
“Kami
pasti merindukan kalian, muuuuaaaach!“ tangan mereka melambai. Kami
berempat hanya melepas di depan rumah hingga menghilang di ujung jalan
menikung itu.
Siang
itu ada deru mobil berhenti tepat depanku duduk di bawah pohon. Turun
seorang wanita berkerudung dan seseorang laki-laki. Bunda dengan ramah
menyapa sambil membersihkan mangkok besar
“Assalam’mualaikum.“
“Wa’alaikum salam.“
“Hai, sepertinya aku pernah ingat wajah ini siapa ya?“
“Hmm… , Riri ya?“ Bunda menebak nama tamu yang datang.
“Wah
kamu sekarang berjilbab ya, tambah cantik, ayo masuk. Ayah ada tamu,
Riri,“ ucap Bunda sepertinya telah mengenal tamu siang itu.
“Terima kasih. Apa kabar mbak?“
“Meeooow… Halo aku Popice?“
“Meeooow… , hai aku di sini, salam kenal. Aku mencium sepertinya auramu bisa membaca bahasa kami. Hai Riri…, meeooow!“
“Kau berbicara denganku?“
“Ya tentu. Aku dengar tadi pembicaraanmu dengan tuanku. Kamu fans ayah si kembar ya?“
“Lalu…?”
“Ya bantu kami.“
“ Kami itu siapa?“
“Aku Popice dan ketiga anakku Trio Mii Mii, sampaikan salamku untuk si kembar lewat alat yang ajaib itu.“
“Maksudmu laptop yang aku bawa ini?“
“Hahaha…, kamu ada–ada saja Popice. Namamu cantik sekali.“
“Thanks ya Riri, meeooow.“
“Please bikin sesuatu tentang kami buat Venska dan Venski, rindu ini.“
“Riri, bikin video terus di upload ke youtube.”
“Hahaha…, permintaanmu aneh sekali. Waahh, hebat juga kucing canggih nih! Salut deh!“
“Ssttt!! Mereka datang.“ Pembicaraan itu terhenti karena pemilik rumah kembali berkumpul melanjutkan cerita yang tertunda itu.
“Hai Popice nggak
boleh gitu sama tamu Bunda.“ Bunda mengusikku karena aku merasa akrab
dengan tamu istimewa ini. Aku baru mengenalnya tapi aku merasa akrab
dengannya. Mungkin ia datang sebagai malaikat dari langit untuk
penghubung rindu antara anak-anakku dengan anak tuanku si kembar.
“Riri, kamu punya akun youtube?“
“Punya mbak, kenapa?“
“Kamu bisa video-in kucing-kucing kesayangan Venska-Venski?“
“Mereka rindu. Sekarang mereka tinggal di Belanda, kuliah di sana.“
“Tentu, kapan sekarang?”
“Oke!“
“Tuh kan Riri, benar dugaanku, kamu utusan dari langit, meeooow!“ kataku kegirangan.
“Ha ha ha, berlebihan deh! Ini hanya serendipity aja.“
“Apa itu? Meeooow?“
“Serendipity adalah kebetulan.“
“Sstt! Jangan berisik mereka nanti curiga aku bicara sendiri,“ katanya.
“Oke deh, Thanks ya Ri.“ Aku
senang akhirnya doa yang kupanjatkan telah terkabul oleh Tuhan. Wanita
berkerudung itu telah memotret satu persatu dan mengambil gambar
anak-anakku untuk kirim kepada Venska dan Venski di Belanda melalui
benda ajaib itu.
“Terima Kasih ya Riri, sampai jumpa.”
“Sama–sama ya Popice, jaga anak-anakmu. Kita sama memiliki tiga buah hati titipan dari Tuhan.“
Lambaian
tangan tamu siang itu menghilang di tikungan seperti saat Venska dan
Venski pergi meninggalkan kami di sini. Rindu itu tak pernah mati.
( S E L E S A I )
NB : RIP POPICE 2010