Selasa, 22 September 2015

Aglenon 2.3


Lanjutan :

Sebelas Kota dalam Dua Puluh Hari
(Episode Ketiga)

Bundaran DPRD Jember
Cerita sebelumnya klik link ini http://rachmarie-riritemaram.blogspot.co.id/2015/09/aglenon-22.html


JEMBER
Sabtu, 5 September 2015 berangkat naik taksi yang kebetulan supir taksinya orang Jember, dari rumah Colomadu Paulan menuju stasiun Purwosari. Ketika kami berdua berangkat, Shafira sedang sekolah. Perjalanan kali ini penumpang gerbong kereta api Logawa sangat padat, sehingga AC dalam gerbong tak terasa malah bikin gerah. Kereta melaju tersendat-sendat lantaran sering berpapasan dengan kereta lain. Menjelang pertengahan hari tibalah kereta di stasiun Gubeng, Surabaya. Disini kereta harus berganti lokomotif alias langsir. Kembali ke gerbong kereta dan segera meninggalkan stasiun Gubeng Surabaya. Penumpang mulai berkurang, hembusan AC pun terasa kembali.

Perjalanan masih panjang, hal ini yang membuat saya malas pulang kampung. Jarak tempuh Surabaya ke Jember terasa lamban, baik dengan kereta api maupun dengan bus. Memang sekarang ada alternatif perjalanan dengan menggunakan pesawat untuk Jember-Surabaya (pp) namun saat ini biayanya cukup mahal, mungkin bisa dimaklumi bila keadaan urgent. Mau nggak mau menikmati perjalanan menempuh waktu kurang lebih lima jam, hingga tiba di stasiun Jember jelang adzan Isya'. Saat kini sejak akrab dengan benang-benang rajut membuat kejenuhan tergusur. Tetap bersyukur karena berbekal rajutan, guliran waktu melaju perlahan meninggalkan kebosanan.

Jember, akhirnya kembali lagi ke kota kelahiran. Ditulisan yang lampau saya sangat merindukan kota ini, karena terlalu lama meninggalkan hingga kerinduan itu tertuang dalam tulisan blog : http://rachmarie-riritemaram.blogspot.co.id/2011/04/aku-ingin-pulang-oleh-arie-rachmawati.html  Namun beberapa tahun terakhir sejak seringnya pulang ke Jember, jujur saya mengakui ternyata saya lebih menyukai kota yang kini yaitu kota hujan, Bogor. Suasana atau udara di Jember membuat saya sesak napas (asma) kambuh. Keadaan seperti ini yang mungkin menambah daftar penyebab saya berpaling. Hal sepele namun terlalu membuat sedikit stres dan ujungnya dengan alergi kulit merasa gatal tetapi tidak ada bekas gatal.

Jember, sebenarnya kedatangan kali ini untuk mengantar Mama kembali ke rumah setelah menjalani masa kontrol check mata di RSM dr Yap Yogyakarta. Sejak 2010 lalu Mama menjalani berobat jalan di rumah sakit mata itu. Penyakit mata yang dideritanya (glukoma) karena disebabkan diabetes tinggi mengakibatkan sebelah matanya mengalami kebutaan. Walau seperti melihat apa adanya namun hanya sebelah matanya saja yang berfungsi. Namanya orang tua kadang kala tidak mau mengakui bahwa kini keterbatasannya itu dikarenakan faktor usia. Namun hal itu tak menghalangi langkah kakinya untuk dapat melaksanakan berpergian. Berpergian mengunjungi anak - anaknya yang berada di Solo, Jogjakarta dan Bogor. Kadang Mama pun menghadiri acara reuni di Malang dsb. Secara fisik tubuhnya masih nampak sehat dan gesit terutama suaranya yang lantang sekali, hanya sakit matanya yang menghalangi indra penglihatannya. 

Selain mengantar Mama pulang ke Jember, juga menyempatkan diri mengunjungi teman sekolah menengah pertama Melanni Widjaja yang beberapa waktu lalu pernah bercerita lewat What's App-nya terkena musibah, yaitu ditabrak motor dan mengakibatkan tulang kering kakinya mengalami cidera dan dioperasi. Sebenarnya selain menengoknya juga kami sharing ilmu merajut. Secara ketrampilan ia sangat mahir, terutama khasnya membuat tas dan taplak. Namun kunjungan kali itu saya berbagi ilmu membuat bros bunga, koleksi Yoando Crochet by Rie.


Ningsih - Saya - Melanni
Ningsih - Nanang - Saya
Ningsih dan bros rajutan

Kunjungan itu sebenarnya sifatnya mendadak, obrolan sesaat di pagi hari dengan Sri Hayuningsih dan ia mengiyakan untuk menengok Melanni. Melanni ini istri teman sekelas kami berdua, yaitu Surya Darma Pandita, selain itu Melanni juga ex tetangga sewaktu kami tinggal di pesisir jalan Diponegoro (sekarang jln. Gajah Mada). Kunjungan tsb yang diabadikan dalam foto, kemudian Melanni mempostingan lewat tampilan profile BB-nya. Sehingga salah satu temannya berkomentar positif mengenai kami bertiga. Persahabatan tanpa mengedepankan perbedaan golongan dan keyakinan. Biar pun kami jarang bertemu nampak jelas dari pancaran sinar mata dan senyum yang menghias wajah kami bertiga. Saya rasa perbedaan tsb bila disikapi dengan pikiran yang positif dan pastinya banyak membawa manfaat. Terbukti dari kunjungan singkat dan dilanjut dengan obrolan melalui WA, akhirnya Melanni dapat membuat bros bunga. Yang lebih hebat lagi ia menerima pemesanan bros bunga dari teman kerabat terdekatnya. Kunjungan yang membawa manfaat. 

