CATATAN SEMUSIM
Oleh : Arie Rachmawati
Selembar kertas melayang lepas dari genggaman tangan Eira, seperti layang-layang putus benangnya. Eira menangis, tak mungkin meraih kertas biru muda itu, surat dari Gustimo. Hampir sebulan ini suasana hati Eira nggak karuan sejak pertemuan kembali dengan sahabat lama, setelah sepuluh tahun berlalu terpisah jarak dan waktu. Menghilang seperti tertelan bumi. Kilas balik cerita pertemuan yang tak terduga di suatu pagi, jelas membuat hati Eira galau.
Saat salam pagi menyapa alam semesta, suasana damai menyertai doanya dalam ziarah ke makam leluhur. Sudah lama Eira tidak menginjakkan kaki ke pemakaman umum Cukil di desa Gebang itu. Kesibukan di Ibukota dan jarangnya mudik ke Jember, membuatnya hampir lupa bahwa leluhurnya beristirahat selamanya disana. Seorang ibu tua sebagai juru kunci makam dengan sabarnya menemaninya. Berbekal sisa memori Eira mencari beberapa makam saudara neneknya, dengan menyebutkan nama besar keluarga, Marsono Reksosaputro. Usai sudah berziarah. Eira telusuri jalan setapak yang rimbun ilalang dan pohon kamboja. Tanah liat merah melembab, hujan semalam membuat sebagian tanah disini becek.
“Terima kasih ya Bu, sudah menemani saya,” ucapnya sambil memberi upah.
“Namanya siapa Bu?”
“Saya? Ibu Aminah.”
“Iya sama-sama Nak. Sering-sering kesini, dulu nenekmu rajin ziarah kesini. Waktu itu saya masih remaja, ingat banget suka diberi oleh-oleh. Nenekmu juga sering mampir ke rumah saya. Mampir ke rumah yuk, Nak.” Ajaknya sambil menunjuk ke arah kakiku yang belepotan tanah.
“Iya Bu, saya mau mampir menumpang cuci kaki.” Balas Eira singkat.
“Mari, mari Nak, silahkan masuk. Langsung saja ke belakang ada sumur dan kamar mandi.”
Eira mengikuti petunjuk nenek juru kunci itu. Sebuah sumur kuno mengingatkan masa kecilnya, saat sebelum mengambil air selalu berkaca pada air sumur.
Sepenggal cerita itu yang mempertemukan kembali dengan Gustimo, teman masa kecilnya. Seandainya Eira tidak mampir ke rumah ibu tua juri kunci makam, tentu pertemuan itu tak terjadi. Selepas masa SMP, Eira meninggalkan kota dan sejak itu ia tak pernah lagi mendengar cerita mereka teman-temannya. Hingga masa reuni akbar kemarin, beberapa teman missing termasuk Gustimo. Laki-laki piawai memainkan alat musik yang pernah menarik perhatiannya. Eira pikir Gustimo sengaja kursus musik ternyata bukan, ia belajar sendiri bahkan sepulang sekolah, ia masih belajar di pondok pesantren. Hebat. Itu decak kagumnya yang tersimpan sekian lama. Dan ketika reuni SMP kemarin, kerinduan padanya yang membuat Eira mengambil cuti dan meninggalkan Jakarta sementara waktu. Pulang kampung.
“Halo apa kabar Eira, “ sapa seorang laki-laki keluar dari bilik kamar. Sesaat Eira memperhatikan seraut wajahnya, antara lupa dan ingat.
“Halo juga, siapa ya?” tanyanya heran sangat yakin menyebut namanya.
“Kamu lupa aku ya? Aku Gustimo, aku sudah melihatmu sejak kamu turun dari becak menuju pesarehan* tadi.”
“Speechless!” ujarnya senang, ingin memeluknya seketika. Seperti tidak mempercayai bahwa laki-laki yang selama dicarinya kini berada di hadapannya.
“Aku tahu kamu akan datang reuni, salah satu teman kita memberitahukan itu.”
“Lho teruuuuss, kenapa kamu nggak datang? Padahal aku mencarimu, Gus.”
“Oya Eira, terima kasih aku sangat senang mendengar kata-katamu itu.”
“Ngomong-ngomong, siapa teman kita itu yang kamu maksudkan, Gus?”
“Ario...”
“Ario? Padahal kemarin pas reuni kami ngobrol lama, bahkan aku menanyakan dirimu. Dia bilang nggak tahu menahu tentangmu. Heran aku?’
“Aku yang memintanya untuk merahasiakan itu, Eira.”
“Hah? Untuk apa?”
