Rabu, 16 September 2015

Aglenon 2.2

Lanjutan : 

Sebelas Kota dalam Dua Puluh Hari
(Episode Kedua)

Masjid Agung Madiun


MADIUN (napak tilas)
di KA Madiun Jaya
Senin, 31 Agustus 2015, siang jelang sore dengan kereta Madiun Jaya seharga dua puluh lima ribu rupiah telah mengantarku tiba di stasiun Madiun sekitar jam sembilan malam. Sementara dua teman semasa sekolahku Eny Sriwahyuningsih yang lebih beken dengan panggilan Eny Beatrix dan Syamsiati Ningrum sudah tiba di Madiun dengan kereta Logawa siang tadi.

Memang beda beberapa jam, tapi tidak mempengaruhi
Ningrum - Arie - Eny
pertermuan kami bertiga. Ketika mengobrol dengan Eny sewaktu jumpa di Botani Square Bogor, terlintas satu keinginan untuk /mapak tilas/ dan ingin menengok pak guru bernama Pak Pas yang baru sehat dari sakit. Beliau terlihat sangak tua sekali dalam foto kiriman kakak kelas. Obrolan-obrolan itu melahiran ide sekonyong koder alias mendadak, dengan menggabungkan beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan rencana Mama jadwal rutin kontol ke RSM dr Yap Yogyakarta pada minggu terakhir bulan Agustus 2015. Sementara Eny akan mengengok cucunya di Madiun.  Kesepakatan yang muncul tentu membuat gairah perjalanan ini.

Hari masih Senin malam. ternyata Eny dan Ningrum yang menjemputku sengaja menunda waktu makam malam karena permintaanku ingin menikmati sepincuk nasi pecel Madiun di jalan Cokroaminoto. Meluncurkan kendaraan roda empat itu menuju lokasi angringan yang dituju yaitu Nasi Pecel Madiun Tanjung Sari, Sepanjang jalan Cokroaminoto memang banyak warung serupa, tapi menurut pendapat banyak teman, warung pilihan kami untuk saat ini memang paling markotop.

Berkeliling di Madiun pada malam hari benar-benar tak adalam pikiranku. Kupikir kami bertiga akan bermalam di rumah anaknya Eny itu (seperti usulanya tempo hari) ternyata kami bermalam di The Sun City Madiun. Lokasi hotel itu dulunya terminal bus yang kini dalam tata kota telah berubah menjadi ruko, hotel dan Carrefour. Pokoknya Madiun tampil beda menghapus memori jadulku. Keputusan bermalam di hotel ini mengingat agar kami bisa berisitirahat dan bercanda tanpa gangguan tangis cucunya Eny, maklum cucu pertamanya itu sangat manja dan aleman bila jumpa sang neneknya.

Malam itu meski telah larut namun kita masih keasyikan ngobrol untuk mengulas rencana esok hari. Setumpuk scheduke dadakan yang harus dipilih sebagai prioritas. Tujuan utama adalah menengok pak Pras dan napak tilas ke sekolah kami, selebihnya mengunjungi beberapa teman itu sebagai pelengkap kunjungan.