Usai dari rumah Melannie yang terletak di tak jauh dari warung nasi Lumintu, saya diajak Sri Hayuningsih (Ningsih) ke rumahnya di daerah/desa Mayang. Saya ingat waktu itu kunjungan pertama di tahun 2013, saya tengah masuk angin, kemudian Ningsih membuat saya sehat kembali, terharu. Menyenangkan kembali jumpa dengan ketiga putrinya. Menunggu jemputan Nanang, waktu yang ada dipergunakan membuat bros rajutan khusus untuk Ningsih. Tak lama kemudian Nanang datang dan terlibat urusan perumahan dengan tuan rumah. Usai itu kami berdua meluncur meninggalkan desa Mayang kembali ke Jember. Menyempatkan mampir ke rumah (alm) Bapak Chasib, Beliau adalah guru mengaji yang terletak di jalan Gajah Mada, dengan harapan bisa berjumpa dengan dik Dhenok (salah satu) putra-putri Beliau. Sayangnya saya hanya berjumpa dengan adik perempuan almarhum. 



Iping & Saya
Renny 'Zoya' Ronngo & Saya
Argo Wiroko, Vindy & Saya

Kegiatan selama di Jember, meski tak selama waktu - waktu yang lalu tetap meninggalkan kesan walau terselip rasa kecewa. Kekecewaan itu adanya keterbatasan waktu, ketergantungan kendaraan dan kebebasan menemui teman - teman yang lain, karena harus menunggu ijin dari Mama. Seusia ini saya masih diperlakukan seperti anak gadis yang perlu pengawasan ketat. padahal saya sebentar lagi (Maret 2016) akan menikahkan putra sulung. Saya hanya bisa menemui beberapa teman saja, terutama Renny'Zoya'Ronggo, seperti kunjungan wajib. Dan kedatangan Iping Hartanto ke rumah adalah surprise luar biasa. Terhitung sejak lulusan SMPN1 Jember 1984 (usai pentas seni) benar - benar tak jumpa dengannya. Diujung perjalanan selama di Jember, saya kedatangan salah satu penggemar berat Fariz RM dari kota Jember yaitu Argo Wiroko dengan istrinya. Namanya sangat familiar di dinding grup facebook Komunitas Fanstastic Fariz RM. Cerita punya cerita ternyata Argo itu teman sekolah (SMP) adikku, Totok Ardianto. Waktu yang sempit dimanfaatin berfoto bersama, selain itu ia membeli marchandise KFFRM, jadi lengkaplah kunjungan perdana bisa all in.

Bagi teman lainnya yang mengetahui kedatangan saya melalui postingan foto di facebook, mungkin terkesan saya pilih - pilih teman, padahal bukan demikian. Keadaan yang berlaku tak bersahabat dengan waktu. Hal itu yang membuat saya malas ke Jember, selain alasan yang ditulis diatas (jarak tempuh). Bagi saya berusaha menjadi anak yang baik dimata orang tua adalah hal yang tak mudah, sebaik apapun yang saya lakukan masih tetaplah kurang, karena memang benar adanya kasih sayang kita tak'kan bisa menyamai kasih sayang orang tua.


PURWOKERTO

Kamis, 10 September 2015

Mobil angkutan umum yang disupiri oleh pak Slamet sudah datang menjemput bakda subuh, bergegas meninggalkan rumah menuju stasiun. Menggunakan transportasi KA Logawa jurusan Jember-Purwokerto (pp) dengan jadwal pemberangkatan 05:05 wib dan harga tiket Rp 80.00,-. Perjalanan yang membosankan terulang saat jarak tempuh Surabaya-Jember (pp) bisa dihalau dengan kegiatan merajut. Bakda Magrib kereta Logawa tiba di stasiun terakhir Purwokerto. Selama perjalanan dan sering menggunakan transportasi kereta api, semua jadwal kereta api dan sistem pelayanannya sudah bagus, disiplin, dan on time. Dua jempol untuk PT KAI. 

Menunggu jemputan Kak Yo dan Ditha, menikmati semangkok baso khas Purwokerto yang tersedia di salah satu kafe stasiun. Sesaat di Purwokerto mampir di resto yang menyajikan masakan Jepang untuk makan malan bertiga, kemudian perjalanan berlanjut hingga di stasiun Kroya. Menunggu jadwal kedatangan kereta api Lodaya (Surabaya - Bandung). Saya dan Kak Yo menemani Ditha di stasiun. Kepergiannya untuk acara menghadiri resepsi pernikahan temannya di Bandung. Setelah beres kami berdua segera kembali ke Cilacap dengan jarak tempuh kurang lebih tiga puluh menit. Kunjungan ke Cilacap ini adalah menindak-lanjuti pembicaraan antara orang tua untuk urusan pernikahan bulan Maret 2016. Selama di Cilacap kegiatan masih merajut dan berusaha menghubungi Siti Syamsiati Ningrum di Kebuman. 


