Rabu, 24 Juli 2013

C e r p e n k u :

SEIKAT KRISAN PUTIH
(new)


Oleh Arie Rachmawati
Medio : Bogor, Anyelir 8 Agustus 2005

Cakrawala barat merona jingga membaur dengan birunya langit yang terbalut awan putih, menjadikan langit terbentang itu lukisan alam nan menakjubkan. Serumpun ilalang dipermainkan angin nakal, ujung ilalang–ilalang itu nampak terbakar, kilauan matahari senja telah menyentuhnya. Di padang ilalang itu, aku pernah mengenal cinta. Cinta itu sengaja kusembunyikan. Selalu ingin untuk kembali ke padang ilalang itu di belakang bandara Sutan Thaha. Memori usang itu menyeruak kembali saat aku duduk termanggu menanti di ruang tunggu gate 3-B1 Soekarno-Hatta, Jakarta. Pagi ini penerbangan pertama menuju Jambi. Serasa aku bermain di langit biru berserakan awan. Awan seputih kapas yang berarak–arak menyerupai berbagai bentuk mampu redakan gemuruh hatiku. Dalam genggamanku ada seikat bunga krisan berwarna putih masih segar dan mengundang beberapa mata menuju kearahku, seraya mereka berkata,"Bunganya cantik sekali." Ada kerinduan yang kupendam beberapa hari terakhir ini bergelut dengan gelisah. Dari awal pertama bertemu dengannya aku merasakan ada yang beda. Dia bukan kekasihku, namun kehadirannya telah mewarnai hidupku. Laki–laki itu telah mencuri hatiku. Namun, aku tidak ingin tahu tentang dirinya. Aku hanya membiarkan dirinya bermain dalam khayalan semu. 

Satu jam kemudian, pesawat landing dan aku segera menuju Café 29 di pinggiran kota. Taxi yang membawaku dari parkiran Sutan Thaha ternyata belum paham jalanan kota. Sopir taxi baru, baru seminggu katanya. Suasana Café 29 masih sepi, maklum belum waktunya jam buka, karena aku pelanggan tetap, mereka selalu membukakan pintu untukku. Secangkir teh hangat dan sepotong roti keju menemaniku. Biasanya aku selalu memesan mocca float dan semangkuk sup jagung, itu menu favoritku. Jarum jam berputar menunjukkan angka yang kian bertambah, SMS telah kukirim memberitahu bahwa aku sudah lebih 2 jam menunggunya. Gelisah. Aku hanya punya waktu sedikit dan nanti penerbangan terakhir akan membawaku kembali ke Jakarta. Pulang.

Akhirnya aku kembali ke Jambi untuk menemui mereka berdua untuk mencairkan suasana yang kaku. Dari pagi, siang dan menjelang sore belum ada tanda-tanda ia akan menemuiku seperti yang telah disepakati bersama. Aku ingin sejenak ke padang ilalang dan melihatnya melukis. Andre pernah beberapa kali mengajakku ke padang ilalang itu. Dibelakang padang itu ada sebuah gubuk tua, tapi masih terawat. Ia pernah memamerkan lukisannya, semua tentang bunga krisan. Aku tahu disini bunga itu nggak akan pernah tumbuh. Bunga itu hanya tumbuh di daerah kaki gunung dengan cuaca yang sejuk, bukan seperti di sini panas dan sangat menyengat. Ia bercerita, pernah tinggal di perkebunan bunga bersama orang tua angkatnya. Ia paling suka krisan putih di antara krisan berwarna, yang putih lebih anggun. Darinya aku mengenal bunga krisan. 

Sungguh terlalu apabila ia benar-benar mengingkari janji. Lamunan membawa kembali ke masa lalu. Andre, itu namanya yang aku tahu dari kartu pegawai Departement Store yang terletak disaku kanannya. Selalu tersenyum hingga lesung pipit itu menghias wajahnya. Tak banyak kata kecuali pembicaraan transaksi di kasir, selebihnya say goodbye. Perkenalan yang kebetulan namun sering kali terjadi, hingga aku merasa akrab dengannya. Semula aku berpikiran seperti itu selalu kebetulan, tapi setelah aku merenungkan itu bukan kebetulan, dia sengaja mengikuti kemana arah langkahku. Dan itu diakui secara keceplosan. Tiba-tiba terbersit aku ingin mengenalkan dia kepada sahabatku, Anne. Menurutku mereka serasi. Rencana berjalan mulus, kami bertiga sepakat bertemu. Dan ketika pertemuan berikutnya, aku sengaja menghindari agar mereka semakin akrab dan jatuh cinta. 