Selasa, 1 September 2015


Kunjungan pertama adalah ke rumah Nana (putrinya Eny) karena Eny harus ganti baju dan menemui Yayuk Wajut yang masih setia bekerja sebagai assisten apoteker yang letak apotiknya tak jauh dari rumah Nana. Sesampainya disana, Setelah itu kami berempat meluncur ke rumah pak Pras namun kami mendapat info bahwa beliau sedang dirawat di rumah sakit. Yayuk Wayut sebagai guide, Eny bertindak sebagai driver, sedang aku dan Ningrum duduk manis sebagai penumpang. Setibanya disana, agak susah menemukan beliau dirawat di ruang mana, karena keterbatasan info, kami juga mengetahui nama panjang beliau. Ternyata beliau sudah dalam kondisi memprihatikan. Pak Pras dalam papan pasien tertera namanya Tn Markus, tentu nama ini tidak familiar sekali. Bagiku sosok pak Pras meski tiak mengajar pelajaran di kelas, peran beliau sangat besar dalam persiapan praktikum atau persiapan ulangan dan pengantar wesel sangat dekat sekali terutama siswa-siswi yang bergantung pada kiriman uang dari ortu melalui wesel. Wesel semacam sarana pengiriman uang jarak jauh melalui Kantor Pos, kebeadaan kini semacam transferan uang baik melalui internet banking yang nantinya uang diambil dari ATM. Namun kendala wesel sering telat dan proses pengambilannya tak semudah memasukkan kartu ke mesin ATM. Meski begitu peran wesel sangat berarti sekali sebagi detak jantung kelangusngan hidup anak kos-kosan. Alamak. Kembali ke sosok Pak Pras, diluar jam kerjanya beliau tetap menjalankan perannya untuk menyenangkan hati kami  anak perantauan. Meski kami berempat tidak bisa bercakap - cakap atau saling bertatap muka, namun kami hanya mampu mendoakan yang terbaik untuk kesembuhan beliau.

Usai kunjungan  dari rumah sakit, kami meluncur ke jalan Tulus Bakti tepatnya lokasi sekolah menengah farmasi, tempat kami menimbah ilmu seputar obat-obatan. Sekolahan itu sudah banyak berubah, seumpama seorang gadis remaja telah beranjak menjadi wanita dewasa penuh kematangan hidup. Sepanjang jalan menuju sekolah sudah padat rumah, bahkan sebagian rumah - rumah itu telah disulap seperti kantin atau depot menawarkan banyak makanan untuk para siswa - siswinya yang butuh asupan tenaga dari makanan yang tersedia. Pokoknya sangat enak dan menyenangkan bila dibanding dengan 28 tahun yang lalu, untuk mencari segelas air mineral saja susah sekali. SMF Bina Farma Madiun banyak menambah ruang kelas, ruang laboratorium, toilet dan tempat parkiran. Siswa-siswa-nya nampak santai dan ceria tak seperti jaman kami sekolah, wajah penuh ketengangan dan super setres. Alamak. Tiada hari tanpa hapalan farmokologi yaitu ilmu farmasi yang mempelajari tentang nama-nama zat aktif obat dam obat paten yang beredar di apotik atau toko obat. Tiada hari tanpa praktikum responsi atau kimia, begitu juga tiada hari tanpa ulangan dan pekerjaan rumah. Mata pelajaran yang kami pelajari kebanyakan adalah salinan dari generasi ke generasi dengan cara menulis di papan dan kami setiap hari menulis (menyalin) di buku tulis. Tugas menulis dipapan sering bergantian, terutama aku dan Eny bukan karena tulisan kami bagus, tapi keikhlasan waktu, karena dengan demikian nantinya kami akan menulis kembali ke buku masing-masing. Keberadaan sekolahan kami saat ini telah berada dibawah departemen Diknas bukan lagi dibawah Depkes. Itu sebabnya perluasan sekolah (seperti yang disebutkan diatas) pastinya mempengaruhi sistem belajar disana.


Apapun itu sekolah itu telah memberi sejuta kenangan, baik suasana sekolahan (lama & baru), teman-teman seperjuangan belajar ilmu farmasi serta peran serta para pendidik ilmu. Kenangan itu menari-nari dipelupak mataku. Kedekatanku dengan para guru sebagai anugeraj-Nya, tak dipungkiri bahwa hal itu mengingatkan sosok Arie Rachmawati dimata bapak Sabar Santoso ketika kami mampir di apotiknya di jalan HOS Cokroaminoto. "Kami (Duo Eny-Ningrum-Arie) adalah siswa bapak lulusan 1987, saya dulu pernah diberi tugas oleh sekolah untuk membeli alat musik sebagai inventaris sekolah, Saya dari Jember...hayo bapak masih ingat saya, nggak?" begitulah kata pengantarku saat berhadapan dengan beliau dengan khas senyum manisnya itu. "Hmm...siapa yah, yah itu Arie Rachmawati dari Jember." jawbanya penuh yakin. Hore hore kami pun bertepuk tangan serentak, bahkan dua pegawai beliau yang berhijab itu okutan gembira atas kehadiran kami berempat. Sesi berfoto tentu tak pernah dilupakan, sesi foto itu meski kini sudah menjadi fenomena hidup namun dijaman yang lampau merupakan bagian dari kegiatanku sebagai dokumentasi. Menyenangkan saat perjumpaan kembali dengan beliau-beliau itu, menghadirkan memori manis yang tak terlupakan adalah semata karena ijin-Nya. Waktu mempertemukan kembali dalam perjalanan napak tilas ini. Baraka Allahu ....