GOMBONG, KARANGANYAR & KEBUMEN

CD Fariz & Dian PP di Kebumen
Sabtu 12 September 2015, meluncurlah roda empat dengan tujuan Kebumen. Berdua saja menikmati suasana kota dan desa selama perjalanan membuat banyak kegiatan memotret. Memotret dengan kamera saku, foto bukan untuk sekedar dipamerkan tetapi sebagai dokumentasi pribadi selama perjalanan. Menuju rumah Ningrum di desa Karanganyar Kebumen, sangat menyenangkan. Alhamdulillah akhirnya saya jumpa pertama dengan dik Diah puti bungsu-nya Ningrum yang penggemar berat Fariz RM. Perkenalan denganya itu lewat facebook di waktu yang lampau, ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Kini sudah kelas dua sekolah menengah pertama. Ia sangat gembira ketika menerima CD Fariz RM & Dian PP In Collaboration With ... plus ada tanda tangan penyanyinya. Lalu ia pamit untuk mengikuti kegiatan pramuka. 


Ningrum & Saya
Ningrum & Saya
Sesampai di rumahnya sudah tersaji makan siang untuk saya dan Kak Yo. Usai menunaikan sholat Dhuhur ia pun menemani kami. Suasana mendukung menjadi makan siang kian lahap. Sangat berkesan sajian sederhana namun super nikmat dengan lauk-pauk yang diambil hasil ladang sendiri, Rumah nan luas dilengkapi tambak ikan yang besar, ladang sayur-mayur, sekumpulan kambing siap menikmati rumput adalah pemandangan yang jarang ditemukan di masa kini. Suasana pedesaan dan berdiri rumah Ningrum seperti sebuah kastil di padang rumput. Acara selanjutnya saat Kak Yo istirahat tidur siang, saya dan Ningrum berbagi ilmu rajutan. Ia mengajari saya membuat bros bunga dengan cara yang beda meski hasil akhir sama. Kemudian ia mengajari saya membuat syal, asyik sekali hingga Kak Yo terbangun dan kami pamit pulang. Kunjungan ini bukan sekedar melepas rindu, mengingat beberapa hari yang lalu kami bersama Enny napak tilas ke Madiun. Kunjungan ini pula menambah ilmu baru tentang tajutan Baraka Allahu. Silahkan klik link ini untuk membaca cerita sebelumnya http://rachmarie-riritemaram.blogspot.co.id/2015/09/aglenon-22.html

Kak Yo
Melintasi jembatan yang membentang sungai nan lebar serta deras. Sungai Serayu namanya, bahkan saya lebih akrab dengan senandung lagunya daripada sungainya sendiri. Tentu hal itu tak luput dari pemotretan. Sebelum tiba di tepian sungai Serayu itu kami mampir ke Gombong yaitu tempat obyek wisata bernama Benteng Van der Wijck. Sayangnya sesampai disana, tempat itu baru tutup karena hari sudah sore. Sekedar melepas kecewa, maka berfotolah saya disekitar pintu masuk obyek wisata itu. Perjalanan kembali dilanjut hingga tiba di tepi sungai Serayu. Lokasi pemotretan sangat sempit, karena jembatan penghubung itu banyak lalu lalang kendaraan. Menunggu waktu yang tepat supaya Kak Yo bisa mengambil foto dan tidak menghalangi lajunya kendaraan yang melintas, terutama sepeda dan motor. Sebelum senja meredup warna langitnya kami segera angkat kaki menyudahi sesi pemotretan. Mobil melaju menuju Cilacap.


Ditepi Sungai Serayu
Benteng Van Der Wijck Gombong
Patung Pangeran Diponegoro - Benteng Van Der Wijck

CILACAP


Sesampainya di Cilacap, segera istirahat. Selama perjalanan berdua itu, saya menyempatkan untuk berbagi pengalaman dan mencoba menasehati untuk masa depan. Semenjak akrab dengan Ditha, setiap kedatangan saya ke Cilacap selalu dilalui bertiga atau berempat. Kurangnya kenyamanan bicara berdua sebagai Ibu dan Anak baik di Cilacap maupun di Bogor, membuat saya menunda amanah - amanah yang perlu disampaikan. Kesempatan itu sangat berharga, serasa Allah mengetahui apa yang saya butuhkan. Menata barang bawaan sebelum meninggalkan Cilacap. Mengenai barang bawaan selain berisi perlengkapan perjalanan juga buah tangan yang semuanya itu sengaja dikirimkan melalui ekspedisi. Minggu, 13 September 2016 akhir perjalanan ditempuh bukan dengan jalur kereta api tetapi dengan pesawat Pelita melalui bandara udara Tunggul Wulung Cilacap. Satu jam kemudian pesawat yang berisi tujuh belas penumpang tiba di bandara udara Halim Perdana Kesuma Jakarta dengan selamat dan saya dijemput suami dan putra kedua. Alhamdulillah.