Hujan yang sudah lama dirindukan untuk menghalau kabut asap yang mulai merebak. Hujan deras dan angin nakal menyertai. Tiba-tiba Andre berada di hadapanku saat aku keluar dari toilet café itu. Kaget.
  "Kenapa akhir-akhir ini kamu selalu menghindar, Airin?"
  "Kenapa kamu tak pernah membalas pesanku?"
  "Akuuuu...sibuuuk, sorry Ndre."
  "Kau sengaja dan ingin aku akrab dengan Anne, kan?!
  "Iyaaa...begitula kira-kira."
  "Aku hanya ingin mengenalmu, bukan Anne sahabatmu."
  "Tapi, aku ingin kau menjadi kekasihnya!"
  "Kenapa aku, Airin? Aku nggak mau !"
  "Karena...."
  "Akuuuu...hanya inginkan kamu."
  "Itu tidak mungkin Andre, meski aku akui kamu mencuri hatiku, namun aku sudah terikat."
  "... dan akhir tahun ini aku menikah, maaf !"
  "Aku nggak mau tauuu, aku cuma ingin dirimu."
  "Jadi itu tujuanmu mendekatiku dan ingin aku memacari Anne?"
  "Iya Ndre, dia sudah jatuh cinta sejak awal mengenalmu itu."
  "Bohong, aku nggak percaya itu. Aku yakin kamulah yang mengatur semua itu untuk menutupi kata hatimu."
  "Jangan egois Ndre, maaf aku terpaksa akhiri pertemanan kita." 
  "Maafkan aku Andre, aku harus pergi."   Aku benar-benar meninggalkan dia bukan karena pertengkaran kecil itu, namun bersamaan aku menerima pekerjaan baru dan ditempatkan di Jakarta. Kusadari hal itu terkesan mendadak Dia pasti marah dengan berita ini yang mestinya aku sampaikan saat pertemuan itu, namun situasai tidak berpihak. Kepada Anne aku sudah berpamit walau mungkin hatinya menangis karena perpisahan ini, namun nampaknya ia pun marah padaku. Andre menjauhinya, itu yang aku tahu dari pesan terakhir sebelum aku take off meninggalkan Jambi. Perpisahan yang menyedihkan.


Belum seminggu aku di Jakarta, dan memulai kehidupan baru Andre sering banget mengirimi SMS namun aku malas membalasnya. Menurutku ia terlalu hanyut dalam suasana yang membawanya berlabuh kemana. Kemudian ia menghubungiku, ia ingin aku menemuinya. Ada hal penting katanya. Anne sakit keras. Urgent.
  "Itu nggak bisa, aku belum sebulan disini, bagaimana mungkin aku meminta cuti." 
  "Tapi Anne sangat butuh kamu, Airin?"
  "Datanglah walau sebentar saja, please?!"
  "Bukankah kalian bersahabat?"
  "Nanti aku telepon dia, sorry aku lagi di jalan."  Aku segera menutup pembicaraan itu, karena harus ganti kendaraan umum dari  KRL Stasiun Sudirman ke metro mini jurusan Gatot Subroto. Bimbang rasanya kembali bertemu dengan mereka berdua, haruskah aku ke Jambi? Perang batin berkecamuk antara persahabatan dan urusan asmara yang kacau balau. Aku menyukai Andre, tapi bukan berarti aku jatuh cinta padanya.  Dia terlalu muda untukku. Aku tidak suka lelaki yang usianya lebih muda dariku, meski cinta hadir menolak segala bentuk perbedaan. Aku hanya ingin Andre dan Anne menjadi kekasih, menurutku mereka pasangan yang serasi. 
  "An, Anne ini aku," kataku lirih. 
  "Kamu sakit apa, hingga Andre meneleponku dengan nada tinggi?"
  "Nggaaakk Airin, aku sehat. Sempat sakit masuk IGD tapi udah sehat kok!"
  "Asma-mu kumat?"
  "Iya benar.Kenapa kamu nggak pernah meneleponku lagi Airin?"
  "Maaf banget. Aku sibuuuk, dan aku pikir kamu marah padaku?"
  "Marah soal apa sih? Andre? Hahaha nggaklah"
  "Syukurlah kalau begitu Anne, aku senang mendengar tawamu"
  "Percayalah padaku Airin, janganlah persahabatan kita terputus karena dia."
  "Aku percaya kamu, gimana kabarnya mas Bram?"
  "Dia baik-baik saja, doakan rencana kami berjalan lancar ya An?"
  "Tentuuuu Airin, meski Andre sempat bilang kamulah yang jatuh cinta padanya. Aku nggak percaya."
  "Ih emangnya dia bilang apa aja sih?"
  "Yaaa, lupakan saja. Kalau kamu jadi ke Jambi, kabari aku ya Airin. Aku kangen kamu."
  "Tentu, so pasti. Udah dulu ya? Nggak enak nih, lagi lunch, entar aku telepon lagi deh."
  "Thanks ya Airin, muuuaaaah!"
  "Muuuaaaah too...."   Aku rasa obrolan itu jelas bahwa Anne nggak memintaku untuk ke Jambi. Itu hanya akal-akalannya Andre saja. Aku kembali konsentrasi ke pekerjaanku. Sebenarnya kepindahanku ini juga untuk mendekatkan diri kepada calon suamiku dan keluarganya. Mas Bram, kakak kelasku sewaktu sekolah menengah farmasi yang sekarang bertugas di RSCM, sebagai kepala bidang farmasi. Ia telah meminangku awal tahun lalu dan akhir tahun kami akan menikah. Lalu muncul Andre dengan pesona senyumnya dan hampir membuatku lupa. Andre menghubungiku lagi, dia bilang akan menikah, ia tidak menyebutkan dengan siapa menikah. Ia hanya ingin aku datang. Dua bulan lagi. 

