Rabu, 13 April 2011

C e r p e n k u :


DI INTERLUDE AKU JATUH CINTA
Oleh : Arie Rachmawati
(dimuat di tabloid "Gema Publik" edisi no1/ Senin 28-02-2011)

Senja merah merona jatuh di ujung kaki langit Jakarta, indah sekali di antara birunya langit yang bersih dan awan berarak berganti rupa. Saat itu lamunanku tersadar oleh dering ponsel. Teringat aku setahun lalu, saat gitaris itu datang menempati tempat favoritnya diujung koridor. Hampir tiga bulan ia dengan beberapa temannya sesama musisi sering mengunjungi tempatku bekerja sebagai waitress di lounge.
Semula kehadirannya kuanggap biasa saja, layaknya pengunjung-pengunjung lounge lainnya. Datang dan pergi menikmati suasana lounge yang terletak jauh dari keramaian kota dan selalu menawarkan sesuatu yang berbeda pada setiap akhir pekan.
Ia selalu duduk sendiri memojok pada sudut ruangan, saat teman-temannya satu per satu meninggalkan dirinya. Ia senantiasa memetik gitar dan di atas meja selalu berserakan kertas-kertas berisi partitur lagu. Aku tahu hal itu karena dulu aku sempat belajar musik walau tak mengenal not balok hanya notasi lagu saja, selebihnya harus berani bermain improvisasi.
Ia adalah sahabat dari pemilik lounge ini, meski di antara majikanku dengannya jarang bertemu muka. Aku juga baru mengetahui kalau ia seorang musisi senior yang di jaman kejayaannya menghasilkan lagu-lagu yang menyentuh dan meledak di blantika musik.

Bermula pada suatu malam, saat ia tinggal sendiri di sudut ruangan dekat kolam ikan, tak jauh dari tempatku duduk. Malam itu aku shift malam dan pengunjung satu per satu sudah meninggalkan lounge.
Ia berambutnya hitam sedikit gondrong, kurus, tinggi, dan berkumis hitam yang berbaris penuh. Sebentar–sebentar ia berdiri di ujung koridor mematung, lalu menyulutkan api pada sebatang cerutu yg dipegangnya kemudian mematikan apinya.
Tingkahnya tenang, tetapi matanya gelisah. Bahkan ia tak menyadari bahwa ada sepasang mata mengikuti setiap sudut arah pandangnya. Batang cerutu itu kembali berasap. Ada kenikmatan dalam setiap hisapannya, lalu perlahan dihembuskan asap itu membentuk lingkaran. Aku cukup menyebutnya “Lelaki Bercerutu,” karena cerutu itu tak pernah lepas dari tangan kirinya. Kadang aku merasa dekat, saat mengantarkan segelas Inca Cola pesanannya.
Empat mata itu bertemu dalam satu pandang. Ketika mata itu semakin dekat aku melihat keseluruhan sosoknya dan mulai terpikat. “Ah, sialan aku tertangkap basah,” gumamrku dalam hati. Aku menyadari ternyata ia tersenyum dan itu membuatku lupa menanyakan menu tambahan untuk pemesanan berikutnya. “Terima kasih,” balasnya singkat.
Suatu hari, tidak seperti biasanya, kali ini aku menjumpainya di siang hari, kemudian ia melempar senyum kepadaku. Aku tertegun sejenak melihat sosok yang selama ini kukenal ternyata kini jauh berbeda. Ia berada di depanku dengan potongan rambutnya rapi, bahkan wajahnya ada yang beda yaitu tanpa berkumis. Gitar klasik itu masih dalam pangkuannya dengan gaya khasnya memetik gitar dan mengalun lagu demi lagu.
Ditengah terangnya hari tiba-tiba gerimis turun, jatuhnya air dari langit seakan mengikuti ketukan birama lagu. Di luar dugaan, ia menahan tanganku, saat itu aku baru menaruh pesanan menu di atas meja, karena aku terkejut maka segelas orange juice itu tumpah mengenai kertas–kertas bertuliskan not balok menjadi luntur tak terbaca lagi.
“Maaf pak, maaf saya tidak sengaja, maaf,” ucapku berulang kali memohon maaf. Wajahnya tanpa ekspresi marah sedikit pun, bahkan ikut membantu membenahi barang–barang yang berantakan di atas meja.