Yang jelas saya sangat berterima kasih kepada keluarga calon besan, yang mendukung sarana transportasi selama saya di Cilacap. Tak lupa puji syukur kepada Allah SWT Sang Maha Penyayang, yang melindungi saya juga keluarga, memberi kesehatan sehingga perjalanan - perjalanan yang tertuang dalam tulisan ini berjalan lancar sesuai jadwal tanpa menemui hambatan dsb. 

Menuliskan kembali apa yang saya dapat dari tausiah bahwa bersyukur itu bukan sekedar mengucapkan Alhamdulillah saja namun kita sebagai hamba-Nya yang beriman senantiasa berupaya meningkatkan ibadah - ibadah lainnya. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata, saya hanya berbagi bahagia lewat tulisan, bila ada kekurangan mohon dimaafkan. Akhir kata, terima kasih banyak buat pembaca blog ini yang singgah dan setia menanti kisah cerita perjalanan berjudul Aglenon hingga berseri 1, 2 dan 3.

Insert : Aglenon 3 "Seven Day in Japan on A Secret Mission"


Salam, 
Arie Rachmawati

Rabu, 16 September 2015

Aglenon 2.2

Lanjutan : 

Sebelas Kota dalam Dua Puluh Hari
(Episode Kedua)

Masjid Agung Madiun


MADIUN (napak tilas)
di KA Madiun Jaya
Senin, 31 Agustus 2015, siang jelang sore dengan kereta Madiun Jaya seharga dua puluh lima ribu rupiah telah mengantarku tiba di stasiun Madiun sekitar jam sembilan malam. Sementara dua teman semasa sekolahku Eny Sriwahyuningsih yang lebih beken dengan panggilan Eny Beatrix dan Syamsiati Ningrum sudah tiba di Madiun dengan kereta Logawa siang tadi.

Memang beda beberapa jam, tapi tidak mempengaruhi
Ningrum - Arie - Eny
pertermuan kami bertiga. Ketika mengobrol dengan Eny sewaktu jumpa di Botani Square Bogor, terlintas satu keinginan untuk /mapak tilas/ dan ingin menengok pak guru bernama Pak Pas yang baru sehat dari sakit. Beliau terlihat sangak tua sekali dalam foto kiriman kakak kelas. Obrolan-obrolan itu melahiran ide sekonyong koder alias mendadak, dengan menggabungkan beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan rencana Mama jadwal rutin kontol ke RSM dr Yap Yogyakarta pada minggu terakhir bulan Agustus 2015. Sementara Eny akan mengengok cucunya di Madiun.  Kesepakatan yang muncul tentu membuat gairah perjalanan ini.

Hari masih Senin malam. ternyata Eny dan Ningrum yang menjemputku sengaja menunda waktu makam malam karena permintaanku ingin menikmati sepincuk nasi pecel Madiun di jalan Cokroaminoto. Meluncurkan kendaraan roda empat itu menuju lokasi angringan yang dituju yaitu Nasi Pecel Madiun Tanjung Sari, Sepanjang jalan Cokroaminoto memang banyak warung serupa, tapi menurut pendapat banyak teman, warung pilihan kami untuk saat ini memang paling markotop.

Berkeliling di Madiun pada malam hari benar-benar tak adalam pikiranku. Kupikir kami bertiga akan bermalam di rumah anaknya Eny itu (seperti usulanya tempo hari) ternyata kami bermalam di The Sun City Madiun. Lokasi hotel itu dulunya terminal bus yang kini dalam tata kota telah berubah menjadi ruko, hotel dan Carrefour. Pokoknya Madiun tampil beda menghapus memori jadulku. Keputusan bermalam di hotel ini mengingat agar kami bisa berisitirahat dan bercanda tanpa gangguan tangis cucunya Eny, maklum cucu pertamanya itu sangat manja dan aleman bila jumpa sang neneknya.

Malam itu meski telah larut namun kita masih keasyikan ngobrol untuk mengulas rencana esok hari. Setumpuk scheduke dadakan yang harus dipilih sebagai prioritas. Tujuan utama adalah menengok pak Pras dan napak tilas ke sekolah kami, selebihnya mengunjungi beberapa teman itu sebagai pelengkap kunjungan.