“Nanti aku jelaskan, bila waktunya bersahabat, Eira.”
“Ah, kamu masih seperti dulu, puitis.”
“Bukankah yang puitis itu dirimu, Ra.”
“Besok pagi aku kembali ke Jakarta, Gus.”
“Ya, aku doakan semoga perjalananmu lancar dan selamat sampai tujuan.”
“Ah kamu, bahasamu baku banget sih. Santai sedikitlah....”
“Ah kamu tadi bilang bahasaku puitis ealah sekarang bahasaku baku. Aaaah Eiraaa...”
“Gus, malam ini temani aku ngobrol, sudah lama aku menantikan pertemuan ini. Ingin sekali aku menceritakan tentang sesuatu”
“Benarkah Eira? Bukankah kamu sudah jadi orang sukses, masihkan kau mengingatku.”
“Ya, masihlah, namamu penuhi buku catatanku itu sebabnya aku ingin datang reuni kita.”
“Aku gaptek. Hidupku tak seperti mereka, Eira. Kapan-kapan aku ceritakan dan mohon maaf aku nggak bisa menemanimu undangan ngobrolnya, aku ada kerjaan yang harus kuselesaikan.”
“Please, untuk kali ini saja. Aku nggak bisa memastikan akan kembali kesini. Jadwalku padat. Please Guuusstimoo....” pintanya memelas.
Gustimo menemani Eira, membersihkan kaki-kakinya belepotan tanah liat. Sesekali ia mencuri pandang, dipandangi wajah perempuan yang pernah bersemayam dihatinya. Obrolan itu membuat Eira bahagia dan kecewa terpadu jadi satu, akhirnya ia menemukan Gustimo, meski terbersit rasa ingin tahu, seperti ada rahasia. Waktu dan jarak membuat penampilannya berubah, mengingatkan kenangan manis setelah masa perpisahan bangku sekolah menengah pertama. Pertemuan sesaat membuat banyak cerita tertunda untuk diulas. Eira harus kembali ke Jakarta. Pertukaran nomor handphone bukan semakin menjalin keakraban, justru sebaliknya. Banyak kata singkatan yang Eira tidak mengerti maksudnya. Gustimo menjadi sosok yang misterius. Beberapa kali Eira menelpon selalu berada diluar area, andai pun masuk, ia nggak mau mengangkat telepon. Eira kecewa.
Hingga Eira menerima surat darinya itu. Suatu kejutan diluar dugaan, sepanjang usia remaja ia tak mengira Gustimo menaruh hati. Dan baru kini ditulisnya singkat padat. Selembar surat berwarna biru muda, menerbangkan harapannya. Dilembaran itu tertulis nomor handphone barunya. Itu sebab kendala yang memutuskan komunikasi di antara mereka. Seraut wajah memelas, bersamaan langit yang gelap. Eira menangis. Wanita yang dikenal sahabat-sahabat sebagai sosok tegar dan mandiri itu tiba-tiba menjadi rapuh. “Aku harus menemuinya, aku nggak bisa keadaan seperti ini mengacaukan semua aktivitasku,” ucapnya seraya memandang cermin. Eira mencoba menghubungi Ario, yang bersahabat dengan Gustimo.
“Ario, sorry aku mengganggumu. Kamu punya nomor handphone-nya Gustimo?”
“Tumbeeen banget, kamu menelponku, Eira? Ada apa denganmu?” Lalu Eira mencerita sekilas problema yang dialami yang berkaitan dengan Gustimo, pencuri perhatian akhir-akhir ini.
“Aku perlu bangeet, bisa bantu, Ario? Aku kehilangan nomornya, dia mengirim surat untukku, didalamnya ada nomor baru dan surat itu terbang tertiup angin. Nggak mungkin aku meraihnya.”
“Nomor yang baru aku pun tak tahu, Ra. Jadi maksudmu, aku harus menemuinya?”
“Iya, hanya itu harapanku, agar aku bisa menghubunginya.”
“Oke, nggak janji ya, Eira. Aku usahakan. Tapi kau tahu sendiri, dia sekarang susah ditemui, dia benar-benar menjauhi kita teman-teman lamanya.”
“Thank you, Ario. Aku hanya berharap padamu. Bila ia nggak mau menemuimu, tolong tinggalkan memo, titipkan ke Ibu juru kuci itu.” Eira merasa lega. Harapan satu-satunya tertumpuh pada Ario. Pasrah.