“Nggak apa–apa. Aku yang salah. Semestinya aku tak membuatmu terkejut, jadi maafkan aku ya?” pintanya lembut. Tangannya menyentuh punggung tangan kananku, seketika wajahku serasa tersiram air dan mengangguk pasrah.
Syukurlah kejadian itu tak diketahui pegawai lain. Aku mengambil langkah seribu dan bersembunyi di balik rak piring di dapur. Dadaku berdegup kencang. Kedua telapak tanganku pun menjadi dingin seketika. Sentuhan sesaat itu telah membuat sekujur tubuhku seperti mendapat sengatan listrik yang dahsyat. Aku tersipu malu.
Semenjak itu ia menawarkan jalinan pertemanan meski tak banyak bicara. Dan seperti biasa ia masih setia duduk di kursi yang sama di ujung koridor lounge ini. Tangannya tak pernah lepas memangku gitar akustiknya. Nada dan irama masih seperti yang kemarin, sepertinya valse itu masih belum tergeser. Dan setiap petikan gitarnya seolah–olah membuatku menjadi kenikmatan tersendiri kala kepenatan mulai memenuhi jadwal kerjaku.
Sudah seminggu lebih aku tak pernah melihatnya lagi, bahkan rombongan teman–teman musisi itu juga sudah lama tak singgah ke lounge ini. Berita yang beredar mereka tengah menggarap album baru. Untuk kebangkitan kembali grup bandnya itu. Aku membetulkan letak kacamata minusku dan kembali merajut benang wol berwarna hijau toska itu menjadi sebuah syal. Beberapa rajutan lagi kelar tinggal membuat rumbai–rumbainya saja. Aku berharap syal sederhana itu bisa bermanfaat buatnya. Ada sebersit rasa ragu, akankah keinginanku itu bisa diterimanya.
Rupanya malam itu sang Dewi Amor tengah berpihak padaku. Ia datang menghampiriku dan duduk tepat di depanku melantunkan satu lagu. Hingga pada sebuah musik tengah sebuah lagu atau interlude, serasa aku terhipnotis. Interlude itu sering kudengar beberapa waktu yang lalu. Rasa haru menyeruak dan berhasil aku sembunyikan beningan cair itu yang membuncah di sudut mata.
Ketika aku beranjak, tiba-tiba tangannya menahanku. Ia menyuruhku bertahan seraya berkata, “Duduklah, nikmati satu lagu lagi untukmu,” pintanya. Intro itu mengalun dengan syahdu. Aku duduk berhadap-hadapan dengannya, pandangan mata kami saling beradu dan saling berbicara tanpa satu kedipan. Hatiku bergemuruh, sedang mulut dan bibir terkunci diam. Suasana hening hanya terdengar petikan gitar itu merajai suasana tenggelam sampai petikan terakhir. Serasa dalam mimpi dan tak ingin terbangun.
“Siapa namamu,” sapanya.
“Denyar,” jawabku singkat.
“Denyar..., Denyar? Hmm..., nama yang unik,” jawabnya seperti tengah berpikir.
“Hanya itu?” ulangnya lembut.
“Yaa...” jawabku mengangguk pelan.
“Kamu tahu arti namamu?” tanyanya lagi.
“Ya, artinya semacam firasat,” jawabku pendek.
“Benar. Denyar semacam serabut halus yang ada di dalam hati. Kita bisa merasakan sebagai pertanda semacam firasat, intuisi, atau ilham. Ya begitulah, kreatif juga orang tuamu,ya?” balasnya dengan senyum.
“Denyar, boleh aku panggil kamu dengan panggilan, Ar saja?” ucapnya memohon.
“Namaku James Wong. Panggil aku Jim saja!. Tanpa pak, ya?”ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Iya, terima kasih, pak Jim. Maaf, saya pamit banyak perkerjaan yang harus diselesaikan. Maaf, mungkin lain kali kita bisa ngobrol banyak,” balasku dengan santun menyudahi pembicaraan itu. Aku segera menghilang di balik tembok yang memisahkan ruangan tengah dan ruang samping. Suaranya serak dan berat, namun lembut ada kedamaian saat ia berkata, benar-benar telah membuatku mabok kepayang.