Selasa, 1 September 2015


Kunjungan pertama adalah ke rumah Nana (putrinya Eny) karena Eny harus ganti baju dan menemui Yayuk Wajut yang masih setia bekerja sebagai assisten apoteker yang letak apotiknya tak jauh dari rumah Nana. Sesampainya disana, Setelah itu kami berempat meluncur ke rumah pak Pras namun kami mendapat info bahwa beliau sedang dirawat di rumah sakit. Yayuk Wayut sebagai guide, Eny bertindak sebagai driver, sedang aku dan Ningrum duduk manis sebagai penumpang. Setibanya disana, agak susah menemukan beliau dirawat di ruang mana, karena keterbatasan info, kami juga mengetahui nama panjang beliau. Ternyata beliau sudah dalam kondisi memprihatikan. Pak Pras dalam papan pasien tertera namanya Tn Markus, tentu nama ini tidak familiar sekali. Bagiku sosok pak Pras meski tiak mengajar pelajaran di kelas, peran beliau sangat besar dalam persiapan praktikum atau persiapan ulangan dan pengantar wesel sangat dekat sekali terutama siswa-siswi yang bergantung pada kiriman uang dari ortu melalui wesel. Wesel semacam sarana pengiriman uang jarak jauh melalui Kantor Pos, kebeadaan kini semacam transferan uang baik melalui internet banking yang nantinya uang diambil dari ATM. Namun kendala wesel sering telat dan proses pengambilannya tak semudah memasukkan kartu ke mesin ATM. Meski begitu peran wesel sangat berarti sekali sebagi detak jantung kelangusngan hidup anak kos-kosan. Alamak. Kembali ke sosok Pak Pras, diluar jam kerjanya beliau tetap menjalankan perannya untuk menyenangkan hati kami  anak perantauan. Meski kami berempat tidak bisa bercakap - cakap atau saling bertatap muka, namun kami hanya mampu mendoakan yang terbaik untuk kesembuhan beliau.

Usai kunjungan  dari rumah sakit, kami meluncur ke jalan Tulus Bakti tepatnya lokasi sekolah menengah farmasi, tempat kami menimbah ilmu seputar obat-obatan. Sekolahan itu sudah banyak berubah, seumpama seorang gadis remaja telah beranjak menjadi wanita dewasa penuh kematangan hidup. Sepanjang jalan menuju sekolah sudah padat rumah, bahkan sebagian rumah - rumah itu telah disulap seperti kantin atau depot menawarkan banyak makanan untuk para siswa - siswinya yang butuh asupan tenaga dari makanan yang tersedia. Pokoknya sangat enak dan menyenangkan bila dibanding dengan 28 tahun yang lalu, untuk mencari segelas air mineral saja susah sekali. SMF Bina Farma Madiun banyak menambah ruang kelas, ruang laboratorium, toilet dan tempat parkiran. Siswa-siswa-nya nampak santai dan ceria tak seperti jaman kami sekolah, wajah penuh ketengangan dan super setres. Alamak. Tiada hari tanpa hapalan farmokologi yaitu ilmu farmasi yang mempelajari tentang nama-nama zat aktif obat dam obat paten yang beredar di apotik atau toko obat. Tiada hari tanpa praktikum responsi atau kimia, begitu juga tiada hari tanpa ulangan dan pekerjaan rumah. Mata pelajaran yang kami pelajari kebanyakan adalah salinan dari generasi ke generasi dengan cara menulis di papan dan kami setiap hari menulis (menyalin) di buku tulis. Tugas menulis dipapan sering bergantian, terutama aku dan Eny bukan karena tulisan kami bagus, tapi keikhlasan waktu, karena dengan demikian nantinya kami akan menulis kembali ke buku masing-masing. Keberadaan sekolahan kami saat ini telah berada dibawah departemen Diknas bukan lagi dibawah Depkes. Itu sebabnya perluasan sekolah (seperti yang disebutkan diatas) pastinya mempengaruhi sistem belajar disana.


Apapun itu sekolah itu telah memberi sejuta kenangan, baik suasana sekolahan (lama & baru), teman-teman seperjuangan belajar ilmu farmasi serta peran serta para pendidik ilmu. Kenangan itu menari-nari dipelupak mataku. Kedekatanku dengan para guru sebagai anugeraj-Nya, tak dipungkiri bahwa hal itu mengingatkan sosok Arie Rachmawati dimata bapak Sabar Santoso ketika kami mampir di apotiknya di jalan HOS Cokroaminoto. "Kami (Duo Eny-Ningrum-Arie) adalah siswa bapak lulusan 1987, saya dulu pernah diberi tugas oleh sekolah untuk membeli alat musik sebagai inventaris sekolah, Saya dari Jember...hayo bapak masih ingat saya, nggak?" begitulah kata pengantarku saat berhadapan dengan beliau dengan khas senyum manisnya itu. "Hmm...siapa yah, yah itu Arie Rachmawati dari Jember." jawbanya penuh yakin. Hore hore kami pun bertepuk tangan serentak, bahkan dua pegawai beliau yang berhijab itu okutan gembira atas kehadiran kami berempat. Sesi berfoto tentu tak pernah dilupakan, sesi foto itu meski kini sudah menjadi fenomena hidup namun dijaman yang lampau merupakan bagian dari kegiatanku sebagai dokumentasi. Menyenangkan saat perjumpaan kembali dengan beliau-beliau itu, menghadirkan memori manis yang tak terlupakan adalah semata karena ijin-Nya. Waktu mempertemukan kembali dalam perjalanan napak tilas ini. Baraka Allahu ....