GALERI FOTO selama NAPAK TILAS
SMFK Bina Farma Madiun 


SMFK Bina Farma Madiun 2015
Kunjungan Alumni 1987
Bapak Soewarno, guru UUF
Jadul 1984/Jani 2015 di Laboratorium 
Bersama (mantan kepsek) Bpk Sabar Santoso
SMFK Bina Farma jaman dulu (1987)
Bersama Nursini dan Siyem

Rabu. 2 September 2015

Es Sronatan & Gado2
Hari ini hari terakhir kami napak tilas, terutama aku dan Ningrum. Pagi itu meluncurlah mobilnya Eny ke sekitar Alun - alun Madiun. Tujuan kami bertiga menikmati es dawet Sronatan plus sepiring gado - gado untuk bertiga. Nikmat berbaur kenangan. Mengulang kenangan lama untuk dihadirkan saat ini Jaman sengsara ketika menjadi anak kos-kosan, semuanya berbagi asal sudah menikmati, itu tanda syukur. Kini kami bertiga bujan lagi pegawai apotik, kami cukup menjadi ibu rumah tangga saja. Masih sempat membidik kamera ke sekolahan lama, menyelusuri Pasar Kawak untuk membeli pecel dan bubuk kedelai. Pasar Kawak letaknya tak jauh dari lokasi sekolah kami yang lama. Tempat itu selalu kami minati bila mencari sesuatu baik urusan dapur maupun jajanan pasar. Selain lokasi hanya memerlukan jalan kaki, harga disana sangat terjangkau. Berada di pasar itu seperti 'dejavu' meski waktu sangat menghimpit tak mengurangi rasa bahagia. Masih sempat mampir ke apotiknya Siyem dan Nursini.



Eni Mujiati & Yayuk Wayut
Kami & Siyem
Siyem namanya singkat dan sederhana. Lintasan memori jadul adalah sosok gadis lugu berambut panjang, biasanya dikepang kadang digelung. Siyem kini seorang janda dengan satu putra (dewasa). Siyem kini montok dan pesolek, bahkan ia pun pangling denganku karena aku bertubuh melebar. Hahaha....tapi tetep manis kok Rie kayak dulu," katanya. Yang kami keheranan, saat Siyem melihatku berhijab seraya berkata," Alhamdulillah Arie saiki kowe wes muslim." Kontan saja kami bertiga saling memandang dan tertawa spontanitas. "Lho Arie ket brojol wes muslim, Yem piye toh kowe." balas Ningrum. "Iyo tah?! Mosoook...?!" Ganti ia yang kebingungan mendengar jawaban dari Ningrum. "Lha wong kowe dolanane karo cah-cah non muslim karo cedhak pak (alm) Chris..." timpal Siyem polos. Iya benar aku banyak bergaul dengan siapa saja, baik yang seiman maupun beda keyakinan. Tak terlintas memilih-milih teman, tak ada suku, agama dsb. Aku senang menulis karena itu mereka sumber inspirasiku. Perbedaan itu sesuatu yang bukan dipermasalahkan tetapi sebagai keselarasan hidup. Hal tsb-lah yang dilihat oleh pak guru yang mengajar Matematika dan Fisika, beliau adalah (alm) Christian Fatlolon. Chemistry yang terjalain di antara siswi dan guru bukan semata karena faktor lain, kedekatan itu murni adanya. Beliau melihat sisi lain dari bakatku yang tersimpan dalam-dalam. Beliau pernah mengatakan bahwa sekolah disini tidak cocok, mestinya aku sekolah di umum dan nantinya bisa kuliah di fakultas sastra, karena seni merangkai kata sudah terlihat. Itulah awal kisah keakraban dengan beliau dimulai dari selembar puisi sebagai ucapan ulang tahun. Pak guru yang sangat disegani di sekolah baik oleh para anak didiknya juga teman seprofesinya. Penampilan beliau yang tak banyak cakap, alias pendiam dan berdarah Ambon mungkin mempengaruhi penampilannya yang sangat disiplin. Beliau sebenarnya sosok guru yang lembut penuh perhatian, walau tidak sehumoris pak Bagyo (mengajar PMP) namun aku pernah melihatnya tertawa hingga nampak barisan gigi putihnya. Beliau juga pantai memainkan alat musik.

