Sang Kodok
Oleh Arie Rachmawati
2009
Aku ingin sekali memeluk Ibu, lalu menumpahkan segala berkecamuk di dada kepadanya layaknya anak-anak lain. Bermaja-manja kepada Ibu, duduk cengkrama bertukar cerita seperti teman-temanku yang lain. Ibu tempat anak menemukan keteduhan dan rasa aman. Ibu yang membelai anaknya penuh kasih sayang. Namun aku cuma bisa membayangkan semua itu. Aku tahu Ibu tak suka padaku karena wajahku persis sekali seperti wajah Bapak, laki-laki yang telah memberinya anak dan menorehkan luka sepanjang perjalanan hidupnya. Ibu selalu melampiaskan kemarahan kepadaku karena hal itu. Bila wajahku mirip Bapak, bukan aku meminta seperti itu, mestinya Ibu protes kepada Tuhan. Bila boleh meminta tentunya aku ingin berwajah seperti artis-artis Korea. Selalu ada umpatan "Dasaar kodok, kau seperti Bapakmu." ucapnya penuh kemarahan. Wajahku apa mirip seekor kodok? Nggak juga, gumamku dalam hati.
Sebenarnya aku marah dengan perkataan itu, tapi apa dayaku gadis remaja hanya mampu menelan kata-kata Ibu dengan hati sabar. Dalam doaku, aku bertanya kepada Tuhan, mengapa aku dilahirkan seperti wajah Bapak, Apa benar wajah Bapak seperti kodok. Mengapa kata-kata kodok selalu meluncur dari mulutnya. Bila aku menangis maka Ibu akan semakin keras memarahiku bahkan kadang memukulku, menamparku. Aku hanya menahan air mata dan menumpahkan saat malam tiba menangis dalam segukan di bantal. Aku takut sekali Ibu mendengar tangisanku, yang nantinya akan membangkitkan kemarahannya lagi. Kadang aku bertanya sepantaskah seorang Ibu demikian, atau mungkin aku bukan anaknya. Atau, atau, atau .... banyak sekali pertanyaan mengganggu pikiranku. Yang lebih menguasai pikiranku, sekarang Bapak berada dimana. Aku ingin berjumpa dan memastikan apa benar perkatan Ibu.
Aku tak banyak memiliki teman dekat untuk curhat. Aku lebih senang menutup diri. Berbicara dengan mereka seperlunya, hanya sekitar pelajaran dan urusan sekolah. Aku merasa tidak sebanding mereka yang memiliki kedua orang tua penuh kasih sayang, Melihatnya membuat hatiku meringis. Kembali ke rumah dengan tidak membawa masalah bagi Ibu, adalah hal istimewa. Aku akan melalui hari sepanjang hari dengan tenang. Walau jarang Ibu tersenyum namun aku yakin di hatinya ia melakukan itu. Bagaimana pun aku hanya berdua dengan Ibu, Kadang kami beradu pandang mata, mata Ibu bagus sekali. Wajahnya sangat cantik jauh bila dibanding wajahku, Walau pun begitu aku banyak ditaksir teman cowok, namun aku tak peduli. Bahkan pura-pura cuek dan membiarkan semuanya berlalu. Aku tak ingin menambah masalah bila akhirnya Ibu tahu aku menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Daren anak kelas sebelah, beberapa kali mengutarakan ingin bermain ke rumahku. Aku selalu menghindari. Aku belum siap kedatangan tamu laki-laki meski untuk alasan pinjam buku atau mengerjakan tugas sekolah. Aku tak ada keberanian ijin kepada Ibu. Meski pun Ibu sering menumpahkan kemarahan kepadaku, namun Ibu sangat memperhatikan kesehatanku. Suatu hari aku pulang dengan basah kuyub. Aku sudah siap akan dimarahi, namun baru kali itu Ibu memelukku dan segera membuatkan rebusan air panas untuk menyuruhku segera mandi dan berisitirahat. Kejadian itu sangat berkesan, aku yakin doaku terjawab. Hujan mendamaikan hati Ibu.
Itu sebabnya bila hujan turun, aku senang sekali. Serasa kenangan itu ingin terulang meski sudah lama berlalu saat aku masih sekolah dasar namun seperti kemarin Ibu mememukku penuh kelembutan. Hari ini hujan turun deras sekali, dari pagi hingga jelang malam. Kali ini justru aku merasa ada kegelisahan karena seharian belum ada kabar dari Ibu. Ibu sedang berada di luar kota karena urusan dagangnya. Pagi tadi bakda subuh Ibu berpamitan. Tak biasanya Ibu seperti itu berpamitan dengan banyak pesan, seperti jangan lupa matikan gas, lampu dsb. Biasanya berpamitan hanya melalui pesan singkat, kadang tanpa menoleh kepadaku dan begitu saja berlalu meninggalkan rumah,
Seharian ditemani hujan dengan menanti pesan masuk melalui hand phone. Melayang pikiranku akan kejadian yang sudah-sudah kepadaku. Memang sekarang Ibu jarang mengeluarkan kata-kata 'kodok' namun sorot matanya masih memancarkan kebencian. Kebencian yang tak pernah hilang dalam benaknya. Tiba-tiba aku ingin membuka lemari Ibu, walau ada keraguan. Kuurungkan niat itu, aku membuang rasa keingintahuan isi lemari Ibu. pasti Ibu banyak menyimpan rahasia. Aneh saja hingga sebesar ini aku tak pernah mengenal saudara Ibu atau Bapak. Serasa kami berdua hidup di dalam hutan belantara tanpa makhluk hidup lainnya. Ibu memang misterius. Ibu hanya punya beberapa teman, dan mereka hanya sesekali mampir dan menyapaku. Mereka sering diluar rumah.