Hari itu aku baru selesai shift sore, pak Jim sudah menunggu di beranda. Malam itu kami menghabiskan waktu untuk mengobrol dan sesekali ia memainkan gitar akustiknya. Kali ini interlude itu dalam kesempurnaan. Interlude yang pernah dipersembahkan untukku. Ada senyum kepuasaan terlihat di wajahnya. Dan aku menikmati suasana itu.
“Maaf, sebelumnya saya tidak mengetahui siapa bapak. Teman–teman disini mengatakan bapak dulu musisi dan pencipta lagu. Saya lebih suka merajut, sambil mendengarkan musik intrumentalia. Maaf saya, kurang pergaulan,” kataku membuka pembicaraan.
“Ha ha ha, seleramu bagus juga. Jarang gadis seusiamu menyukai pekerjaan tangan semacam itu. Salut!! Oya aku dengar, kamu suka menulis. Selain menulis cerpen, menulis apa lagi?” tanyanya menyelidik.
“Menulis?” tanyaku ulang.
“Siapa yang mengatakan demikian, Pak?” Pikiranku langsung tertuju pada ibu Mia pemilik lounge ini. Hanya beliau yang mengetahui aku suka menulis cerpen. Kebetulan malam itu tiba–tiba Ibu Mia muncul dan ikut bergabung dalam pembicaraan.
“Wah, rupanya kalian sudah akrab, ya? Syukurlah tak perlu lagi saya mengenalkan kalian masing-masing.” Aku menjadi salah tingkah namun situasi itu segera terkendali.
“Duduklah Denyar, tugasmu sudah selesai, bukan? Menemani dan membuat nyaman para tamu adalah servise lounge kita, bukan?” ucap Ibu Mia mempersilahkanku. Kami bertiga larut dalam canda, meski dalam keadaan itu aku hanya sebagai pendengar baik saja. Kemudian, Ibu Mia segera pamit dan tinggallah kami berdua.
“Ar, besok malam aku kembali ke Amersfoort.”
“Amersfoots? Di mana itu?”
“Dekat Belanda.”
“Apakah itu dalam waktu lama atau sebentar saja?”
“Apa kau tak tahu aku tinggal di sana. Kunjunganku ke Indonesia karena teman-teman akan membuat album lagi, sekedar reuni dan nostalgia dalam bermusik.” Aku mengangguk, karena memang tak tahu beradaannya selama ini.
“Secepat itu? Aku merasa baru mengenalmu.”
“Ya. Tapi aku sudah menundanya hingga besok. Semestinya dua minggu lalu aku kembali ke Amersfoort. Kamu tahu kenapa, Ar?” Aku tentu saja menggelengkan kepala dan tak meningkahi pembicaraan itu. Gemuruh di dadaku mulai bangkit, menantikan ia melanjutkan cerita.
“Karena, tiga minggu terakhir ini aku merasa dekat denganmu. Dan, aku diam–diam mengamatimu dengan bantuan Mia. Aku sudah membaca tulisanmu di buku bersampul jingga itu. Aku tertarik dan suka caramu menulis. Liar, bebas dan polos. Mungkin suatu saat kita bisa duduk bersama menulis lirik lagu. Teruskan Ar dan aku akan berdoa untukmu. Aku yakin kamu kelak akan menjadi seorang penulis terkenal,” tuturnya dengan panjang lebar.
“Benarkah? Musisi sehebat kamu menawarkan itu untukku? Ah, jangan membuatku melayang,” kataku dengan becanda dengan hati berbungah.
“Kenapa harus dipungkiri bukankah di bukumu itu bercerita tentang perasaanmu terhadapku. Justru akulah yang merasa tersanjung, Ar.”
“Akulah yang tersanjung, orang sehebat kamu peduli dan perhatian padaku, aku hanya seorang waitress, tak lebih.”
“Huuush..., kamu ngomong apa sih?. Aku melihat sesuatu yang lebih dalam dirimu yang belum terungkap, percayalah.” Kemudian ia duduk merapat dan aku jatuh dalam pelukannya. Sementara malam kian tengelam dan larut hanya bintang gemintang bertaburan di langit gelap. Semilir angin malam menyapu keheningan.