GALERI FOTO selama NAPAK TILAS
SMFK Bina Farma Madiun 


SMFK Bina Farma Madiun 2015
Kunjungan Alumni 1987
Bapak Soewarno, guru UUF
Jadul 1984/Jani 2015 di Laboratorium 
Bersama (mantan kepsek) Bpk Sabar Santoso
SMFK Bina Farma jaman dulu (1987)
Bersama Nursini dan Siyem

Rabu. 2 September 2015

Es Sronatan & Gado2
Hari ini hari terakhir kami napak tilas, terutama aku dan Ningrum. Pagi itu meluncurlah mobilnya Eny ke sekitar Alun - alun Madiun. Tujuan kami bertiga menikmati es dawet Sronatan plus sepiring gado - gado untuk bertiga. Nikmat berbaur kenangan. Mengulang kenangan lama untuk dihadirkan saat ini Jaman sengsara ketika menjadi anak kos-kosan, semuanya berbagi asal sudah menikmati, itu tanda syukur. Kini kami bertiga bujan lagi pegawai apotik, kami cukup menjadi ibu rumah tangga saja. Masih sempat membidik kamera ke sekolahan lama, menyelusuri Pasar Kawak untuk membeli pecel dan bubuk kedelai. Pasar Kawak letaknya tak jauh dari lokasi sekolah kami yang lama. Tempat itu selalu kami minati bila mencari sesuatu baik urusan dapur maupun jajanan pasar. Selain lokasi hanya memerlukan jalan kaki, harga disana sangat terjangkau. Berada di pasar itu seperti 'dejavu' meski waktu sangat menghimpit tak mengurangi rasa bahagia. Masih sempat mampir ke apotiknya Siyem dan Nursini.



Eni Mujiati & Yayuk Wayut
Kami & Siyem
Siyem namanya singkat dan sederhana. Lintasan memori jadul adalah sosok gadis lugu berambut panjang, biasanya dikepang kadang digelung. Siyem kini seorang janda dengan satu putra (dewasa). Siyem kini montok dan pesolek, bahkan ia pun pangling denganku karena aku bertubuh melebar. Hahaha....tapi tetep manis kok Rie kayak dulu," katanya. Yang kami keheranan, saat Siyem melihatku berhijab seraya berkata," Alhamdulillah Arie saiki kowe wes muslim." Kontan saja kami bertiga saling memandang dan tertawa spontanitas. "Lho Arie ket brojol wes muslim, Yem piye toh kowe." balas Ningrum. "Iyo tah?! Mosoook...?!" Ganti ia yang kebingungan mendengar jawaban dari Ningrum. "Lha wong kowe dolanane karo cah-cah non muslim karo cedhak pak (alm) Chris..." timpal Siyem polos. Iya benar aku banyak bergaul dengan siapa saja, baik yang seiman maupun beda keyakinan. Tak terlintas memilih-milih teman, tak ada suku, agama dsb. Aku senang menulis karena itu mereka sumber inspirasiku. Perbedaan itu sesuatu yang bukan dipermasalahkan tetapi sebagai keselarasan hidup. Hal tsb-lah yang dilihat oleh pak guru yang mengajar Matematika dan Fisika, beliau adalah (alm) Christian Fatlolon. Chemistry yang terjalain di antara siswi dan guru bukan semata karena faktor lain, kedekatan itu murni adanya. Beliau melihat sisi lain dari bakatku yang tersimpan dalam-dalam. Beliau pernah mengatakan bahwa sekolah disini tidak cocok, mestinya aku sekolah di umum dan nantinya bisa kuliah di fakultas sastra, karena seni merangkai kata sudah terlihat. Itulah awal kisah keakraban dengan beliau dimulai dari selembar puisi sebagai ucapan ulang tahun. Pak guru yang sangat disegani di sekolah baik oleh para anak didiknya juga teman seprofesinya. Penampilan beliau yang tak banyak cakap, alias pendiam dan berdarah Ambon mungkin mempengaruhi penampilannya yang sangat disiplin. Beliau sebenarnya sosok guru yang lembut penuh perhatian, walau tidak sehumoris pak Bagyo (mengajar PMP) namun aku pernah melihatnya tertawa hingga nampak barisan gigi putihnya. Beliau juga pantai memainkan alat musik.

bersama Renssy 
Alm Pak Chris
Mungkin yang dikatakan Siyem dan teman-teman adalah benar adanya bahwa aku siswi kesayangan beliau, bahkan banyak guru. Mungkin yang dikatakan pak Chris itu juga benar adanya bahwa ada banyak bakat seni yang terpendam. Walau kini beliau sudah berpulang, setidaknya hari-hari dalam napak tilas aku dipertemukan juga dengan putri beliau yang kini bekerja di sekolahan, ia bernama bu guru Renssy.
Akhirnya pertemanan yang berawal dari lama facebook dapat terwujud nyata dengannya.