Hari berganti hari dan belum ada kabar selanjutnya dari Ario. Ario susah dihubungi, SMS pun tanpa balasan. Ario tak bisa lagi diandalkan. Gelisah kian merajai hati Eira. Pertemuan itu mengusik gundah Eira, bila mengingat isi curahan hati Gustimo yang sekian lama memendam rasa cinta tanpa ia menyadari kehadiran cinta Gustimo secara perlahan. Baginya Gustimo adalah sahabat belianya, tapi keadaan yang berlaku sudah berbeda. Akhirnya Eira memutuskan menemui Gustimo. Penerbangan terpagi dari Soekarno Hatta menuju Juanda dan dilanjutkan dengan travel menuju Jember, langsung ke rumah Ibu juru kunci makam. Ternyata, Gustimo sudah beberapa hari sudah tidak pulang ke rumah itu. Penjelasan Ibu Amin membuat kecewa hati Eira. Belum beranjak dari tempat duduknya Eira dikejutkan dengan kehadirannya Gustimo. Semua kejadian seperti serba kebetulan. Gustimo pun tak kalah terkejut lantaran kehadiran Eira setelah perpisahan waktu itu. Eira pernah mengatakan tidak bisa menemuinya lagi karena kepadatan aktivitas dan kini Eira ada dihadapannya. Diluar dugaan pula, Eira memeluknya seketika. Sementara Ibu Aminah dan anak perempuan kecil berambut kepang itu hanya sebagai penonton. Gustimo menarik tangan Eira dan meninggalkan rumah itu.
“Aku nggak bisa terima tindakanmu itu, Eira. Ini bukan Jakarta”
“Ibu Aminah itu seperti Ibuku sendiri, meski aku hanya menumpang hidup disana.”
“Laluuu, aku harus bagaimana? Suratmu membuatku galau, kehilangan nomormu membuatku gila, Gus!”
“Sementara aku menunggu bantuan Ario, tapi ia pun tiada kabar, hingga kuputuskan kesini.”
“Apa benar kamu mencintaiku? Benar begitu Gustimo?” tanya Eira tiba-tiba.
“Iya benar Eira, aku mencintaimu tapi kan nggak harus memilikimu.” Gustimo lalu membawa Eira ke suatu tempat.
Setibanya disana, Eira hanya diam tak berbicara sedikitpun. “Masihkah kamu ingat tempat ini, Eira?” Eira hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tak ingat tempat yang sekarang dipijaknya. Lalu Gustimo menceritakan tentang tempat itu. Sebuah rumah tua dimana dulu sepulang sekolah mampir kesana untuk sekedar duduk atau memetik rambutan bila musim berbuah. Rumah itu dulu milik seorang tukang tambal ban, pak Cipto namanya. Eira mulai memikirkan dan berusaha mengingatnya. Eira sering menulis puisi di buku, sedang Gustimo sering duduk diatas pohon rambutan. Penjelasan Gustimo tentang rumah tua telah menyeruakkan daya ingatnya.
“Yaaaa..., aku ingat rumah itu kau suka menyebutnya gubuk tua itu ada dalam catatanku.
“Thank you, Gustimo.”
“Lalu sekarang bapak itu kemana Gus?”
“Beliau itu mertuaku Ra, beliau sudah wafat karena radang paru-paru.”
“Mertuamu? Lalu istrimu? Lalu Ibu Aminah itu siapamu?”
Sebelum Gustimo menjelaskan, lalu Eira menceritakan kisah hidupnya. Kecelakaan delapan tahun lalu telah melenyapkan sebagian memori otaknya dan Gustimo tidak mengetahui itu. Gustimo kini terpaku dalam manggu.
“Delapan tahun yang lalu, ketika aku akan menikah dengan mas Akbar, kami mengalami musibah yang merengut nyawanya, aku nggak pernah memakai baju pengantin itu. Aku perlu waktu untuk mengembalikan daya ingatku. Cobaan itu sangat memukulku juga keluarganya calon suamiku, Gus.”
“Bahkan, aku tadinya tak ingat dirimu, Gus. Lalu, beberapa teman kita sering menyebutkan namamu, terlebih Ario selalu cerita lewat surelnya tentang kita bertiga. Lalu, aku menemukan buku catatan usang disana ada namamu dalam puisiku. Gustimo, nama itu yang memenuhi pikiranku. Kamu, Gus!”