“Tinggalkan sebaris angka nomor selulermu, biar kita tetap berhubungan walau jarak memisahkan kita.” bisiknya ditelingaku.
“Sebentar ya, aku punya sesuatu untukmu.” Segera aku mengeluarkan bingkisan dari tas. Kuberikan itu kepadanya. Aku berharap cemas saat ia membukanya dengan perlahan dengan sorot matanya sesekali tertuju padaku.
“Maaf, aku belum sempat membungkusnya dengan rapi, baru tadi pagi syal ini kelar. Aku berharap kau menyukainya.”
“Terima kasih ya, Ar.” Satu helaan nafas panjang. Ia memberikan kembali bingkisan itu kepadaku dan aku melilitkan syal hijau toska itu pada lehernya, kemudian ia membalasnya dengan satu kecupan di keningku. Kali ini aku benar–benar tak bisa lagi membendung rasa mengharu-biru itu. Dan membiarkan keadaan berlaku. Malam itu adalah malam terindah sepanjang hidupku.
Waktu bergulir, menggulung hari demi hari. Pertautan itu telah berjalan setahun lebih. Aku tak lagi bekerja di lounge itu, sejak ia pamit kembali ke Amersfoort. Komunikasi kami terbatas jarak dan waktu, hanya lewat facebook-lah alat satu-satunya yang bisa membuat ruang rindu itu semakin penuh angan dan impian.
Menjalin kata dalam status dan meng-upload foto baru darinya adalah kegiatan yang amat kunantikan. Hingga suatu hari, aku baru mengetahui keberadaannya setelah sekian lama tidak aktif. Berita merebak bahwa ia tengah mendapat perawatan khusus karena penyakitnya rada serius. Beberapa support dan ucapan dari sahabat-sahabatnya memenuhi dinding facebook-nya. Tentu hal itu amat membuatku tak tenang.
Seperti awan gelisah berganti rupa dan pepohonan menggugurkan daun-daun kering, melayang jatuh ke tanah dan terbuang. Beberapa kali aku menghubungi seluler-nya pun tak berbalas. Satu-satunya orang yang bisa kuhubungi adalah Ibu Mia, sayang nomor itu sudah tak aktif lagi. Jalan satu-satunya mendatangi tempatku bekerja dulu.
Bersamaan itu langkahku membawa ke lounge itu menghadirkan sekelebat wajahnya yang teduh, tengah memetik gitar akustik. Wajah yang pernah akrab dengan sentuhan interlude yang selalu diulang untuk hasil akhir yang sempurna.
Ibu Mia tiba-tiba berdiri di depanku dengan sepasang mata yang sembab dan memeluk diriku. “Maafkan aku ya Denyar, sudah lama ia menitipkan ini padaku. Aku terlalu sibuk hingga aku nggak sempat menghubungimu. Dan aku ganti nomor. Ia, Jim sudah berpulang seminggu yang lalu. Aku kehilangan seorang sahabat,” ucapnya panjang lebar di antara isak tangisnya.
“Meninggal dunia? Kapan, Bu?“

“Ia dimakamkan di mana, Bu?“ tanyaku gamang.
“Di Amersfoort, bersebelahan dengan mendiang istrinya.“ Aku hanya diam terpaku, serasa tak percaya berita duka itu. Kini sebuah compact disc berpindah tangan kepadaku. Dalam genggamanku aku membaca sebuah tulisan, “Buat Teman Malamku.”
Ada rasa haru yang amat dalam yang menguasai relung hatiku. Aku berusaha pasrah bahwa seseorang yang pernah melewati malam-malam panjang bersamaku, kini telah menuju sang Pencipta kembali kepada-Nya.
Aku baru mengenalnya dan merasa dekat dengan sosoknya yang bersahaja. Namun kedekatan itu serasa aku telah mengenalnya sekian waktu yang lama. Petikan gitarnya dalam album soft launching itu sebagai penawar rindu, dalam interlude aku pernah jatuh cinta pada lagu itu. Mengalun dalam keheningan, sebuah senandung malam dalam petikan gitar akustik mengantar pada akhir perjalanan hidupnya.
“Selamat Jalan James Wong, petikan gitarmu mengalun abadi dalam kalbuku.“


SEKIAN.
(Buat : Alm.Jimmy Paais /SYMPHONY-JRS)