Nursini, penampilan jadul tak jauh dengan Siyem. Wajah-wajah polos gadis Madiun dengan setia menggandeng sepeda oetel-nya. Gaya rambutnya mirip, dengan kepang dua. Nursini kini seorang anggota DPRD, penampilannya sangat jauh berbeda. Kini rambut ala Bob dan sentuhan salon meremajakan kulitnya, tampil penuh wibawa dengan setelan safari abu-abu, namun tetap bersahaja saat kami menghujani pertanyaan siapa kami. Loading daya ingatnya bergelinding ke tahun 1984-1987. Sejenak mengerutkan kening dan menebak kami satu per satu dengan benar. Hari itu ia memperkenalkan putrinya yang sedang studi di Beijing kini dalam masa liburan. Nursini tak lagi dengan sepeda oentel-nya namun dengan piawai mengendari mobil sedannya. Nursini sambil ngobrol menawarkan roti bluder dan minuman teh botol Sosro. Tetap sesi foto jadi prioritas. Nursini, semoga menjadi salah satu alumni SMF Bina Farma yang bisa mewakili masyarakat setempat untuk membangun kota pecel ini melangkah lebih baik kedepannya, Hebat.

Jam berputar ke angka yang mengharuskan kami mengakhiri kunjungan. Segera meluncur ke stasiun Madiun dan perpisahan terjadi. Kami bedua (aku dan Ningrum) dengan kereta api ekonomi Logawa meninggalkan Eny. Walau hanya sebentar kunjungan mendadak ini. namun membawa rasa nikmat yang luar biasa bahwa kami tak pernah melupakan lembaran usang yang tertimbun bersama waktu. Berniat untuk menjalin tali silaturahmi yang terputus sebagai bentuk ukhuwah kekeluargaan alumni SMF Bina Farma Madiun, kami mengakhiri cerita napak tilas ini.  Menyenangkan sekali walau tak bisa semuanya dituang dalam tulisan karena rasa itu menyeruak dalam dada penuh bunga bermekaran. Selain campur tangan Allah SWT pastinya kami yang notebene istri dan ibu, kepergian para ibu ini juga mendapat ijin para suami. Terima kasih.


Salam
Arie Rachmawati

Selasa, 15 September 2015

Aglenon 2.1


Sebelas Kota dalam Dua Puluh Hari
(Episode Satu)

dari stasiun Gambir sampai stasiun Purwokerto

BOGOR - JAKARTA
Selasa, 25 Agustus 2015
KA Argo Lawu Jkt-Solo
Aglenon 2, rasa lelah belum beranjak namun schedule perjalanan sudah didepan mata. Enam hari setibanya aku di Bogor setelah dari Cilacap, kini mempersiapkan koper lebih besar dari sebelumnya karena perjalanan ini lebih dari dua minggu kedepan. Sore itu naik commuter line menuju stasiun Juanda bersama Edo (anak ragil), kemudian menuju stasiun Gambir Jakarta dengan naik bajaj. Meski kami menuju ke stasiun sama namun beda tujuan perjalanan. Edo, akan meneruskan dengan kereta Argo Parahiyangan ke Bandung sedang aku meneruskan perjalanan ke Solo (stasiun Solo Balapan) dengan kereta Argo Lawu. Kereta yang membawa Edo berangkat lebih dulu, semua jadwal kereta api on time. (baca sebelumnya ini http://rachmarie-riritemaram.blogspot.co.id/2015/08/aglenon-1.html )

Malam itu aku masih melanjutkan rajutan (knitting) dan penumpang disebelahku laki-laki bertubuh kecil, berambut ikal ( sedikit mawut-mawut) dan berkacamata minus, tidurnya gelisah. Aku ? Ya masih setia merajut dan melanjutan doa. Doa seorang musafir itu Insya Allah diistijabah, Amin YRA, kemudian mengistirahatkan sepasang mata. Membaur dalam mimpi bersama penumpang lainnya. Perjalanan lancar hingga tiba di stasiun Tugu Yogyakarta itu penumpang sebelahku turun, sekitar jam 4 subuh.

Shafira 

SOLO 
Rabu, 26 agustus 2015
Shafira ke sekolah
Satu jam kemudian sampailah aku di stasiun Solo Balapan, dan tak lama dari itu adikku Totok Ardianto menjemput tepatnya ia mengawal dan taksi mengantarkan hingga tiba di depan rumah Tiara Asri Colomadu - Paulan, dengan selamat dan sehat. Jumpa pertama dengan keponakaku Shafira shapilo.

Sekarang Shafira sudah sekolah TK A, jadi kegiatan pagi adalah persiapan sekolah, sementara aku istirahat di kamar. Sepulang sekolah, kami bermain seperti waktu Fira di Bogor. Shafira cerdas, sedikit usil mewarisi keusilan Ayahnya dan rasa ingin tahunya tinggi seperti Neneknya, ia menyebutnya "Mbah bro". Lucu dan manisnya masih seperti yang dulu, Shafira shapilo iki anak'ae sopo lho? itu lagu asbun tercipta seketika sewaktu Fira masih kecil untuk menggodanya agar tidak menangis bila Ibunya tidak ada didekatnya.

Kamis, 27 Agustus 2015
Sepulang sekolah dengan berboncengan kami beriga (Shafira, Ika, aku) untuk pertama kalinya Ika (adik ipar/ibunya Fira) memberanikan diri mengantarku beli benang rajut dan memilih oleh-oleh di Solo (kota). Meski lelah dan pengalaman pertama ini naik motor penuh waspada karena membawa banyak barang, tapi menyenangkan. Andai ini sebuah permainan game tentu hal ini bolehlah disebutkan "mission completed".