Suasana café itu mulai ramai. Ada pengunjung datang, seorang wanita paruh baya nampak dari kalangan berada dan duduk di ujung ruangan dengan pandangan mengarah ke bibir jendela. Nampaknya ia duduk sendiri dan gelisah. Sepertinya ia tengah menanti kehadiran seseorang. Sepertiku, mulai resah menanti kehadirannya. Dua jam kedepan aku harus meninggalkan tempat ini, aku harus segera menuju bandara kembali dan take off. Aku nggak memperhatikan pengunjung lainnya, saat aku melihat sosok seseorang seperti aku mengenalnya. Ia duduk berpelukan dengan wanita itu. Setelah tersadar ternyata itu Andre. Dan, sepertinya ia mengetahui aku memperhatikannya. Permainan apa yang tengah ia suguhkan kepadaku. Dadaku tiba-tiba sesak seketika. Andre menghampiriku, menyapa dingin. 
  "Akhirnya kamu datang juga ke sini, Airin. Apa kabar?"
  "Kamu semakin cantik...."
  "Aku datang karena aku ingin menemui Anne dan kamu, Ndre."
  "Tapi, Anne nggak bisa datang karena mendadak ke Palembang, meeting."
  "Iya, aku tahu, subuh tadi ia meneleponku."
  "Oh syukurlah kalau kamu mengetahuinya. Jadi kamu datang untukku kan?"
  "Nggak juga Andre, tetap niatku untuk kalian."
  "Aku datang untuk meminta maaf atas situasi yang nggak nyaman ini."
  "Lalu, nanti kamu datang saat aku menikah?"
  "Oya soal menikah, mengapa begitu mendadak? Ada apa?"
  "Nggak mendadak, waktu itu aku ingin menceritakan namun kamu keburu pergi."
  "Sama Ndre, waktu itu aku juga ingin cerita tentang kepindahanku..."
  "Iya, situasi saat itu benar-benar..."
  "..., sudahlah Ndre. Sekarang cerita sudah beda."
  "Siapa calon pengantinmu, Ndre?"
  "Kamu sudah melihatnya, yang tadi kupeluk itu."
  "Oya? Maksudmu? Wanitaaa ituuu?"
  "Iya, wanita yang sangat kaya tapi kesepian, dia sangat mencintaiku."
  "...dan aku nggak mencintainya, aku kasihan padanya."
  "Hah?! Kamu menikah atas dasar kasihan?"
  "Mungkin ia lebih pantas menjadi Ibumu, Ndre."
  "Iya, memang begitu pantasnya. Dan aku belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu."
  "Ibu kandung, maksudku Airin."
  "Beda Ndre. Duuhh, kamu ini kenapa sih?"
  "Tahu apa arti cinta kau Airin, bukankah demikian juga denganmu?"
  "Maksudmu?" 
  "Sudahlah aku nggak mau berdebat. Tersenyumlah untukku, aku rindu senyummu."
  "Kamu jangan mengalihkan pembicaraan, sorry aku harus menuju bandara."
  "Datanglah nanti Airin! Suatu kebanggaan bila kau datang nanti."
  "Aku rasa nggak mungkin, Ndre!" 
  "Please Airin !!!"  Aku mulai jengah mendengar rengekannya. Hal itu jelas nggak mungkin, Suasana yang berlangsung benar-benar dalam keadaan memanas. Aku segera beranjak, nggak mau lagi larut dalam suasana yang tak nyaman. Sementara waktu semakin mendekati ke jadwal penerbangan.
  "Bungamu ketinggalan, Airin."
  "Bunga itu untuk Anne, tapi dia nggak ada, biar buatmu saja, Ndre."
  "Bunga krisan putih untukku Airin?"
  "Iya bukankah kamu pernah menginginkan bunga itu?"
  "Iya tapi bukan sekarang, Airin. Dua bulan lagi bawakan untukku, please!"
  "Sorry Ndre, aku pamit. Semoga kamu bahagia, cintailah ia seperti ia mencintaimu."

Dua bulan kemudian, di balik jendela nampak langit biru berhias awan putih menemani penerbanganku ke Jambi. Dalam genggamanku ada seikat bunga krisan berwarna putih masih segar dan mengundang beberapa mata menuju kearahku, seraya mereka berkata,"Bunganya cantik sekali." Bunga krisan putih dalam balutan kain marun, dihiasi pita kian menambah cantik buket itu. Aku datang memenuhi permintaannya menghadiri pernikahannya dengan seorang wanita yang layak sebagai Ibunya. Misteri cinta, misteri jodoh. Aku membayangkan senyum dengan lesung pipitnya itu. Aku juga senang, Anne akhirnya mau menyadari cintanya bertepuk sebelah tangan tanpa harus mengorbankan persahabatan kami. Kami sepakat datang berdua. Seikat bunga krisan untuk Andre sebagai kado pernikahannya. 


                                     S E L E S A I