Salah satu teman Ibu bernama tante Hesti, pernah akan menceritakan tentang Bapak namun keburu Ibu datang. Ibu tiba-tiba nongol di teras, tempat kami ngobrol. Dengan gesit dan memberi tanda kedipan mata ke arahku, tante Hesti menghentikan pembicaraan. Aku mengerti dan segera meninggalkan teras. Sekarang tante Hesti jarang ke rumah bahkan dengar-dengar ia sudah pindah ke luar pulau Jawa. Aku tak memiliki nomor kontaknya. Aku seperti hidup dalam pengasingan meski dengan Ibuku sendiri.
Sudah lewat jam sembilan malam, namun belum ada kabar dari Ibu. Hari itu aku penuh gelisah dan ketajutan, Takut terjadi apa-apa dengan Ibu. Bagaimana pun juga ia Ibuku. Sekejam apapun ia Ibuku. Aku ingin memeluknya dan menumpahkan rasa rindu kepadanya. Tiba-tiba telepon rumah berdering memecahkan kesuntian malam. Suara diseberang sana dari seorang perawat dari rumah sakit dimana Ibu berada di UGD. "Yaa ampun Ibuuuu....."
Ibu berbaring setengah sadar. Mulutnya ingin mengatakan sesuatu begitu ia melihatku menyibak tirai pembatas ruangan di UGD. Sorot matanya tajam dan tak berkedip, tangan kanannya yang terhubung selang infus menunjuk kearahku untuk segera mendekat. Tiba-tiba mengalir dua anak sungai kecil dari sudut mata Ibu. Aku ikutan menangis tanpa suara. Aku terbiasa begitu, membiarkan linangan air mata tanpa suara. Ibu membisikkan kata namun tidak jelas. Aku pun belum paham perkataannya itu. Tak lama kemudian Ibu pingsan dan setelah itu aku diminta keluar ruangan. Kemudian Ibu dipindahkan ke kamar rawat inap setelah aku membereskan administrasinya. Kuberikan kartu asuransi kesehatan Ibu, dari dalam dompetnya aku menemukan sebuah foto usang. Ada Ibu, aku balita dan seorang laki-laki. Mataku masih sembab belum jelas mengamati sosok laki-laki itu. Mungkinkah itu Bapakku?
Entahlah kutepiskan pertanyaan siapa Bapakku. Yang ada dipikiranku Ibu harus sehat dan kembali pulang. Rupanya Ibu kena serangan stroke yang mengakibatkan bibirnya miring dan susah berkata. Ibu tak lagi bisa memarahi dengan kondisi seperti itu. Mestinya aku senang namun justru aku bersedih. Aku rindu Ibu memarahiku, mengatakan apa yang ingin dikatakan, menumpahkan kemarahan seperti biasanya karena aku kini bisa menikmati itu. Kedewasaan diri yang membuatku tegar. Keikhlasan hati membuatku menerima itu, semua itu butuh proses waktu sebagai bentuk serangkain doa kepada Tuhan.
Ternyata, Tuhan merencanakan hal lain. Sebelum usia ke 17, Ibu berpulang dan beberapa hari sebelum ajal menjemputnya. Jelang detik-detik terakhirnya Ibu mengisyarakatkan permohonan maafnya. Air matanya hanya mengalir deras membasahi kedua pipinya. Aku memaafkannya sebelum Ibu meminta maaf kepadku. Aku lebih suka Ibu marah-marah seperti biasanya dan mengatakan aku seperti kodok daripada melihatnya dalam keadaan lemah tak berdaya. Doaku terkabul, tak pernah lagi mendengar Ibu mengatakan aku seperti kodok.
Si kecil Sila berusaha menangkap seekor kodok yang melompat riang di dekat kami duduk Kami duduk tak jauh dari sebuah kolam taman kota. Ia sangat senang sekali mengejar kodok itu. "Lihaaat Bunda, kodoknya lucuuu ..." Ia menirukan kodok melompat. Aku pun tertawa melihat gayanya. Kodok. Aku jadi ingat Ibuku. Ibuku dengan umpatan marahnya kepadaku, "Dasaaarr kodok, kau persis Bapakmu!". Aku tersenyum sedih dan menghapus lamunan itu karena Sila mendekatiku, "Kenapa Bunda sediiih? Nanti Sila tangkap kodoknya yah?" Kuraih tangan mungilnya dan kudekap anakku itu, seperti itu yang aku inginkan diwaktu lampau. Ia melepaskan dekapanku dan kembali mengejar kodok yang bersembunyi dibalik semak-semak. "Hati-hatiii sayang, nanti jatuh lho..." ucapku mengiringi kepergian Sila. Sampai kapan pun aku adalah Sang Kodok-nya Ibu. "Terima kasih Ibu," gumamku pelan saat ini aku tengah menemani Sila putri semata wayangku.
KRL Pakuan Express Bogor-Gambir
21.08.09/07:33