YOGYAKARTA
Jum'at, 28 Agustus 2015

Kami & Mbak Elis
jalan Maliobro
Berbekal sarapan pagi nasi sepincuk 'sego liwet' lalu bergegas menuju kota Yogyakarta untuk kunjungan wajib ke klinik Wacala mengantar adik ipar dengan menggunaka kendaraan umum dilanjut bus Batik dan becak sampailah ke tujuan. Setibanya di klinik tsb, disambut sama penjaga meja repsionis bernama mbak Elis, sangat ceria. Melihat keberadaannya Shafira mengira mbak Elis seperti teman sepermainannya. Mbak Elis pun cepat akrab dengan kami yang tak lain sohib dekatnya Vivi (adikku). Suasana klinik yang tadinya sepi hening berubah menjadi seperti taman bermain balita. Jumpa pertama yang sangat berkesan hingga mbak Elis pun bergelayut manja kepadaku, sebagai tanda pertemanan foto dan souvenir rajutan. Beranjak dari kinik menuju jalan Malioboro hanya naik bus Batik (sekali) lalu turun dekat Hotel Inna Garuda, lalu menyelusuri gang kecil terletak disebelah Maliobro Mall, aku segera menuju ke tempat penjual benang rajut, Toko yang tempo hari aku kunjungi kini aku berada disana kembali, penjualnya pun masih ingat kepadaku."Lho ini sudah pulang ke Bogor, sekarang ke Yogya lagi toh?" "Iya Cik, keliling wira-wiri...."  Kedatanganku ini hanya beli benang empat gulung saja, karena kemarin di Solo sudah memborong banyak benang yang berbeda dari yang biasanya. Bertiga (aku, Ika dan Shafira) menyelusuri troyoar jalan Malioboro, pertama ada titipan dari budhenya Fira yaitu tolong dibelikan sarung tangan yang biasa dijual pedagang kaki lima sepanjang trotoar itu, kedua tujuan akhir menuju toko Mirota Batik.

9 pcs daster batik Malioboro
Namun sepanjang jalan itu tidak nampak pedagang yang menjajakan sarung tangan. Justru di depan persis Mirota Batik pedagang baju daster dsb menawarkan barangnya, dari sepotong baju empat puluh ribu menjadi tiga puluh lima ribu dan harga pun menjadi lumer menjadi tiga potong daster seharga seratus ribu rupiah. Wow, sebenarnya aku anti memakai baju daster tetapi yang ada dipikiran dibeli saja karena selain harga terjangkau, kainnya lembut dan motif coraknya ceria sekali. Sementara Ika membeli baju dengan motif wayang yang harganya tidak boleh kurang yaitu lima puluh ribu rupiah. Persis urusan kelar, budhenya Fira menjemput. Budhenya Fira itu budhe Vivi.. Perpisahan terjadi, Fira dan Ika melanjutkan perjalanan kembali ke Solo dengan bus umum. Aku dan Vivi menuju rumahnya di daerah Krapyak, bertemu dengan Mama.

Ternyata daster yang kubeli di depan Mirota Batik itu diminati Mama dan adikku, akhirnya waktu membawaku kembali kesana untuk memilih-milih daster, tapi sebelumnya diajak mampir ke toko benang lainnya yang menjual pernak-pernik ketrampilan, mirip Crayon & Craft Co di Bandung namun agak semrawut penataan benangnya. Semalam tidur dirumahnya Vivi dan keesokan hari dengan Mama naik kerta Pramex menuju Solo.

SOLO
Sabtu 29 Agustus 2015 sebelum ke stasiun Tugu Yogyakarta diajak mampir ke Yogya City Mall. Disini untuk pertama kalinya kami bertiga foto bersama bertiga, adalah momen yang jarang sekali, ini adalah keberkahan waktu walau hanya hitungan jam saja. Berfoto-ria sambil menunggu pesanan kroket di salah satu konter kue disana. Aku nggak suka kroket cukup membungkus rujak cingur saja dan segera melahapnya di stasiun Tugu Yogyakarya sebelum kereta Pramex membawa kembali ke Solo. Perjalanan kali ini terasa sangat lamban kurang lebih dua jam dikarenakan (waktu itu ) ada orang bunuh diri jelang stasiun Purwosari. Kami berempat bersaudara tetapi kami tinggal dimasing-masing kota, kakak sulung (mas Hadhie) di Surabaya, aku di Bogor, adikku Vivi di Yogyakarta dan adik bungsu Totok (ayahnya Shafira) di Solo sedang Mama menetap di Jember. Begitulah masing-masing berjauhan namun komunikasi lancar didukung saat kini era 3G-4G berbagai media sosial serasa berdekatan, meminjam istilah yang umum, mendekatkan yang jauh. Barakallahu fiikum simak cerita berikutnya ..... b e r s a m b u n g 

http://rachmarie-riritemaram.blogspot.co.id/2015/09/aglenon-22.html

Kota berikutnya :
Solo - Madiun - Solo - Jember - Purwokerto - Kroya - Cilacap - Jakarta - Bogor


Salam 
Arie Rachmawati