bersama Renssy 
Alm Pak Chris
Mungkin yang dikatakan Siyem dan teman-teman adalah benar adanya bahwa aku siswi kesayangan beliau, bahkan banyak guru. Mungkin yang dikatakan pak Chris itu juga benar adanya bahwa ada banyak bakat seni yang terpendam. Walau kini beliau sudah berpulang, setidaknya hari-hari dalam napak tilas aku dipertemukan juga dengan putri beliau yang kini bekerja di sekolahan, ia bernama bu guru Renssy.
Akhirnya pertemanan yang berawal dari lama facebook dapat terwujud nyata dengannya.

Nursini, penampilan jadul tak jauh dengan Siyem. Wajah-wajah polos gadis Madiun dengan setia menggandeng sepeda oetel-nya. Gaya rambutnya mirip, dengan kepang dua. Nursini kini seorang anggota DPRD, penampilannya sangat jauh berbeda. Kini rambut ala Bob dan sentuhan salon meremajakan kulitnya, tampil penuh wibawa dengan setelan safari abu-abu, namun tetap bersahaja saat kami menghujani pertanyaan siapa kami. Loading daya ingatnya bergelinding ke tahun 1984-1987. Sejenak mengerutkan kening dan menebak kami satu per satu dengan benar. Hari itu ia memperkenalkan putrinya yang sedang studi di Beijing kini dalam masa liburan. Nursini tak lagi dengan sepeda oentel-nya namun dengan piawai mengendari mobil sedannya. Nursini sambil ngobrol menawarkan roti bluder dan minuman teh botol Sosro. Tetap sesi foto jadi prioritas. Nursini, semoga menjadi salah satu alumni SMF Bina Farma yang bisa mewakili masyarakat setempat untuk membangun kota pecel ini melangkah lebih baik kedepannya, Hebat.

Jam berputar ke angka yang mengharuskan kami mengakhiri kunjungan. Segera meluncur ke stasiun Madiun dan perpisahan terjadi. Kami bedua (aku dan Ningrum) dengan kereta api ekonomi Logawa meninggalkan Eny. Walau hanya sebentar kunjungan mendadak ini. namun membawa rasa nikmat yang luar biasa bahwa kami tak pernah melupakan lembaran usang yang tertimbun bersama waktu. Berniat untuk menjalin tali silaturahmi yang terputus sebagai bentuk ukhuwah kekeluargaan alumni SMF Bina Farma Madiun, kami mengakhiri cerita napak tilas ini.  Menyenangkan sekali walau tak bisa semuanya dituang dalam tulisan karena rasa itu menyeruak dalam dada penuh bunga bermekaran. Selain campur tangan Allah SWT pastinya kami yang notebene istri dan ibu, kepergian para ibu ini juga mendapat ijin para suami. Terima kasih.


Salam
Arie Rachmawati