“Maafkan aku bila nggak mengetahui musibah yang menimpamu. Aku pun selalu memikirkanmu hingga suatu hari aku memutuskan menikah. Menikahi putrinya pak Cipto, ceritanya panjang Eira.” Gustimo mencerita perjalanan hidupnya. Terenyuh hati Eira. Saat Gustimo menikahi Winarti dulu karena permintaan alm ayah Winarti. Winarti telah berbadan dua tanpa diketahui siapa ayah anak dalam kandunganya itu. Ayah Winarti adalah pak Cipto yang telah dianggap sebagai ayahnya sendiri. Kini perkawinannya dengan Winarti pun diujung akhir cerita, tinggal menunggu hasil Pengadilan Agama, lantaran Winarti meninggalkannya secara sepihak dan kini beralih keyakinan karena seseorang yang melebihnya. Dan Gustimo sangat sayang kepada Wini, meski bukan darah dagingnya sendiri.
“Jadi yang bersama Ibu Aminah itu, Wini?”
“Ya Eira, aku meminta hak asuh jatuh ketanganku karena ibunya tidak mau membawanya pergi bersama laki-laki itu. Ibu Aminah itu adiknya pak Cipto”
“Maksudku, bila kesempatan itu masih berlaku untukku pantaskah aku mengharapkanmu, Eira?”
“Kenapa nggak Gustimo?”
“Aku seperti yang kau lihat, seperti ini. Kerjaanku serabutan jauh dari yang aku cita-citakan. Hingga aku pun mendengar kabar kau akan menghadiri acara reuni akbar sekolah kita. Aku galau, Ario menemuiku memberiku semangat. Aku malu menemuimu, gadis impianku. Perbedaan di antara kita, Eira.”
“Karena perbedaan itu, lalu kamu melipat segala bentuk cintamu kepadaku, Gus?”
“Andai engkau tahu betapa aku ingin menemuimu dan menceritakan semua ini sekitar dua-tiga tahun yang lalu, saat perlahan-lahan memoriku mulai mengingat satu persatu tentang semuanya melalui catatanku, Gus!” tutur Eira sambil menahan air matanya tumpah membasahi kedua pipinya.
“Salah satunya alat membantu memulihkan sebagian memoriku, adalah banyak ngobrol dengan teman lama dan suatu hari aku menemukan catatan usang itu, didalamnya penuh puisi untuk Gustimo. Aku benar-benar tak ingat siapa itu. Teman-teman kitalah yang menuntunku dan tiba waktunya reuni akbar aku usahakan pergi meski aku harus membatalkan perjalananku ke Seattle di hari yang sama acara itu. Aku harus bertemu Gustimo, sayangnya dirimu tak hadir. Ternyata, Allah masih berbaik hati kepadaku. Kalau jodoh pasti bertemu, aku ingin melihatmu, ingin aku nemukan diriku yang dulu. Itu alasanku kini kembali disini, di kota kita, kota penuh memori....” lanjut Eira semangat bercerita.
“Aku pun turut prihatin atas musibah itu tetapi percayalah semua yang terjadi di dunia ini dalam izin-Nya.” balas Gustimo penuh haru. Andai ia tahu bahwa Eira sangat menaruh perhatian dikala remaja, mungkin ia takkan ragu mengatakan isi hatinya, bahwa Eira takkan tergantikan.
“Apakah kau masih menyimpan sisa cintamu untukku, Eira?” tanya Gustimo gemetar.
“Aku seperti ini, Eira?”
“Benarkah kau mencintaiku, Gustimo? Aku pun seperti ini, Gustimo”
“Aku sangat mencintaimu melebihi cintamu kepadaku, Eira.”
Eira pasrah. Dalam satu pelukan mereka larut dalam haru. Bulan sabit tinggal lengkungan kecil menghias langit, tanpa kerlap-kerlip bintang. Hembusan angin malam menerbangkan ujung syal Eira. Gustimo menitikan air matanya yang tersimpan sekian lama, hasratnya untuk mendekap gadis pujaannya. Gustimo masih menyimpan cinta belianya hingga kini, dan Eira yang telah lama kehilangan sebagian memori daya ingatnya membuatnya sadar kala remaja ia pun menyimpan rasa cintanya kepada Gustimo. Cinta mungkin datang terlambat, namun cinta tak pernah salah mendaratkan langkahnya. Catatan semusim di kala remaja itu telah menuntun Eira dan Gustimo bertemu kembali dan memutuskan merajut benang cinta hingga menjadi sesuatu yang indah bagi keduanya. Disini mereka akhirnya mengikat janji untuk sebuah kisah baru, atas nama cinta dan Allah mereka ikrarkan itu. “Love never fails...” tulis Eira dalam catatannya kini.
SELESAI
NB Cerpen dibuat saat mengikuti lomba Menulis Cerpen via Twitter
dengan tema "Love Never Fails" 2014